Post View:

Cerita-Cerita: 1.000 Kutu di Kepala Anakku

Kamis, 31 Mei 2012
SOAL gizi buruk ataupun polio bagiku sudah tidak lagi menarik sebagai berita. Karena itu, tak perlu diceritakan maupun dikabarkan. Bahkan flu burung yang sempat merebak di seluruh kota di negeri ini, kini tak lagi membuat bulu tengkukku berdiri. Aku tak takut lagi terkena flu burung. Apalagi sudah ada jaminan pemerintah kalau hewan-hewan sejenis itu sudah bebas dari rabies flu burung. Jadi, tak ada keraguan aku mengonsumsi daging ayam. Kalau kini aku cemas, sebabnya kutu yang menyerbu rambut di kepala anakku.

Tidak tanggung-tanggung. Kalau mampu kuhitung, mungkin ada 1.000 (seribu) kutu atau boleh jadi lebih. Jujur kukatakan, aku belum sempat memastikannya. Setidaknya, apakah aku mampu menghitung seribuan kutu yang bersemayam di kepala anakku? Ditambah lagi anakku tak bisa diam kalau aku sedang memunguti kutu di kepalanya. Sebab itu, aku hanya sanggup mengumpulkan 30 ekor-terkadang bisa lebih-kutu setiap harinya. Itu pun diselingi dengan ogah-ogahan dan merajuknya.

Entah mengapa ia sangat enggan kalau aku mau menangkapi kutu di kepalanya. Padahal kerap kulihat ia menggaruk-garuk rambutnya saat tidur. Mungkin karena kutukutu yang menghisap darah di kepalanya saat ia tidur, sering membuatnya terjaga.

Jemari kedua tangannya bergerak kian ke mari, bagai penari yang selangkah majumundur dan bergerak ke kiri-kanan. Kubayangkan seorang penari cantik yang lincah bergerak, begitulah jari-jari kedua tangan anakku di kepalanya. Rambutnya pun kemudian acak-acakan. Pelan-pelan sekali agar ia tak terbangtun kurapikan kembali rambutnya.

Pernah rambutnya kubasuh minyak tanah. Konon, kata para orang tua dulu, minyak tanah dapat membuat kutu mabuk lalu mati. Sebelumnya, aku juga pernah membilasnya dengan shampo anti-ketombe dan kutu. Cuma tidak lama berselang, telurtelur kutu yang berwarna putih muncul lagi. Telur-telur kutu itu sulit dibuang karena sangat lengket di helai-helai rambut. Kecuali dicukur gundul. Dan, itu juga pernah kulakukan meski anakku yang masih duduk di kelas satu SD itu awalnya menolak dicukur gundul.

"Gak mau botak. Obi malu, Pa" rajuknya. Aku tetap membujuknya kalau tak lama rambutnya akan tumbuh kembali. Jika rambutnya digunduli, maka kutu-kutu itu tak akan datang lagi.

Tetapi, itu hanya sementara. Sebab, tatkala rambutnya kembali tumbuh justru makin banyak kutu bersemayam. Sungguh, aku dibuat pusing. Tak habis pikir, bagaimana bisa dan dari mana telur kutu itu menghiasi rambut anakku, lalu menetas kutu yang amat banyak. Mungkin sekitar seribu, atau jangan-jangan lebih?

Karena kutu-kutu itu, aku dapat pekerjaan tambahan. Setiap hari aku mendekati anakku dengan sebuah sisir penjaring kutu (orang menyebutnya sisir serit). Sehabis pulang dari kantor aku mengambil sisir serit kemudian mendekati anakku yang tengah menonton teve. Sambil menikmati tayangan televisi, aku menyerit rambut anakku. Terjaringlah kutu-kutu itu di diselipan serit. Satu, dua, hingga 10 atau kadang-kadang mencapai 48 kutu terjaring. Kemudian kumatikan dengan ujung kuku jempolku. Tentu saja dengan gemas.

Mematikan kutu lama-lama menjadi pekerjaan menyenangkan. Jadi keriangan. Setiap ada waktu kosong dan anakku mau, maka kutangkapi kutu-kutu di kepalanya untuk kutindas di ujung kuku jempolku. Karena kebanyakan acap kuku jempolku penuh cairan berwarna merah. Darah. Darah dari kepala anakku.

"Kalau tak mau, lama-lama darah Obi habis dihisap kutu," kataku. Maksudku ingin menakut-nakuti anakku. Biasanya setelah itu ia akan menurut, mendekati kepalanya. Aku pun dengan leluasa menyerpihi kutu-kutu itu.

Meski sering kutakut-takuti, tidak selalu ampuh. Misalnya kalau sedang asyik bermain, ia akan menolak. Obi akan lari keluar rumah bersama teman-temannya, dan akan pulang tiga jam atau lebih. Kalau sudah begitu aku tak bisa marah. Aku akan mencari waktu atau hari yang lain.

* * *

SERIBU kutu di kepala anakku seperti tak mau pergi. Meskipun sudah setiap hari kutuai, telurnya tak henti menetas. Sepertinya percaya benar dengan pribahasa yang bermakna satu dimatikan maka seribu lagi akan lahir. Sehingga kerjaku mematikan kutu-kutu itu layaknya sang Syshipus yang memangul batu ke puncak bukit lalu setelah sampai digelindingkan lagi oleh Dewa. Barangkali demikianlah pekerjaanku: kumatikan satu, esok lahir seribu kutu lagi.

Aku bingung. Entah dengan cara apa lagi aku membasmi kutu di kepala anakku. Entah dengan siasat yang mana lagi agar kutu-kutu itu tak lagi mau datang. Sudah banyak jurus dan taktik kulakukan, tetap saja kutu itu ada di kepala anakku. Kalaupun kurasa habis karena kumatikan ternyata tak lama: anakku kembali menggaruk-garukkepalanya. Dan, ketika kuserit, aku dapatkan lebih dari 20 kutu! Cukuplah itu sebagai bukti bahwa di rambut kepala anakku banyak dihuni kutu.

Dari mana kutu itu datang? Mungkinkah terbang dari kepala anak tetangga? Atau karena tertular dari teman sekolahnya? Soalnya, baik istriku dan anak-anakku yang lain tidak berkutuan. Karena itu, beda sekali dengan anak bungsuku ini. Rambutnya seperti sebuah ladang yang ditumbuhi ilalang: ditebang dan tumbuh lagi. Kutu-kutu itu seperti pergi lalu datang lagi. Walaupun habis, namun beberapa hari kemudian kutu-kutu itu muncul lagi. Kutu itu benar-benar hilang kalau rambut anakku gundul, tapi begitu rambutnya tumbuh bersamaan itu pula kutu datang. Seperti sebelumnya, banyak sekali. Mungkin sekitar 1.000 kutu di sana.

Sungguh aku dibuat pusing oleh kutu di kepala anakku. Pekerjaan kini bertambah lagi setiba di rumah: menyerit rambut anakku. Menilik baris-baris serit, mencongkel jika kuyakini ada kutu yang terjaring. Setelah itu, di atas kertas putih atau di lantai marmer rumahku yang berwarna putih itu, kutu itu pun kutindas dengan ujung kuku jempolku. Aku puas kalau dari kutu itu muncrat darah. Aku tersenyum.

Dan, sialnya aku menjadi ketagihan. Seperti orang yang ketagihan pada narkoba. Jika aku sedang sakau-istilah para pemadat itu-aku akan marah sekiranya anakku enggan mendekatkan kepalanya padaku. Pernah sisir serit kulempar ke kakinya, ia terkaing-kaing. Lari makin menjauhiku. Terdampar di pangkuan ibunya.

Kalau sudah begitu aku tak bisa berbuat apa-apa. Diam. Tentu saja dengan menahan gemas tak alang. Anak bungsuku itu memang keterlaluan. Tidak tahu diuntung. Padahal, hanya sedikit seorang ayah-dan aku di antara yang sedikit itu-yang mau mengurusi hal-hal yang temeh seperti itu: menangkapi kutu untuk selanjutnya dimatikan. Tak banyak seorang ayah yang masih mau peduli pada urusan kutu di kepala anaknya. Biasanya itu pekerjaan para ibu, para perempuan, urusan istri. Aku pernah melihat sebuah karya foto entah di media massa mana, tentang para perempuan Jawa berbaris duduk di depan rumah sedang mencari kutu. Kalau tak salah ada tujuh perempuan saling mencari kutu, sementara seekor kera mencari kutu di kepala perempuan paling belakang. Pikirku, foto itu tak hanya artistik, melainkan juga
memiliki sense of social.

Seribu kutu di kepala anakku sungguh membuatku pusing. Menjadi pekerjaan tambahan seusai aku pulang kantor. Akhirnya aku sudah terbiasa tidur siang. Aku memandangi kutu-kutu yang ada di rambut anakku. Kutu-kutu itu merayap dan berkeliaran di antara helai-helai rambut anakku. "Lihat Obi, kutu di kepalamu itu banyak sekali. Dekatkan kepalamu, papa mau ambil," teriakku.

Obi menggeleng. Menutup kepalanya dengan bantal. Tetapi, matanya tetap ke layar televisi. Aku jadi gemas. Lalu, hanya kupandangi bagaimana kutu-kutu itu merayap dengan sangat lincah di helai-helai rambutnya. Ataupun terdiam di kulit kepalanya. Aku membayangkan kutu-kutu layaknya percikan api, dan helai-helai rambut anakku bagaikan belantara di Kalimantan, Riau, Sumatera, dan entah mana lagi.

