Donny Anggoro
Sinar matahari memanggang di atas aspal. Dua lelaki di seberang jalan depan stasiun. Si Kurus mendesis. Temannya, Si Pendek tertawa. Sebelumnya Si Pendek menolak perintah Si Kurus agar ia berjalan agak lambat. Perintah baru dituruti setelah Si Kurus memberikannya sebatang rokok kretek sisa semalam.
Panas matahari semakin garang. Sinarnya menembus batok kepala Si Kurus. Berkali-kali ditelannya ludah. Ditahannya rasa pening menusuk ubun-ubun.
“Panas, Mas?”
“Sekarang mau nggak kamu belikan es ?”
Si Pendek mengerti Si Kurus sudah tak tahan lagi berdiri lebih lama di bawah terik matahari. Berhentilah mereka di sebuah halte bis. Si Pendek membantu Si Kurus duduk. Si Pendek kemudian menyeberang. Dia berhenti dekat tukang minuman. Si Kurus duduk menunggu temannya sembari menghabiskan sebatang rokok. Di depannya beterbangan debu-debu jalanan, asap kendaraan hitam pekat bergumpal-gumpal. Perlahan angan Si Kurus mengalir.
“Posternya memang dilihat orang. Tapi apakah nanti orang-orang akan menonton masih tanda tanya,” sahut Jawinul lesu.
Dia baru saja memasang poster pertunjukan ketoprak di alun-alun. Alun-alun adalah pusat segalanya di kabupaten itu. Lelaki bertubuh pendek dan gempal itu segera menuju ke gedung pertunjukan tempatnya menginap. Sukri, laki-laki pemimpin ketoprak yang sudah puluhan tahun menggauli dunia panggung itu diam saja, melamun. Melamunkan Surti.
“Sudahlah Mas. Jaman sekarang orang-orang sudah tidak suka lagi nonton ketoprak! Mereka sekarang senangnya ndangdutan, nonton pilem atau nonton tipi saja sambil keleleran di rumah!” kata Surti.
“O, o, o jadi kamu kecewa?”
Surti tidak menjawab.
“Lantas maumu apa? Apa mau bikin grup dangdut saja?”
“Kita sudah habis, Mas. Orang sekarang sudah tidak butuh apa-apa. Semuanya sudah datang sendiri. Ada tipi, ada kaset buat didenger sendiri di rumah. Kita sudah tidak diperlukan lagi! Semuanya sudah berakhir, Mas!”
“Kamu nyesel, Ti?”
“Bukannya nyesel. Kenyataannya memang begini ya mau ngomong apa to Mas?”
“Sudahlah jangan dipikir. Kalau Gusti Allah nanti memberi jalan ya pasti jalannya terang....”
Sukri terdiam. Sekarang Surti sudah pergi. Pergi tanpa pamit. Kata orang kepincut sama Ngatiman, makelar tanah. Mungkin jenuh dengan dunia panggung. Dunia yang serba tak pasti. Mungkin jenuh dengan ketoprak. Bosan dengan kemurungan. Mungkin juga kemiskinan. Sukri terpaksa menerima. Apalagi Ngatiman bukan orang sembarangan. Mobilnya saja dua biji. Tinggal istri saja yang belum. Begitu kenal Surti jadi tambah satu. Ya, Surti. Surti bekas istri Sukri, bos ketoprak.
Bagi Sukri dunia panggung bukan lagi dunia pura-pura. Sukri lahir dan besar di panggung. Bapaknya pemilik kelompok Wayang Orang Bedoyo Utomo. Semula dia jadi anak panggung. Semua peran pernah dimainkannya. Dari Buta Cakil sampai Gatutkaca. Dari Petruk sampai Dursasana. Sukri bahkan pernah mempunyai penggemar. Salah satunya ya Surti, sinden ayu kesayangan dalang Ki Marto. Hmh...