Percikan api yang kemudian membakar hutan-hutan di Indonesia. Tak ada yang dapat memastikan muasal api, penyebab apa, dan sesiapa yang melempar percikan api tersebut. Kiranya yang kami ketahui cumalah hutan-hutan terbakar. Asapnya membumbung hingga menyelimuti daerah sekitar. Jalan-jalan tak bebas pandang. Udara pengap. Dan, orang-orang pun diwajibkan mengenakan masker. Di mana-mana dijajakan penutup hidung dan mulut itu, banyak yang membelinya. Demi menjaga kesehatan, kata pejabat dari Dinas Kesehatan.
Anakku menggeliat. Ke sepuluh jari tangannya layaknya penari yang melenggak-lenggok di lantai nan lincih. Rambutnya pun acak-acakan. Aku memelas melihatnya. Namun, ia tak jugaberkenan menyerahkan kepalanya padaku.
"Obi, lama-lama darahmu habis dihisap kutu. Tahu?!" aku berang. Hendak menjambak rambutnya. Istriku melerai. Ia bilang, jangan kasar menghadapi anak-anak. Tak baik pada perkembangan jiwanya. Bagaimana kalau ia sudah besar nanti kalau perkembangan jiwanya terganggu.

Aku urung. Cuma, sayangnya, Obi tak mau mengerti. Ia tetap menjauh. Rambutnya tak mau kuserit. Padahal, kulihat barusan, kutu-kutu yang hidup di rambutnya merayap ke sana ke mari. Seperti pesakitan yang baru saja bebas dari penjara. Bayangkanlah suatu saat kita melihat seorang penjahat yang baru saja menghirup uadara bebas, memandang semesta tak terbatas. Ia akan menengadahkan kedua tangannya ke langit, dengan kepala yang mendongak ke atas pula. Lalu, terdengarlah teriakan yang sangat keras: "Aku beeebbbaaassss,"

Demikian, kutu-kutu di kepala anakku itu bagai pesakitan-sang penjahat-yang melihat kebebasan sesuatu yang amat mahal. Seribu kutu yang merayap itu selayaknya percikan api yang membakar berhektar-hektar hutan di Indonesia. Ah, tidak. Aku teringat puluhan kuda berlari kencang di padang Sumba, sebagaimana dikatakan Taufiq Ismail dalam sebuah puisinya. Seribuan kutu itu berlari dan melompat dari satu helai rambut ke helai rambut lainnya. Ia amat lincah. Aku kesulitan menangkapnya dengan jemariku. Itu sebabnya, di rumahku selalu siap sisir serit. Kini sudah ada tiga sisir yang kubeli di Pasar Rajawali, kiriman dari saudaraku di Jawa, dan oleh-oleh kakakku sewaktu ke Malaysia .

Kalau saja anakku tak selalu menolak kucarikan kutu di kepalanya, aku sudah lama ikhlas menyerit walaupun harus berlama-lama. Sebab, aku sangat suka membunuh binatang kecil penghuni kepala itu. Aku semakin gemas tatkala memandangi muncratan darah dari tubuhnya; darah yang dihisap dari kepala anakku.

Darah. Warnanya seperti mengingatkan aku pada warna api. Membara. Menghanguskan hutan-hutan di Tanah Air. Tetapi, tak satu pun orang yang dapat memastikan siapa yang membakarnya atau penyebabnya apa. Hutan-hutan Indonesia yang tak hanya kekayannya diringkus dan dijarah. Juga dibakar. Belantara pun menjadi gundul mengelam. Tanah mengoreng. Pohon-pohon roboh sebagai arang. Hitam. "Obi, sini dong, papa tak mau, darahmu habis bagai hutan. Papa mau ambil kutu-kutu di kepalamu. Sini dong," bujukku. Hatiku kesal.

Obi tetap saja menjauh. Kutu-kutu itu-seribuan barangkali-yang merayap berjatuhan. Terbang ke mana-mana. Ada yang hinggap di rambutku. Lalu berbiak di kepalaku. Rambutku penuh oleh kutu. Dari kepala anakku. Aku makin gemas. Kecewa. Ingin kusambit kaki anakku dengan sisir serit yang paling keras di antara sisir yang lain. Tersebeb tak mau kutu di kepalanya kutangkapi, kini malah kutu-kutu itu pindah ke rambutku. Segera kupanggil istriku, dengan sekali teriakan: "Anti, sini kau, bawa gunting dan gunduli kepalaku!"
Istriku ternganga. Ia belum mengerti maksudku.
"Cepat kepalaku gunduli saja!" perintahku lagi. "Kutu-kutu itu kini sudah berpindah ke rambutku. Kepalaku gatal."
"Ah, itu perasaanmu saja, Pa. Rambutmu kan sudah lama tidak disampo!"
"Tidak! Ini pasti ulah kutu yang pindah dari rambut Obi!" kataku memastikan.
"Gunduli kepalaku. Nanti kau bisa lihat kutu-kutu yang menempel di rambutku."
"Tapi."
"Nggak usah pakai tapi. Cepat gunting rambutku. Kau akan lihat kutu-kutu itu berjatuhan. Aku sudah kesal."

Dengan amat terpaksa sekaligus kecewa, lalu gunting di tangan istriku membabat rambutku hingga habis. Seperti penebang pohon di belantara terlarang. Rambutku pun berjatuhan, layaknya hutan yang tumbang setelah digergaji mesin. Kusakisikan tumpukan rambutku berserakan di lantai. Kulihat pula ratusan ekor kutu dari kepalaku, kini merayap-rayap di lantai. Secepatnya kutindas dengan kedua ujung kuku jempolku. Aku tak ingin seekor kutu pun dapat selamat.

Kini kepalaku benar-benar gundul. Tak sehelai rambutmu masih tersisa. Habis hingga ke kulit rambutku. Seperti lahan kosong tanpa pepohonan. Bagaimana jadinya, beberapa jenak nanti, ketika memandangi kepalaku di cermin. Pastilah amat buruk. Soalnya, seumur hidup aku tak pernah berkepala plontos. Bentuk kepalaku memang tak indah tanpa rambut. Karena itulah, aku selalu berpenampilan gondrong walau usiaku tak lagi muda.

Entahlah, apa jawabanku esok saat teman-teman di kantorku bertanya soal kepalaku yang botak ini. Soal tak bersisa lagi rambuku. Tentang kepalaku yang sangat sangat licin, tetapi makin tak indah dinikmati. Sungguh aku pusing. Seperti aku mengingat nasib hutan-hutan di Indonesia. Gundul

***
Isbedy Stiawan ZS
Lampung, 13-21 Maret 2006

Cerita Cinta, Belahan Hati

Selasa, 29 Mei 2012

Yahya Rifandaru

Itulah yang selalu ada dalam pikiranku akhir-akhir ini. Semenjak aku tidak berhubungan lagi dengannya, aku merasakan rindu yang mendalam. Aku seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi terkenal di kota ini.
Teman-teman memanggilku dengan julukan "marmud". Entah apa maksudnya. Tapi nggak masalah, yang penting keakraban.
Musim panen telah tiba. Ujian yang diselenggarakan oleh setiap kampus menelurkan bibit mahasiswa baru. Seperti biasa, calon mahasiswa harus meminta izin pada para penghuni lama. Mereka harus kenal dengan seniornya.
Mereka berusaha mendapatkan tanda tangan. Itulah tradisi yang biasa kami jalankan setiap tahun.
Wow, pandanganku terpaku pada seseorang yang berdiri di tengah kerumunan calon mahasiswa.
"Yud, kamu tahu cewek rambut panjang yang pakai kacamata itu? Kayaknya aku pernah bertemu sebelumnya. Tapi di mana ya?" Yudi menjawab, "Ah, itu mah dejavu! Aku juga sering mengalami hal seperti itu," katanya.
"Iya, tapi yang ini lain!" timpalku. "Hei Mud, udah deh, nggak usah ngayal melulu. Entar juga kan dia nyamperin kita buat minta tanda tangan. Kalau kamu memang udah kenal dia, kita lihat aja nanti," kata Yudi.
Hingga masa perkenalan selesai, aku belum kenal sama dia. Nggak terasa satu semester aku lalui dengan hasil yang cukup memuaskan. Semester genap sudah berjalan dua minggu, tugas-tugas kuliah menumpuk.
"Permisi Mas, selamat malam." Di saat aku lagi sibuk dengan tugas-tugas kuliah, seseorang berdiri di balik pintu dan tersenyum.
"Lagi ngapain? Serius amat sih?" Aku nggak tahu harus ngomong apa.
"Kok nggak dipersilakan masuk?" Setengah sadar setengah nggak, aku mempersilakan tamuku masuk. Aku sungguh nggak menyangka. Saat itu, aku hampir melupakannya. Eh, malah dia muncul di depan pintu kamarku.
"Tahu alamatku dari mana?" "Dari teman-teman," jawabnya.
Lalu kami berkenalan. Dia biasa dipanggil Nyaa oleh teman-temannya. Kami ngobrol panjang lebar. Dia seperti sudah kukenal sebelumnya, obrolan kami nyambung.
Ternyata, tujuan utamanya datang ke tempat kosku adalah untuk pinjam gunting. Katanya untuk mengerjakan tugasnya. Yang aku nggak habis pikir, kenapa nggak pinjam ke teman lain. Ah, tapi itu nggak penting. Yang penting aku bisa kenalan dengannya. Sungguh, bergulirnya roda nasib memang nggak bisa diprediksi.
Sejak saat itu, hubungan kami semakin dekat. Satu semesterpun berlalu. Ujian akhir semester juga sudah selesai. Hasilnya cukup memuaskan meski agak berat. Ini semua tak lepas dari bantuannya. Kami saling membantu dalam hal apa pun. Hubungan kami sudah seperti kakak adik saja.