Tapi itu dulu. Dulu sekali. Meskipun ia sekarang sudah mempunyai kelompok hiburan sendiri kini segalanya telah pergi. Ya, penonton, ya, teman-teman, juga Surti. Surti? Ya, Surti. Teman-teman lain pun punya hak pergi. Ikut wayang orang, ketoprak, grup lawak atau ndangdutan. Hidup dengan sisa keemasan masa lalu memang terasa pahit. Oalah, susah sekali menarik garis pemisah antara dunia panggung dengan kehidupan nyata. Biar di atas panggung jadi raja atawa ksatria toh dalam kehidupan sehari-hari tak lebih jadi wong cilik. Seperti bumi dan langit. Seperti sorga dan neraka. Seperti air dan api. Seperti air tuak dan comberan.
Dalam setiap pementasan Sukri selalu mencari bentuk baru. Dengan ketoprak Sukri bisa mengembangkan cerita bikinannya sendiri tak terbatas. Tentu saja masih berpijak dengan cara-cara yang dia tahu. Sukri paling puas jika mementaskan lakon karangannya.
“Minum, Mas!”
Lamunan Si Kurus terhenti. Heh, secepat itukah aku berkelana? Es teh manis segera diminumnya. Bergantian dengan Si Pendek.
“Hari ini dapat berapa?” tanya Si Kurus. Agak lumayan rasa peningnya hilang seiring dengan segarnya kembali kerongkongannya.
“Lima ribu.”
“Cuma lima ribu? Tolol! Sudah berapa lama jadi penuntunku?” bentak Si Kurus.
Si Pendek menunduk, diam. Perasaannya langsung ciut. Habis gimana memang dapatnya cuma segini, bisiknya dalam hati. Si Kurus, jika sudah membentak begitu pertanda dia murka.
“Goblok! Tolol! Kamu kan yang punya mata? Seharusnya kamu dong yang bisa lihat orang kasih recehan! Masak cuma segini? Sontoloyo! Dasar telo!”
“Sabar, to Mas. Lha, dapetnya cuma segitu?”
“He, kamu yang masih punya mata, masih bisa lihat, lari-lari dan jalan-jalan dengan gesit harusnya bisa lebih banyak!”
“Jadi kita jalan lagi?”
Si Kurus terdiam. Dia baru sadar mereka baru saja istirahat.
“Jadi kita jalan lagi, Mas?”
Tapi kaki Si Kurus pegal-pegal. Napasnya megap-megap. Tak sanggup lagi dia berjalan. Tidak ada gunanya marah-marah. Tiba-tiba dia merasa bersalah setelah membentak Si Pendek, satu-satunya temannya yang tersisa. Yang paling setia. Dari dulu sampai sekarang. Sampai jadi kere dan picek....Oalah, maafkan aku yang baru saja terbang. Pikiran ngelambrang ke sana ke mari. Lari-lari tidak keruan. Perlahan air mata Si Kurus mengalir.
***
Sukri bersiap-siap. Malam ini adalah malam terakhir grup ketopraknya manggung. Besok gamelan-gamelan itu harus segera diangkut. Sukri terpaksa menjualnya. Bukankah seluruh anak buahnya harus makan? Gedung pertunjukannya harus dirobohkan. Sebab sebentar lagi akan diadakan acara perayaan pembangunan. Lengkap dengan pasar malam dan acara dangdutan segala. Mereka harus segera menyingkir. Menyingkir? Ya, menyingkir. Ke mana? He-eh, kemana ya? Entahlah....
Waktu mengalir seperti mimpi. Ingin rasanya Sukri jadi tokoh wayang saja. Sakti mandraguna. Bagaimanapun hebatnya pasti bisa melawan. Melawan keadaan. Berontak! Ya, berontak! Menyumpal mulut-mulut pegawai negeri bidang kebudayaan itu dan kemudian membakarnya seperti Hanoman membumi hanguskan Alengka.
“Mas,”
Suara Gito, petugas penarik layar panggung mengejutkannya.
“Kita tetap main?”
Sukri tidak menjawab. Ia hanya mengangguk lesu. Sebentar lagi maghrib. Pertunjukan malam terakhir akan segera dimulai. Apa boleh buat, the show must go on. Tidak ada kata “tidak jadi manggung”. Bukankah sudah ratusan kali mereka memainkan lakon ini? Sepi tidak ada penonton bukan halangan. Meski besok mereka harus segera menyingkir. Tersingkir, menyingkir dan disingkir. Tersingkir dari peradaban. Peradaban yang telah melupakan manusia-manusianya.
Tepat jam tujuh malam. Lampu-lampu sudah dinyalakan. Petugas karcis sudah mulai menyiapkan dagangannya. Yang lain, para pemain sudah mulai memoles wajah-wajah mereka dengan warna-warni. Sukri bangkit berdiri menuju layar bergambar candi yang merupakan layar utama.
Tapi betapa terkejutnya Sukri. Matanya tak percaya apa yang dilihatnya. Ketika dia melirik di balik ruangan gelap gulita dilihatnya tempat penonton di depan nyaris penuh. Sukri terbelalak tidak percaya. Diliriknya jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Astagafirullah, bukankah sekarang masih pukul tujuh? Bukankah pertunjukan baru akan dimulai satu jam lagi?
Dilihatnya deretan penonton yang duduk paling depan. Mereka tengah bercakap-cakap diselingi canda dan tawa. Sukri heran dari mana datangnya penonton sebanyak ini. Memang inilah malam yang selalu diharapkannya. Tidak, tidak mungkin. Dari mana datangnya penonton sebanyak ini? Bukankah mereka akan segera menyingkir? Bukankah seperti kata Surti orang-orang sekarang sudah malas nonton ketoprak? Bukankah sekarang orang lebih suka ndangdutan saja sambil kepalanya gela-gelo?
“Mas...”
Suara Gito lagi. Mengejutkannya. Wajahnya tampak senang.
“Ramai juga ya. Kayak dulu lagi,” katanya lirih.
Sekilas dilihatnya kedua mata Gito berair. Terharu. Memang inilah yang diharapkannya. Penonton datang, duduk dan menonton. Tapi dari mana datangnya? Apakah ini yang namanya keajaiban? Akh, ini pasti mimpi, batin Sukri. Dicubitnya lengannya. Sakit. Benar. Penonton-penonton memang datang. Sulit dipercaya.
Tepat jam delapan. Layar diangkat. Suara gamelan menyentak. Pertunjukan dimulai. Tepuk tangan dan sorak sorai sepanjang pertunjukan terdengar. Di balik panggung Sukri merasakan benar simpati penonton. Apalagi setiap ucapan dan gerakan pemainnya yang bagus selalu mendapat tepukan.
Malam itu benar-benar malamnya Sukri. Mungkin dia memang sudah ditadirkan tidak mengerti apa yang baru saja disaksikannya. Malam ini dia dan anak-anak buahnya bisa tersenyum lebar. Meski keesokan harinya mereka harus segera menyingkir.
“Gusti Allah, tundalah terbitnya mentari esok pagi.” bisik Sukri. Ia ingin malam terus berlanjut seperti sekarang ini. Seperti sekarang ini. Ya, seperti sekarang ini.
***
Bunyi kruyuk-kruyuk. Si Pendek menelan ludah. Rasa lapar dengan sigap menyerangnya. Mereka berhenti dan duduk di bangku stasiun.
“Dapat berapa?”
“Lumayan, Mas.”
“Ya, berapa?”
“Anu....”
“Anu, anu apa? Ngomong yang jelas!”
Diserahkannya hasil hari itu. Mata Si Kurus memang sudah tidak bisa melihat lagi. Bukan berarti Si Kurus tak bisa menghitung. Begitu jelinya dia sampai dengan hanya mendengar bunyi-bunyi gemerincing duit logam saja pun ia tahu berapa nilainya. Kondisi seperti ini telah membuatnya terbiasa. Kadang ia bangga tak bisa melihat. Baginya melihat dunia adalah melihat kemurungan dan kekecewaan. Mending buta saja daripada melihat.
“Wuah, hari ini kita bisa makan enak, Nul. Makan besar! Hahahahaha!”