***

Sudah setengah tahun. Sekarang dia tinggal di luar kota. Kami masih berhubungan via telepon atau SMS.
Suatu hari ketika aku meneleponnya. "Mas, main ke rumah dong!" Nada bicaranya penuh harapan.
Aku menjawab, "Aduuh, Nyaa. Sekarang aku nggak bisa. Kamu tahu sendiri kan, liburan ini aku kerja."
"Sudah kuduga, pasti nggak mau main ke rumah," balasnya lalu menutup telepon. Aduh, gawat. Akhirnya tekadku bulat. Akhir bulan aku gajian dan berangkatlah aku naik kereta api.
Aku sampai di rumahnya meski harus mencari-cari dulu alamatnya. Benarbenar nggak aku duga. Keluarganya baik, ramah, aku merasa seperti keluargaku sendiri. Sayang aku hanya menginap dua hari di rumahnya. Setelah aku pulang, aku tetap menelepon dia. Bahkan bisa beberapa kali sehari.

***

Hubunganku dengan Nyaa sudah berlangsung satu tahun. Aku benar-benar merasa yakin bahwa dialah pasanganku.
Malam Valentine, aku membuatkan film animasi yang bercerita mengenai kisahku dan dia selama ini. Kukemas film itu dalam sebuah CD yang imut. Kami sudah janjian untuk bertemu di tempat kosnya jam sembilan malam.
Waktu itu turun hujan gerimis. Dengan pakaian agak basah kutekan bel. Ting tong!
Di dekat tempat kos Nyaa, sebuah mobil terparkir. Aku nyaris pingsan, dua orang keluar dari mobil sambil mengenakan jaket. Nyaa dan seorang cowok yang pernah aku lihat di kampus tetangga.
Melihatku, Nyaa berlari menghampiri. Dengan agak gugup dia berkata, "Maaf." Aku nggak banyak berkata-kata. Kuberikan bingkisan kecilku. Aku nggak jadi mengungkapkan isi hatiku.
Malam itu begitu dingin. Hujan pun semakin deras. Aku pamit pulang.
Tengah malamnya, dia meneleponku sambil mengucapkan terima kasih. Dia memberitahuku bahwa cowok yang tadi bersamanya adalah pacarnya.

***

Hari demi hari kulalui dengan biasa-biasa saja. Aku sudah jarang berhubungan dengan Nyaa. Paling-paling SMS. Tapi kadang-kadang aku masih percaya kalau dia itu pasangan jiwaku. Entah benar atau nggak. Karena, dia sulit untuk dilupakan meski kini sudah dua tahun berlalu.

Lantunan Cinta Sang Pencinta

Jumat, 25 Mei 2012
Lewat ekor mata, aku tau matanya yang sipit kecoklatan memandangku lagi. Tetap tajam namun lembut, seperti biasanya. Bibirnya terbuka hendak berkata-kata, namun mungkin rasa segan membuatnya terkatup lagi. Dengan handuk putih bertengger di bahu, ia membalikkan badan membelakangiku. Pergi. Aku diam sejenak lalu mengoleskan metal polish pada baritone kesayanganku, menggosoknya sampai berwarna hitam dan melapnya sampai bersih. Pantulan sinar dari tutsnya menandakan baritone ini selalu terawat dengan rapi. Irio dan Laode tersenyum iri padaku. Baritone mereka tidak pernah semengkilap milikku, padahal kami membersihkannya bersama-sama dua kali seminggu. “Ngiri ya? Hehehe… Nggosoknya yang bener dong , kan udah aku ajarin”, ujarku. Mereka hanya bisa memajukan bibirnya 2 cm.

“Murid lesnya masih banyak mbak Wina?”, si pemilik mata sipit sudah berdiri di depanku saat kudongakkan kepala. Senyumnya mengembang, memamerkan deretan gigi yang kecoklatan karena nikotin.

“Masih, Kak. Sekarang malah ada murid yang baru. Alhamdulillah…” Kumasukkan baritone ke dalam plastik pembungkus lalu meletakkannya dengan hati-hati ke dalam peti. Aku berlalu dari hadapannya tanpa kata-kata. Aku tau mulutnya terbuka lagi, namun aku segera berlari menyusul teman-temanku menuju gerbang kampus. Kugapai bahu Asma lalu tawa kami berderai seperti biasanya. Dari kejauhan kulihat ia melindungi wajahnya dari sorotan mentari senja. Pandangannya tertuju padaku.

***

Aku sangaaaaat mencintai marchingband. Karena kecintaan itulah tiga hari kemudian aku tetap melangkahkan kaki ke kampus AKADEMI METEOROLOGI DAN GEOFISIKA. Padahal pakaian yang kukenakan bukan lagi training dan kaos olahraga kampus seperti biasanya. Hari itu adalah hari perdanaku memakai jilbab. Ya, baju kurung yang mengulur dari bahu sampai mata kakilah yang kukenakan. Kulihat puluhan pasang mata menatapku terpana saat aku memasuki ruang latihan. Apel pembukaan baru dimulai. Dengan rasa percaya diri yang kukumpulkan, kulewati puluhan tatapan sinis, merendahkan, dan mengucilkan itu. Teman-temanku seakan tak lepas melucutiku dari ujung kerudung sampai kaki. Mata sipit itu memandangku dengan tatapan tidak seperti biasanya, tapi aku tetap berjalan ke arahnya.

“Kak Wirawan, mulai hari ini boleh nggak saya latihan pake gamis?”, agak sedikit gemetar aku meminta izinnya.

“Ngapain pake gituan? mbak mau pindah kuliah ke Mekkah? ”, matanya membulat tanda tak setuju. “Mbak Wina aneh banget!”

Aku terkejut mendengar kata-katanya. Suara lembut dengan tatapan menyejukkan itu sudah tiada. “Ya sekarang pakaian saya di luar jam kuliah kayak gini Kak. Boleh gak saya tetap menjadi anggota Korps Marching Band AMG dengan pakaian seperti ini ??”. Kutinggikan nada suaraku pada pelatih alat tiup itu, aku mulai kesal dengan responnya. Apalagi teman-temanku mulai mengejekku dengan kata-kata yang membuat gatal telinga.

“Nggak boleh!! Kalo mau tetep latihan, tolong pake pakaian seperti biasa!!”, keputusan Kak Wirawan sudah terucap.

Kuhela nafas dalam-dalam,”Ya sudah Kak. Tolong cari peniup baritone untuk menggantikan posisi saya. Saya keluar!”

Gontai tapi pasti aku keluar dari ruangan itu. Kepalaku tertunduk. Hatiku tertohok oleh perasaan yang tak menentu. Air mataku mengalir, tapi sungguh, aku tak ingin mereka melihatnya.

“Win, Wina!!! Sebentar !” Teriakan Zakiy menahanku di pintu rektorat, “Kak Wirawan mau ngomong sebentar.” Kuikuti langkah komandan marchingband itu ke ruang tamu. Dari ruang latihan teman-teman antusias mencari tau apa yang terjadi. Mereka bergonta-ganti melongokkan wajah ke arah kami.

“Ada apa Kak?”, tanyaku singkat.

“Kenapa mbak Wina harus pake pakaian kaya gitu? Jangan ikut kaum ekstrem kanan, yang biasa ajalah ngejalanin hidup”, lelaki paruh baya itu menghisap tembakaunya dalam-dalam. Dia tampak bingung. Keringat tak berhenti mengalir dari dahinya. “Ini kan memang pakaian buat muslimah Kak. Saya tidak mau Allah enggan melirik saya karena saya tidak bersegera menjalankan perintahNya, padahal saya sudah tau itu. Saya lebih senang jika manusia yang membenci saya. Jadi tidak masalah kalau saya keluar dan dihujat, yang penting Allah ridha pada saya.”

Mata sipit itu bergerak kesana-kemari, mencari kata yang bijak untuk diucapkan, “Ya sudah, silahkan latihan lagi. Sulit untuk menemukan peniup baritone seperti mbak.” Ia menggilas puntung rokoknya dengan paksa. Aku tau ia menatapku sejenak sambil menelan kekecewaannya, lalu pergi tanpa berucap.

***

Siang itu, di bawah panggangan matahari kami berlatih display untuk acara 17 agustus. Seminggu lagi kami akan tampil di BMG pusat. Semua atasan menunggu hari itu, karena kami akan tampil perdana. Sudah 4 jam wajah-wajah kami terbakar panasnya matahari Jakarta. Suara Mega sebagai field commander terdengar makin parau. Bibirnya pucat, wajahnya bias. Aku juga merasakan mulutku baal, mati rasa. Tapi senyum tetap merekah menghiasi bibir-bibir barisan horn line, percussion line dan colour guard. Kami bangga. Kamilah angkatan pertama Korps Marching Band AMG. Namun jauh di lubuk hati, rasa yang tak karuan itu makin terasa. Dan aku ingin segera menumpahkannya.

“Kak saya mau keluar marchingband”, ucapku pada para pelatih seusai latihan, termasuk Kak Wirawan. Bola mata mereka membesar. Lagi-lagi aku harus menjelaskan. Dan lagi-lagi aku harus menerima cacian dan hujatan. Namun niatan untuk tunduk pada hukum syara’ membuatku sangat berani menjawab dan melewati makian itu. Seluruh pelatih dan teman-teman menghujatku. Tidak ada yang bisa menerima bahwa alasanku keluar adalah karena aku tidak mau lagi berikhtilat, tasyabbuh, dan meninggalkan kewajiban berjilbab saat tampil. Aku keluar dari ruang latihan dengan iringan koor “Huuu..” dari teman-temanku. Bisa dibayangkan?? Teman yang sudah hampir tiga tahun bersama, dengan mudah membenciku hanya karena aku keluar marching band. Padahal aku melakukan itu karena aku mencintai Rabbku!

Mata sipit Kak Wirawan memandangku sayu. Dadaku sesak. Gerimis di hatiku makin deras. Sungguh aku sangat mencintai marchingband, alat tiupku, dan teman-temanku. Aku ingin tetap berlatih dengan bangga sebagai angkatan pertama Korps Marching Band AMG. Aku ingin sebuah lambang kehormatan tersemat pada seragamku. Dan terlebih karena aku ingin melihatnya. Melihat lelaki paruh baya itu dengan tatapan lembutnya. Melihatnya menantiku merapikan alat di ujung ruang. Menikmati tawa dan senyumnya yang selalu terkembang untukku.

***

Di sinilah aku sekarang, empat hari setelah hari itu. Berdiri melihat kawan-kawanku berlatih drumband dari luar pagar kampus. Mereka semua tetap mendiamkan dan menghujatku. Tak ada yang sadar aku memperhatikan mereka, karena bagi mereka aku tak lagi berguna. Di tanganku ada lembaran buletin yang siap kuedarkan. Aku akan mengopinikannya pada adik-adik kajianku, yang tengah bersemangat menyongsong kemuliaan islam di depan mata. Dari kejauhan kulihat Kak Wirawan tengah menatapku, aku tersenyum simpul. Bagaimanapun, lelaki dengan dua putra itu sempat menjadi bunga tidurku sampai sekian waktu. Langkah kaki membawaku menjauh dari sana, dari marching band, Kak Wirawan, dan hiruk pikuk dunia.

Kulabuhkan lantunan cinta ini hanya padaMu Ya Rabb, karena aku mencintaiMu lebih dari apapun…

***


Hanun Al-Qisthi

Cerita Cerpen Suami Impian

Kamis, 24 Mei 2012
“Apa lagi, Nirina?”

Gadis dengan garis wajah oriental itu tak menjawab. Hanya menggoyang-goyangkan kakinya, resah.

“Tak ada yang salah dengan perawakannya, kan? Tidak seperti lelaki yang terakhir datang.”

Nirina tersenyum. Pasti pikirannya melayang ke kejadian tujuh bulan lalu, ketika seorang lelaki datang melamar. Biyan, namanya. Kehadiran sosok tegap itu segera saja membawa kami pada pertengkaran sengit,

”Aku tidak bisa.”

”Kenapa?” kejarku cepat. Ini bukan pertama kali Nirina beralasan. Selalu ada saja kekurangan lelaki yang melamarnya.

Kekanak-kanakan!

Terlalu serius. Lihat keningnya yang terus-terusan terlipat!

Wajahnya aneh, tidak terlihat tulus.

Entahlah, dari caranya berjalan, sepertinya dia tipe lelaki yang suka mendominasi perempuan!

Dan masih ada segudang alasan yang keluar dari bibir tipisnya.

Pun tujuh bulan lalu, ketika aku menerka-nerka keberatannya terhadap Biyan. Wajah lelaki itu simpatik, bahasanya pun santun. Penampilannya memang terbilang biasa, tapi jelek pun tidak.

”Jadi, apa lagi, Nirina?”

Matanya!

Di tempat duduknya, Nirina menggoyang-goyangkan kakinya, persis anak kecil. Tangan gadis itu berkeringat. Jantungnya berdegup lebih keras.

Aku memperhatikan Biyan lebih lekat, seandainya kamera, maka barangkali aku sudah menangkap wajah sederhananya dengan zoom terdekat.

”Tidak ada yang salah dengan matanya!” ujarku, setengah berbisik.

Nirina menggeleng-gelengkan kepala. Kerudung segi empatnya terusik.

Gemas, aku tak lagi bicara. Percuma, toh Nirina lebih sering tak mendengar perkataanku.

Kulihat mereka masih bercakap-cakap, tapi tak ada perkembangan. Upaya kedua orang tua Nirina untuk mengarahkan obrolan ke tingkat lanjutan pun tak menampakkan hasil.

Lima belas menit kemudian, Biyan pamit.

Selesai sudah, pikirku. Nirina memang terlalu.

”Jangan menyebutku terlalu!” protesnya cepat.

Seperti biasa Nirina selalu tahu pikiranku, seperti aku selalu bisa menebak isi kepalanya. Kami memang teramat dekat.

”Tapi kamu memang terlalu, Nirina.”

”Tapi, matanya….”

”Tidak! Bukan matanya. Ayolah, percuma bohong di depanku.”

Nirina menyenderkan badannya di pintu kamar. Kedua tangannya ditangkupkan ke wajah. Tak lama, bahunya mulai terisak-isak.

”Tolong, jangan desak aku terus.”

Entah isaknya, entah memang waktu itu sudah terlalu malam untuk berdebat. Aku mengalah.

Itu yang terjadi tujuh bulan lalu, tapi tidak kali ini.

Rahangku mengeras. Apapun yang terjadi, pokoknya aku sudah bertekad untuk mempertahankan pendapatku mati-matian. Demi kebaikan gadis itu. Nirina tidak bisa terus-terusan begini. Tidakkah dia sadar usia yang terus melaju tanpa hambatan?

”Aku tahu,” desisnya lemah.

Aku gembira mendengarnya. Sungguh. Tidak ada yang lebih menggembirakanku selain keberanian Nirina untuk jujur pada dirinya sendiri.

”Ya, bagus begitu. Mantapkan hatimu, Nirina.”

Nirina tak menjawab. Matanya sesekali mencuri pandang ke arah lelaki ke sekian yang masih terus bicara. Di antara mereka, kedua orang tua Nirina sebaliknya berkali-kali justru melirik anak gadisnya.

Mudah-mudahan kali ini berhasil, barangkali begitu pemikiran mereka. Setidaknya Nirina belum meninggalkan teman satu kantornya itu, meski sudah setengah jam lebih.

”See? Tidak jelek juga kan memberi dirimu kesempatan. Setidaknya kalian sudah satu kantor, pasti lebih mudah, sebab telah saling mengenal.”

Nirina tiba-tiba menggeleng. Melunturkan keyakinan diriku barusan.

”Kami memang satu kantor, tapi beda divisi. Dia orang baru malah. Tak banyak yang kutahu,” bisiknya dengan intonasi yang telah kuhafal.

Tidak! Tuhan, jangan biarkan Nirina menarik dirinya lagi. Kumohon….

Tapi Nirina mulai terlihat tidak nyaman. Kedua kakinya bergerak-gerak lagi. Wajah gadis berkulit kuning langsat itu kembali tak tenang. Puncaknya….

Jangan! Jangan begitu Nirina. Eh, kembali, jangan pergi. Nirina…!

”Aku tidak bermaksud begitu. Bukan maksudku menjadi perempuan yang selalu mengecewakan.”

Aku menarik napas panjang, bingung harus menjawab apa.

”Kamu egois, Nirina. Suami impian tidak akan datang jika kamu terus begini.”

Jawabanku yang tegas itu serta-merta membuat Nirina terkesiap,”Benarkah?”

Aku mengangguk.

”Maafkan aku, bukan maksudku begitu.”

Aku tiba-tiba saja ingin tertawa keras.

”Jangan keras-keras. Telingaku tidak tuli.”

Aku tetap saja tertawa. ”Nirina… Nirina,” sebutku kemudian, masih dengan gelak yang tersisa,”kamu tidak harus meminta maaf padaku. Memangnya, apa peduliku?”

Nirina terlihat tak mengerti.

”Dengar,” lanjutku lagi,”Tak peduli apakah seorang Nirina menikah atau menjadi perawan tua, tidak banyak bedanya bagiku. Toh kita tetap sama-sama, kan? Tidak ada yang bisa mengubah itu.”

Mata sipit memanjang milik Nirina tampak bingung.

”Kamu egois, Nirina. Dengar, selama ini kamu hanya mempedulikan perasaanmu, kemauanmu, dan lupa memandang sekitar. Sekali-kali keluar dari dirimu, Nirina. Pandang sekelilingmu dengan mataku. Lihat, betapa kecewanya wajah Papa dan Mama, setiap kali kamu menarik diri dari proses mengenal lebih dekat calonmu. Bisa kamu lihat sekarang?”

”Kamu bohong!” Mata Nirina mendadak berair.

”Itu yang sejujurnya, kamu tahu itu.”

Gadis itu menggeleng lagi. ”Tidak, tidak. Kamu bohong. Papa dan Mama baik-baik saja, mereka dua orang tua yang luar biasa. Tidak memaksakan kehendak kepada anak-anak mereka. Tidak seperti banyak orang tua lain yang kutahu.”