Si Pendek tersenyum. Sudah lama tak dilihatnya Si Kurus tertawa.
“Sana! Beli nasi!”
Si Pendek meninggalkan Si Kurus. Si Kurus menyalakan rokoknya. Asap rokok bergumpal-gumpal menyesakkan dadanya. Si Kurus terbatuk-batuk. Tapi ia tak peduli. Ia tetap merokok. Pikirannya kembali mengembara.
Hari ini mereka harus segera menyingkir. Gamelan sudah dijual. Gedung pertunjukan ditinggalkan. Anak buah Sukri satu dua pamit. Ya, mereka berhak pergi. Hidup dari ketoprak mau jadi apa? Ya, ya, ya biarkan mereka pergi. Beberapa sisa anak buahnya masih kelihatan. Bercanda ria, main catur, gaple...
“Penonton pertunjukan semalam kau tahu dari mana?” tanya Sukri kepada Jawinul. Yang ditanya mengangkat bahu.
“Tak tahulah, Mas. Pokoknya teman-teman main bagus, penonton ramai, karcis ludes. Ah, coba kayak begini terus ya Mas?”
Sukri termenung. Kreteknya diisap, kemretek suaranya. Di sampingnya suara cempreng radio transistor butut pemilik warung sibuk berdangdut. Berkaok-kaok tak peduli seolah-olah dari dunia yang lain. Trak-trak-trak-duk-duk-duk-dut-dut! Cintaku terbagi dua...
“Mas Sukri! Mas Sukri!”
Tergopoh-gopoh Gito menghampiri juragannya.
“Gedung kita! Ged.....ged....gedung kita!” katanya terengah-engah.
“Kenapa?”
“Kebakaran!”
Sukri berlari. Jadi inilah akhirnya, batinnya sambil menghela nafas. Anak-anak buahnya tergopoh-gopoh mengambil air, mencoba memadamkan. Yang lain lari kocar kacir tak keruan. Api semakin ganas. Jerit dan tangis campur aduk bersama raungan. Layar-layar bergambar kraton, gunung dan hutan menghitam dalam sekejab.
“Tolonnggg!”
Jeritan Yati, anaknya semata wayang. Sukri langsung menyelip lincah di tengah kekacauan. Seseorang menabraknya.
“Mas, tunggu! Kamu akan terkurung api di sana!”
“Lepaskan!”
Sukri memasuki sela-sela keruntuhan. Suara gemeretak bambu dan dinding roboh satu per satu. Yati, Yati di mana kamu? Brakkk!!! Balok kayu roboh menghantam kepalanya. Sukri terjatuh tak sadarkan diri. Terkurung di tengah-tengah bara api.
***
Sukri terbangun. Dibukanya kedua matanya. Tapi kenapa semuanya gelap? Sayup-sayup terdengar suara disampingnya. Jawinul!
“Nul....”
“Semua sudah habis, Mas...habis....”
“Apakah kamu mematikan lampu?”
“Tidak, Mas. Mas...”
“He, Nul! Nyalakan lampunya!”
Semuanya tetap saja gelap. Seperti teringat sesuatu Sukri menjerit, lirih. Yati, Yati dimana kamu? Dicoba sisa-sisa tenaganya untuk bangkit. Sia-sia. Kepala dan lehernya terasa berat. Berat sekali. Malam semakin merambat. Si Pendek telah kembali. Dengan dua bungkus nasi, dua kantong plastik es teh manis dan sebungkus Gudang Garam. Dihampirinya Si Kurus. Dia tertidur. Mungkin terlalu lama menunggu.
“Mas, bangun...”
Digoncang-goncangkan tubuhnya. Si Kurus tetap tak bergeming.
“Mas, ayo bangun. Kita makan besar Mas....”
Dipandangnya Si Kurus. Bibirnya tersungging senyum. Dia coba lagi membangunkannya. Sia-sia. Si Kurus sudah tidak membutuhkannya lagi. Selamanya.
0 komentar:
Posting Komentar