Ketika Nirina meninggikan intonasinya, dan mulai dengan serampangan membela diri, aku memilih bungkam. Tidur mungkin jalan keluar yang baik. Tapi sebelum pergi, aku meninggalkan kalimat ini padanya.

”Tidakkah setiap orang tua ingin menjadi kakek dan nenek, Nirina? Kebahagiaan apa lagi yang bisa kita berikan pada mereka, setelah kelucuan sebagai kanak-kanak menghilang?”

Nirina diam.

Tapi aku tahu, sebetulnya dia menyimpan kalimatku baik-baik dalam ruang penting di hatinya.

Buktinya, seminggu kemudian gadis itu kembali membuka diri. Padahal laki-laki yang datang kali ini sama sekali tidak dikenal gadis itu. Mariska, kakak satu-satunya Nirina yang mengenalkan.

Tingginya cukup, berat badan sedang. Alis hitam dan tebal, nyaris bertaut di dahi. Bibirnya sedikit kecokelatan, namun tidak terlihat hitam oleh rokok. Sungguh memberi kesan awal yang baik buatku, kuharap begitu juga buat Nirina.

”Ssst, siapa tadi namanya?”tanyaku, sekonyong-konyong.

Nirina sedikit tersipu, namun dijawabnya pertanyaanku dengan suara serupa bisikan,”Kamu tidak menyimak rupanya?”

Aku tertawa.”Tidak, sebab kamu sendiri tidak ingat namanya, kan?”

Nirina kembali tersipu. Tapi aku senang melihat semburat merah muda di wajahnya yang kuning.

”Bagus.”

Laki-laki itu menyebutkan namanya, membuat pias merah jambu itu kembali memuai di wajah Nirina. Seperti kanak-kanak yang tertangkap basah mencuri permen.

Aku tersenyum kecil melihatnya.

”Bagus ini teman Kak Riska waktu di SMA, Nirina.”

Kami berpandangan, lalu berbarengan ber’O’.

Setelah itu kata-kata mengalir, silih berganti. Selama pertemuan itu pula, aku mencatat perubahan cukup besar pada Nirina. Gadis itu terlihat lebih membuka diri, dan berusaha keras terlibat dalam percakapan secara aktif.

Dia, misalnya, mau bertanya di mana tempat tinggal pemuda bernama Bagus itu, lalu apa hobinya. Dan ketika Bagus menyebutkan membaca sebagai hobi utama, mata memanjang milik Nirina berkerlap.

Nirina bahkan berani menanyakan pekerjaan Bagus, juga keluarganya. Pemuda itu menjawab semua pertanyaan Nirina dengan simpatik. Aku suka melihat cara berbicaranya yang begitu teratur, tidak terburu-buru, santun tanpa perlu menjadi kaku.

“Ssst, kamu bertanya atau interogasi?” godaku saat Bagus berpamitan.

Awalnya Nirina tertawa saja. Tapi sewaktu jam demi jam berlalu, gadis itu berangsur tak tenang.

“Tidak perlu cemas begitu, Nirina.”

Gadis kesayanganku itu seperti tak mendengar, terus mondar-mandir di kamarnya yang berukuran 3 x 4. Lalu tak berapa lama, setelah Mariska pulang, kecemasan Nirina berubah menjadi kepanikan.

”Hey… hey… tenang saja, Nirina.”

Nirina menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu betul, aku terlalu agresif tadi. Harusnya tidak begitu. Ya Allah… lihat kan wajahnya begitu lega ketika pertemuan berakhir? Seharusnya aku lebih menahan diri, dan tidak bersikap seperti seorang polisi yang melakukan investigasi.”

Belum pernah kulihat Nirina segundah itu. Berkali-kali tangan rampingnya ditepukkan ke kening.

“Duh, bodohnya aku!”

“Tenang,”

“Tapi tadi kamu sendiri yang bilang begitu, kan?”

Aku garuk-garuk kepala, benar sih. Tapi tadi kan aku hanya menggodanya saja.

”Sekarang dia akan melihatku tak ubahnya aggressor, seperti Israel terhadap Palestina.”

”Kamu berlebihan, ah.”

”Ok, seperti striker di lapangan terhadap kipper?”

”Ini bukan pertandingan bola, Nirina. Tenanglah.”

”Sekarang dia akan berubah pikiran,”suaranya mengandung penyesalan.

Aku terenyuh mendengarnya. Suara gadis itu barusan terdengar tulus, pekat dengan kekhawatiran. Seolah berkata, dia telah menemukan suami impian.

Padahal ini baru pertemuan pertama.

Alhamdulillah.

”Tapi, bagaimana jika Bagus tidak kembali?”

”Gampang saja,” sahutku mencoba menenangkannya.

”Maksudmu?”

”Ya, setelah semua kecerewetanmu tadi, siapa yang sudi kembali?”

Nirina shocked, tapi aku tertawa.

“Hey… hey. Aku cuma bercanda, kok.”

Bibir gadis itu menyungging senyum. Hanya sekilas sebelum mendung kembali menggayuti, dan membuat paras Vic Zhounya murung.

Syukurlah kekhawatiran gadis itu tak terbukti. Beberapa hari kemudian, pemuda bermata hitam yang memiliki alis tebal itu datang lagi. Mariska kembali menemani percakapan dua anak muda itu, bahkan Papa dan Mama belakangan ikut meningkahi obrolan ketiganya.

Raut wajah Nirina cerah, aku senang merasakan hatinya yang melonjak-lonjak. Tampaknya pemuda ini memiliki kecocokan dengan Nirina, dan bisa memenangkan kunci hati gadis itu.

Pada pertemuan kelima, Bagus membawa kedua orang tuanya, dan mengajukan niatan. Mariska memang tak salah pilih makhluk untuk menikahi adiknya. Bagus tak seperti kebanyakan pemuda yang cuma mau pacaran, sebaliknya cowok itu dengan terus-terang mengemukakan keinginannya untuk memperistri Nirina.

Tibalah saatnya semua mata tertuju pada Nirina, yang sejak tadi menundukkan wajah mungilnya, yang hari itu dibalut kerudung ungu muda.

Diam-diam aku juga seperti mereka, menunggu. Berdoa, agar Nirina tak lagi ragu. Kemudian pelan-pelan kami melihat Nirina mengangkat wajahnya. Sebutir embun menggenang di kedua mata sipitnya. Dan seperti sulit dipercaya, Nirina kemudian menganggukkan kepala.

Yes! Yess! Yesss!

Aku bersorak paling kencang, meski sepertinya tak ada yang mendengar, kecuali Nirina sendiri.

Rapat kilat dilakukan, tanggal pun ditentukan. Hanya dalam waktu dua pekan sebuah pernikahan siap digelar. Aku betul-betul salut melihat kegigihan dan ketenangan pemuda bernama Bagus itu. Ketenangan yang perlahan mengalir pada diri Nirina, dan memberinya kemantapan hati.

Nirina… Nirina… akhirnya! desisku di antara peluk cium, Kakak, Papa, dan Mama. Kegembiraan serupa memancar dari wajah kedua orang tua Bagus, juga pemuda itu sendiri.

Begitulah, hari demi hari setelahnya, aku mencatat keriangan Nirina. Antusiasmenya dalam memilih undangan, mengurus sendiri ke percetakan, terkadang ditemani Bagus dan adiknya. Lalu mencari masjid tempat akad nikah dilakukan. Juga menyewa tempat resepsi besar, sesuai keinginan kedua orang tua Nirina. Aku sendiri tak heran, maklumlah mereka dua keluarga besar. Tentu banyak yang akan protes jika tak diundang.

Hingga hari H tiba.

Sejak malam sebetulnya aku menangkap sesuatu yang lain. Bukan kecemasan seperti yang sudah-sudah, meski udaranya nyaris serupa. Nirina, seperti menunggu sesuatu.

Salat malam dilakukan gadis itu, dengan sujud-sujud panjang. Lalu tangannya menengadah. Usai tahajud, gadis itu membuka jendela, dan matanya menerobos dalam kegelapan, seolah mencari-cari sesuatu. Bahkan hingga Subuh berkumandang, detak jantungnya kembali berbunyi keresahan, agak berbeda, tapi nyaris seperti yang lalu-lalu.

Mulanya aku tak mau bicara. Kubiarkan saja dia merenungi masa-masa terakhir sebagai seorang gadis. Lusa dia akan terbangun dengan seorang pendamping di sisinya, dalam dunia yang sama sekali berbeda. Bahkan sejak mereka masuk ke peraduan.

Harusnya, Nirina bahagia. Kenyataannya?

Lepas salat Subuh, ketika Mama menggedor kamar Nirina, menyuruhnya mandi, Nirina melakukannya setengah hati saja. Begitu pun ketika Mariska mengingatkannya agar segera keluar kamar, untuk dirias sebagaimana pengantin umumnya, Nirina menunjukkan sikap enggan.

Aku tak tahan lagi berdiam.

”Nirina, kenapa lagi?”

Wajah orientalnya tampak cantik dalam lipstik warna merah jambu. Tapi gadis itu masih saja tepekur di pinggiran ranjang pengantin yang sudah dihias dan menyebarkan wangi melati.

”Kamu harus ganti baju, Nirina.”

Kepalanya tertunduk,”Ya, aku tahu.”

”Lalu? Jangan katakan kamu ragu lagi.”

Nirina tak menjawab, kedua kakinya digoyang-goyangkan hingga ranjang sedikit terayun. Sikap yang kontan membuatku merasa cemas.

”Kamu tidak ragu lagi, kan? Tidak berubah pikiran, kan?”

Nirina menggelengkan kepalanya.

”Lalu apa? Ada apa?”

Nirina mengembuskan napas berat. ”Entahlah… aku rasa… aku….”

Kalimatnya terhenti, gadis itu menarik napas lagi.

”Kenapa denganmu?”

Nirina melompat dari tempat tidur. Barusan suara Mama menyuruhnya berpakaian, terdengar lagi.

Tangan Nirina menarik resleting kebaya putihnya. Lalu masih tetap dengan wajah murung, memakainya.

”Please, jangan sekarang, Nirina. Jangan ragu ketika kamu sudah sedekat ini,” pintaku, setengah memohon.

”Aku tahu,”

”Lalu?”

”Aku tidak ragu, hanya saja…,” suaranya kembali terputus teriakan Mama. Nirina menjawab panggilan orang tuanya tanpa membuka kamar. ”Sebentar, Ma….”

”See? Semua orang gugup hari ini, Nirina, apalagi kamu. Itu wajar!”

Nirina tak menjawab. Gadis itu kini telah selesai berpakaian. Dipandangnya sosok kecil mungil dalam balutan kebaya berwarna putih gading, dan kain batik di depan cermin. Selembar kain schiffon sebagai pelengkap jilbab dikenakannya tanpa ekspresi.

Ahh, aku tak suka melihat wajah cantiknya yang masih saja murung.

”Kalau bukan ragu, apa lagi?” kejarku setelah beberapa saat kami hanya berdiam.

”Aku menunggu pertanda.”

”Apa?” teriakku kaget,”Pertanda?”

”Ya!” jawabnya tegas,”Pertanda dari Allah, bahwa Bagus memang suami impian, laki-laki yang dipilihkan-Nya untukku! Apa itu salah?”

Fhew. Nirina sungguh menguras kesabaranku.

“Dan kamu belum mendapatkannya? Selama obrolan lima kali dengan calonmu itu, tidakkah kamu bisa menangkap pertanda?”

Nirina menggeleng.

Ya Allah. Aku makin kesal dibuatnya.

“Maksudku bukan itu, tapi pertanda. Sesuatu yang bisa membuatku lebih mantap, sebab tahu memang dialah pilihan dari-Nya.”

“Pertanda, ya? Pertanda?!”

“Ya… sudah sejak semalam aku memikirkannya.”

“Kenapa tidak mencari pertanda ketika tanggal belum lagi ditetapkan?”

“Tidak bisa.” Kepalanya menggeleng lagi, ”Sebab kali ini aku tak punya alasan. Tidak matanya, tidak cara berjalannya, tidak sikapnya, tidak dahinya yang selalu berkerut, tidak ada!”

Bagus nyaris sempurna di mata Nirina. Sosok suami yang diimpikannya. Aku tahu pasti itu.

”Kalau begitu, ini cuma alasan yang dicari-cari!” teriakku dengan suara tertahan.

Sementara matahari terus bergulir. Di luar kamar sudah terdengar suara riuh sanak saudara yang datang untuk mengantar Nirina ke tempat akad nikah, sekaligus resepsi. Pintu sudah berkali-kali diketuk, tapi Nirina belum keluar juga. Dan alasannya cuma satu: gadis itu belum menemukan pertanda!

Ini gila!

”Jangan menyebutku begitu. Sudah kubilang ini cuma masalah waktu. Pertanda itu pasti datang.”

”Seperti apa?”

Nirina mengangkat bahunya. ”Entahlah, tapi mungkin aku akan mendengar orang-orang menyebut kata ’bagus’ berkali-kali, atau awan tiba-tiba membentuk inisial nama kami berdua, atau….”

”Atau kamu tiba-tiba melewati mobil pengantin lain, atau melewati toko kue di mana terlihat kue pengantin tiga tingkat disana, atau sekawanan burung-burung terbang di langit membentuk wajah calon suamimu itu… atau…,” ujarku asal.

Nirina mengangguk. ”Ya, seperti itulah. Apa pun yang bisa dijadikan pertanda.”

Aku benar-benar hilang akal, Nirina kenapa tidak mendengar kata-kataku, sekali ini saja!

”Cobalah mengerti, terlalu banyak yang harus aku pertaruhkan,” ujarnya mencoba meyakinkanku, ”Bagaimana kalau Bagus tak sebaik yang kita duga? Bagaimana jika dia sudah punya istri dimana-mana, bagaimana jika dia nanti ternyata suka memukuli istri? Atau ternyata pernah terlibat mafia di luar negeri, atau merampok bank?” Suara Nirina meninggi, di sela ketukan pintu yang kembali terdengar.

”Kamu kebanyakan nonton infotainment!” sergahku cepat.

Ketukan di pintu berulang lagi. Ritmenya kian cepat. Orang-orang pasti mulai tidak sabar.

”Nirina….”

Itu suara Mama.

Nirina diam, aku tahu dia menungguku mengucapkan sesuatu.

“Kalau begitu, cari kelebihannya Nirina. Pusatkan pikiranmu pada kebaikan-kebaikannya, itulah pertanda! Itulah alasan kenapa kamu harus menikah dengan Bagus.”

Nirina diam, aku tahu dia sedang berpikir keras.

Tetapi tak ada waktu, suara ketukan di pintu kini telah berupa gedoran.

Nirina harus segera mengambil keputusan. Sebentar lagi pintu mungkin didobrak dari luar. Mereka bisa saja mengira gadis itu telah pingsan di kamarnya karena nervous.

Di tepi ranjang, Nirina masih berpikir. Mengetahui itu aku menjadi lebih semangat mengembuskan pikiran demi pikiran.

Sikapnya yang sopan, Nirina.

Matanya yang tak liar ketika menatapmu.

Perhatikan bagaimana dia selalu menunggu lawan bicaranya selesai, sebelum menanggapi.

Pikirannya yang cerdas telah menghemat banyak biaya pernikahan.

Keinginan untuk memperistrimu secepatnya.

Ingat senyumnya yang hangat. Matanya yang teduh.

Kesabarannya menjawab pertanyaan-pertanyaanmu. Juga keraguan yang beberapa kali melintas.

Lalu salatnya yang selalu tepat waktu.

Air mata Nirina menetes.

Aku mengangguk, ”Itu lebih dari pertanda, Nirina. Allah mengirimkanmu seorang lelaki yang baik.”

Nirina mengikuti anggukanku.

”Well, mungkin tidak seganteng Keanu Reeves, perawakannya pun tidak setegap Ade Ray, apalagi suaranya jika dibandingkan Clay Aiken yang merdu, belum lagi….”

Nirina mengapus air matanya. ”Sudah, sudah. Jangan membuatku kembali ragu,” potongnya cepat.

Aku setuju.

Di dalam mobil yang mengantarnya ke tempat akad nikah, aku mendengar Nirina bersenandung kecil.

”Nirina….”

”Apa?”

”Tidak jelek kan menuruti kata hati?”

Gadis berwajah oriental itu mengangguk. Lalu tersenyum lebih lebar. Menenangkan Papa dan Mama, yang sejak tadi tampak kebingungan menyaksikan percakapan Nirina denganku sepanjang perjalanan. Barangkali alasannya karena aku cuma sosok tanpa wujud. Ah, seharusnya sejak tadi aku memperkenalkan diri pada mereka.

”Ehem… namaku nurani, atau….”

Aku masih berusaha memikirkan beberapa nama lain, ketika sebuah suara yang akrab denganku sejak kelahirannya, menyergah. ”Ssst… jangan berisik!”

Mengingatkanku akan prosesi yang sebentar lagi dimulai.

Diambil dari buku kumpulan cerpen dengan judul yang sama “Suami Impian”

Be My Valentine

Sabtu, 19 Mei 2012
Penulis : El-Syifa


“Tell me whom you love and
I will tell you who you are
Will you be my valentine?”
Meti meremas secarik kertas tanpa dosa di genggamannya. Tulisan cantiknya yang mengisi ruang kecil lembaran putih itu berkerunyut kusut. Valentine! Valentine! Huh! Kapan dia akan mendapat memo cinta seperti itu dari seorang pangeran impiannya? Seperti Rosa, seperti Pupuy, Lula, atau Sarah. Mereka semua sudah punya pacar dan segudang rencana menjelang hari kemerdekaan cinta, 14 Februari itu. Bahkan, sejak minggu-minggu ini, sebelum angka-angka di kalender Januari menunjuk nilai tertinggi.
Memang, di antara lima sekawan, bukan dia sendiri yang belum punya pacar. Pupuy dan Lula masih sorangan wae dan mereka menikmati kesendirian mereka. Tapi, untuk hari Valentine nanti, mereka sudah punya pasangan untuk teman ngedate di pesta-pesta romantis milik orang-orang yang penuh cinta. Itu istilah mereka. Sementara Meti? Gadis itu melirik sosoknya di kaca etalase toko buku megah itu. Separah apa wajahnya hingga tak ada seorang pun pria berminat padanya? Untuk sehari saja sekalipun. Dada Meti menyesak.
Kotak empat persegi yang dipenuhi kartu-kartu bergambar hati dan merpati berwarna pink di depan pintu utama berjubel pengunjung. Semua hampir gadis-gadis belasan tahun. Meti berjalan menghindar.
“Nah, lho, ketangkap sekarang!”
Jantung Meti berdebam-debam seketika. Menghentak-hentak dadanya. Wajahnya memucat tanpa setetes darah mengisi pembuluh di muka bulatnya itu. Dua gadis semampai berseragam abu-abu putih berdiri di hadapannya. Terkikik dengan tawa khas mereka. Rosa dan Pupuy.
“Mau cari kartu, ya? Bocoran buat bikin janji, ya? Sama siapa? Ronnie?” selidik Pupuy antusias. Cengirannya melatari semua pertanyaan interogasinya itu.
”Wah, iya, pasti Ronnie, nih! Dengar-dengar dia belum ada gandengannya, tuh! Ayo, dong, Met, nanti keduluan orang tahu rasa, lo!” Rosa mengompori.
”Apaan, sih!” tidak tahu kenapa, tapi akhir-akhir ini tensi Meti memang cepat sekali melonjak. Meggelegak berbusa-busa. Persis air mendidih bersuhu seratus derajat celsius yang bisa mematikan kuman-kuman. Terlebih jika itu menyangkut Ronnie.
”Marah, nih, ye! Ingat, lho, valentine gak ada istilah ngomel, musti sayang-sayangan. Termasuk sama temen. Tul, kan, Puy?” Rosa tersenyum dikulum. Sebelah matanya berkedip nakal.
”Valentine apaan, aku nggak ngenal, tuh, budaya barat jelek kayak gitu. Nggak ada manfaatnya lagi,” cetus Meti ketus.
”Siapa bilang jelek? Asyik lagi! Kita bisa bebas mengungkapkan rasa sayang kita pada semua orang tanpa rasa malu atau bersalah. Hari itu, kan hari kasih sayang. Kasih coklat, kasih bunga, pokoknya ungkapan cinta dan nggak ada orang yang berhak melarang,” Rosa bereaksi cepat. Pupuy terkikik di belakangnya. Dua macan di gank mereka sudah siap bertarung. Salah satu harus dilarikan sebelum seisi hutan kocar-kacir dibuatnya.
”Budaya seperti itu, kan, tidak Islami,” sergah Meti.
”Memangnya dalam Islam nggak ada cinta dan kasih sayang, ya?!”
”Nggak. Yang dikatakan dengan coklat bergelatin lemak babi, mawar merah, dan pesta–pesta gala murahan tidak ada!”
”Stop! Sudah, sudah, jangan berkelahi di sini. Kasih sayangnya hilang lagi nanti. Yuk, Ros, kita duluan. Darah tinggi Meti lagi kumat, tuh! Mengalah sajalah, setidaknya untuk hari ini sampai Valentine nanti,”Pupuy menggamit pinggang Rosa. Menariknya meninggalkan Meti yang masih menyimpan kedongkolan di hatinya.
”Sorry, Met!” Pupuy masih menyempatkan menghadiahkan ciuman sekilas di pipi Meti, menimpa sebagian batas kerudung di wajahnya. ”Kita duluan, nih, nggak apa-apa, kan?”
Pupuy yang bijak. Batin Meti. Wasit yang baik dalam komunitas lima makhluk terunik di bumi ini. Tanpanya, tidak akan mungkin mereka utuh sampai hari ini. Pertengkaran demi pertengkaran kerap membayangi persahabatan mereka, terutama karena darah panas Meti yang gampang terpancing. Pupuy yang selalu menengahi. Membawa kesejukan. Membawa perekat untuk mereka berlima.
Dan Rosa, dia yang paling tomboi. Hampir tak ada nilai keperempuanan pada diri anak itu. Tapi anehnya, masih juga ada makhluk bernama cowok yang tertarik pada rambut cepak dan raut keras wajahnya. Meti mendesah. Dia feminin, setidaknya itu yang dia rasa. Berjilbab lagi! Banyak cowok suka perempuan berjilbab. Lebih anggun, lebih beraura, lebih kelihatan suci. Ho … ho … meski itu seharusnya milik mbak-mbak yang jilbabnya menyapu dada dan punggungnya. Meti, sih, ditiup angin saja, ujung jilbabnya berlarian. Membuka sekilas kuduknya yang bersih tak tersentuh matahari. Tapi apapun, Meti tetap berkerudung. Dengan baju full pressed body dan celana cordoray sekalipun. Atau jangan-jangan selembar kain di kepalanya itu yang membentenginya dari tangan laki-laki. Tidak ada yang mau dengannya? Tidak laku? Hiii ….

Membayangkan semua itu Meti bergidik sendiri. Benarkah? Bisa saja Ronnie tidak suka dengan perempuan berkerudung. Lebih suka gadis-gadis yang berambut indah terurai seperti bintang iklan sampo di televisi. Lho, kok, Ronnie? Meti menangkap kembali hatinya yang mulai melangkah pergi lagi. Ya, kenapa Ronnie?
Entahlah, namun bulan-bulan terakhir jantung Meti selalu berdegup sepuluh kali lebih kencang jika mengingat makhluk yang satu itu. Apa lagi mendengar namanya di sebut. Apa lagi bersirobok dengannya. Seperti udang yang dicelupkan ke air mendidih, pasti. Merah padam. Tanda-tanda apa? Benarkah dia naksir Ronnie, seperti kata sebuah majalah remaja yang kerap dia baca? Suka curi pandang, suka ngomongin, gampang panas dingin, corat-coret namanya di mana-mana, ngelamunin, salah omong, juga jadi manusia paling majnun di dunia. Duhai ….
”Cinta itu fitrah manusia, namun kita harus bisa menempatkannya pada suatu keadaan yang dilegalkan Allah. Islam telah mengatur semua itu. Memberinya kemudahan dengan pernikahan …” Tidak sama persis kalimatnya, namun Meti ingat, pernah membacanya di sebuah situs Islam lokal. Menikah? Tidak boleh pacaran sebelumnya? Nggak ku … ku …!
Gedubrak!
Meti mengelus jidatnya. Senyum sipunya mengembang. Lebih mirip meringis sebenarnya. Etalase buku ditabraknya dengan sukses.
”Nggak apa-apa, Mbak?” seorang gadis pramuniaga menghampirinya.
”Oh, ehm, nggak!” Meti tergagap. Tangannya masih memegangi jidatnya. Lumayan sekali.
”Nggak sakit?”
Meti menggeleng, ”Maaf, ya, saya benar-benar nggak sengaja.”
Dengan malu-malu, diiringi tatapan beberapa pengunjung, Meti berlalu. Menghampiri eskalator dan menaikinya hingga lantai dua.
***
”Satu kelompok dengan Ronnie?” batin Meti sambil memandangi selembar kertas berisi daftar nama kelompok-kelompok praktikum biologi minggu depan.
”Nah, tertangkap!” Rosa menepuk dua bahu Meti sekeras-kerasnya. Matanya segera bergabung pada lembaran kertas di tangan Meti.
”Satu kelompok dengan Ronnie, ck, ck, boleh juga!” decaknya ketika menemukan nama Ronnie terpampang sebagai ketua kelompok Meti. ”Hoi, girls, Meti gabung dengan Ronnie!” teriaknya sadis kepada teman-teman lain.
Ronnie yang tengah menulis di bangkunya mendongak. Meti memerah. Sedetik kemudian memutih kapas. Lesu. Jantungnya kumat lagi. Terlebih melihat Ronnie ada disitu.
”Jadi valentinan?” tanya Lula yang memang sedikit gagap daya tangkapnya.
”Iya,” angguk Rosa tanpa memedulikan keadaan Meti yang nyaris pingsan.
Meti tiba-tiba menemukan satu mata pedang menusuk hatinya. Kilat mata milik Ranti yang duduk di deretan paling depan. Satu-satunya gadis berjilbab lebar di kelasnya. Yang paling getol mengajaknya ngaji setiap Jumat siang di musala sekolah. Dia ibarat malaikat yang selalu mengawasi gerak-gerik Meti. Menegurnya tanpa segan-segan. Dan Meti tidak suka itu. Sok tahu.
Dengan sedikit menata hatinya, Meti pergi menjauh. Ini jalan yang terbaik sebelum pertengkaran terjadi. Di depan malaikat Ranti dan di depan si Romeo Ronnie, Meti tak mau merusak imejnya. Jaim sedikit untuk kemaslahatan yang lebih banyak.
Di sudut sekolah, Meti meluruskan punggungnya. Memeluk kedua lututnya. Ronnie bahkan tak bereaksi tadi. Sebegitu parahkah aku? Keluhnya. Tanggal empat belas sudah di depan mata. Anak-anak gaul kelasnya sudah ribut. Dan apakah Meti akan merana sendirian di kamarnya, pada hari penuh makna itu? Meti menatap bayangannya yang jatuh di antara kerikil-kerikil putih yang tertata rapi di hadapannya. Selembar daun flamboyan kering terbang bebas di udara dicerabut angin dari tangkainya. Merana. Meti mendesah.
***
”Legenda lain bercerita tentang seorang pendeta Katholik dari abad III bernama Valentinus yang dijebloskan ke penjara dan dihukum mati oleh Kaisar Claudius karena ingin menyebarkan agamanya. Selama di penjara, Valentinus tetap memegang teguh imannya dan diceritakan bersahabat dengan putri sipir penjara. Ketika akhirnya Kaisar menghukum mati Valentinus pada 14 Februari 269, ia menulis surat bertuliskan from your valentine kepada anak sipir penjara sebagai tanda mata terakhir.
Seiring dengan berjalannya waktu, cerita tentang Valentine ini berkembang dalam berbagai versi. Namun orang biasanya lebih memfokuskan pada kisah romantis di belakangnya. Ada yang mengatakan bahwa Valentine sesungguhnya jatuh cinta pada anak sipir penjara itu, dan surat yang diberikannya sebagai tanda mata terakhir merupakan awal dari tradisi menulis surat cinta di antara pasangan kekasih …”
Meti menggarisbawahi kata-kata seorang pendeta Katholik pada artikel sebuah majalah remaja di tangannya. Bibirnya mengerucut. Shiba, boneka beruang birunya, dihempaskan begitu saja ke lantai.
Meti tahu cerita itu dari dahulu. Hafal di luar kepala bahkan. Versi Romawi, Prancis, Inggris, Wales, Itali, Jerman, Amerika Utara, bahkan sampai cerita gadis penenun di Cina. Dia juga tahu, itu bukan tradisi Islam. Tapi jika cinta menghampiri, siapa yang kuasa mengelaknya? Semua temannya mengharap valentine tiba. Mengungkapkan rasa cintanya pada pujaan mereka. Bahkan lebih luas lagi.
”Nggak harus kekasih, pada bonyok, adik, kakak, saudara, bahkan si bibi atau mamang sopir bisa saja diungkapkan. Pokoknya hari itu harus full senyum, deh!” kata Pupuy dengan bijaknya.
Meti tersenyum. Dia sudah membacanya di majalah remaja khusus cewek edisi valentine yang terbit minggu ini. Semua yang berbau perayaan pink itu dikupas habis. Tips mau kencan, kado-kado istimewa, baju-baju yang cocok, wah, komplet.
”Met, ada telepon, tuh!” panggil Mamah dari ruang tengah. Telepon? Sepertinya tadi dia tidak mendengar deringnya. Meti kian pusing. Mengapa jadi begini? Dia melihat sekilas kalender di atas rak bukunya. Tanggal sebelas Februari.
”Makasih, Mah!” seru Meti sambil mengangkat gagang telepon.
”Ranti,” jelas Mamah tanpa ditanya.
Meti berubah. Mengganti nada bicara yang sudah di ujung lidahnya. Tadi, dia sangat berharap, semoga saja yang meneleponnya … Ronnie!
”Meti, bisa bantu kami nggak, buat ngurusin diskusi khusus bulan ini? Kebetulan kami lagi kekurangan orang di kepanitiaan, nih!” kata Ranti setelah berucap salam.
”Kapan?”
”Tanggal empat belas, dari asar sampai ba’da magrib.”
Tanggal empat belas? Pesta Valentinan gengnya.
”Bisa, ya? Soalnya kami benar-benar butuh orang. Diskusi kali ini rada spesial, pembicaranya saja Ustad Zakaria yang ngetop itu,” pinta Ranti penuh harap.
Meti menggaruk kepalanya. ”Aku nggak yakin, sih, tapi nanti aku usahain!”
Malas, Meti menutup teleponnya. Ke musala atau gabung dengan teman-temannya, ya? Kalau gabung dengan Pupuy cs bisa-bisa dia dicengin habis, jika hadir tanpa pasangan. Biarpun mereka membolehkan datang dengan saudara, tapi malu, dong, sementara mereka semua dengan pangeran masing-masing. Jangan-jangan dikira nggak laku!
***
Ini hari termemuakkan bagi Meti, sebenarnya. Hari-hari yang panjang telah dia lewati dengan penuh kecemasan dan kebimbangan. Ronnie tidak pernah bercakap dengannya kecuali saat praktikum biologi di lab. Sedikitpun tak ada harapan baginya. Segalanya terasa gelap.
Ah! Meti nyaris tak percaya melihat daftar surat yang ada di inbox-nya. Ya, internet obat stres paling mujarab untuk Meti. Dia bisa bermain ke mana saja dia suka.
Ronnie Alam Bhuana. Meti mengucek matanya. Nggak salah? Segera dibukanya surat berisi bom waktu yang siap meledakkan dadanya itu.
Singkat. Pendek saja isinya.
Tell me whom you love and
I will tell you who you are
Will you be my valentine?
Ronnie
Napas Meti memburu. Tidak salahkan penglihatannya? Pangerannya telah datang di saat-saat kritis hampir menjelang. Sesaat jemarinya bergetar. Lupa untuk me-replay surat bersejarah ini. Angannya bermain-main di atas langit-langit kamar. Baju apa yang akan dia kenakan? Memakai lipstikkah? Parfum apa yang cocok? Semuanya berputar dalam kerut merut otaknya. Dan mestikah dia mengenakan jilbabnya? Angan Meti terbanting membentur dinding. Ya, bagaimana dengan jilbabnya?
***
Meti berputar sekali lagi di depan cermin. Kulot merah tua, gamis selutut warna pink yang manis dihias renda-renda di ujung lengan dan ujung bawah, juga jilbab mungil warna senada yang dipasang gaya. Bibirnya disapu usapan tipis lipstik merah muda. Meti tampak berbeda. Dia tersenyum. Baru dia sadari kini, sebenarnya dia memiliki sisi kecantikan yang selama ini tersembunyi.
”Duh, yang mau valentinan …!” ledek Mamah ketika Meti keluar dari pintu kamar. Gadis itu tersipu, ”Jangan sampai malam, ya, Met.”
”Oke, deh!” sahut Meti mantap.
Dia menatap jam yang terpasang di dinding. Hampir setengah empat. Ronnie berjanji menjemputnya tepat setengah empat.
”Tuh, kan, Met, meski pakai jilbab kamu tetap bisa tampil gaya dan mengikuti tren,” cetus Mamah yang menjajari Meti. Dulu Mamahlah yang mendorong Meti untuk berjilbab. Katanya, nenek ingin cucu perempuan satu-satunya berkerudung setelah akil baligh. Maklum, kakek dan nenek kan, Haji! Mamah sendiri kalau pergi biasanya berkerudung. Kerudung gaya.
Hampir jam empat. Meti mulai gelisah. Masa, sih, kencan pertama telat. Nggak punya sopan santun.
Telepon berdering. Meti nyaris melompat menyambar gagang telepon warna hitam itu.
”Apa?!” dia nyaris tak percaya.
Wajahnya berubah.
“Baik, nggak apa-apa, kok. Bye!” Meti menutup telepon.
Mamah yang memperhatikan semua itu menatapnya heran.
Meti melangkah gontai ke kamarnya.
”Ada apa, Met?” kejar Mamah.
”Pestanya batal,” sahut Meti ketus.
”Lho?!”
”Ronnie lupa kalau hari ini dia punya acara dengan keluarganya.”
”Kok gitu?”
”Udah, ah, Mah. Meti mau tidur aja,” Meti merajuk. Hatinya hancur berkeping-keping. Yah, ternyata dia memang tidak berharga. Nggak ada orang yang cinta sama dia. Karena dia buruk rupa, karena dia berat badannya empat kilo lebih banyak dari bobot idealnya. Meti memperkuat bendungan air di matanya. Dia tidak mau menangis di depan Mamah.
Meti meremas-remas Shiba hingga bulu-bulunya berantakan. Tak peduli baru di-laundry dua hari lalu. Air matanya berlelehan membasahi pipinya yang tersapu bedak. Bayang daun-daun palem di luar jendela melindunginya dari sinar hangat matahari sore.
Menit demi menit berlalu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Diliriknya weker di atas meja sekilas. Tergesa, disambarnya tas di sampingnya. Setengah berlari dia melintasi ruang tengah.
”Mau ke mana, Met?” tanya Mamah yang tengah membaca di sofa.
Meti tidak melihatnya, ”Valentinan!” sahutnya.
”Katanya tadi?” Mamah mengernyitkan keningnya.
”Di musala sekolah ada diskusi tentang valentine, Mah,” jelas Meti,”Daripada di rumah, bete.”
Mungkin diskusi telah dimulai, tapi terlambat sedikit tidak apa-apa daripada tidak sama sekali. Meti membuka pintu taksi dengan hati lapang. Ke mana dia selama ini, ya Allah? Meti tahu, belum sepantasnya dia mencintai manusia sebelum dia mampu mencintai Allah dengan seluruh jiwanya. Dia bersyukur Ronnie tak datang. Setidaknya dia masih diingatkan setelah selama ini terbuai dengan kehidupan yang ditawarkan sahabat-sahabatnya.
Lampu merah menghadang laju taksi yang ditumpangi Meti. Jalanan sore tak pernah sepi dari macet. Tiba-tiba Meti tersenyum. Hidup itu seperti jalan raya, harus taat peraturan jika ingin selamat. Coba saja jika lampu merah diterobos, bisa hancur tubuhnya diserbu ratusan mobil yang tengah melintas juga.
Dia ingat Pupuy, Rosa, Lula, yang harus dia tinggalkan. Ya, harus. Namun, suatu saat Meti berjanji akan kembali. Karena, dia mencintai mereka dan dia ingin berbagi dengan mereka tentang makna sebuah cinta yang lebih berharga dari sebatang coklat. Cinta pada Allah. Pada-Nya kita takkan kecewa.
***

Diambil dari buku kumpulan cerita berjudul ”Kidung Kupu-Kupu Putih”.
karya El-Syifa.etakan I, Shafar 1422 / Mei 2001.
 

http://cerita-cerita-di.blogspot.com Copyright © 2012-2013 | Powered by Blogger