Post View:

Cerpen Cinta Hujan Yang Kunanti Pergi

Kamis, 27 September 2012

Kau tidak menyapaku pagi ini.
Kau tidak membangunkanku dari mimpi.
Dan mimpi itu terus berlanjut bahkan ketika kelopak mataku terbuka di akhir keremangan fajar ini.
          Lihatlah keluar. Menembus kaca tebal berbingkai mahoni yang tegar menahan deraian titik-titik hujan yang berusaha menerjang masuk, berusaha menyerangku, berusaha menyakitiku dengan rasa dingin yang tak terbayangkan.
          "Bagus sekali, hujanlah yang mengawali hari pertamaku di sekolah baru, " umpatku dalam hati.
          Dan selama hampir 16 tahun hidup di bumi, aku tahu bahwa ini sama sekali bukan pertanda baik. Terlebih kau belum menmukanku di kota ini. Apa kau marah karena aku meninggalkanmu saat kau tengah terlelap?
          Lebih baik tidak kuawali saja hari ini, pikirku sambil merebahkan diriku ke kasur keras itu lagi. Tak lama kemudiaan, kudengarkan pintu kamarku degedor keras.

          "Hei tukang mimpi, cepat bangun. Kau ingin terlambat di hari pertama sekolah?" teerdengar suara cempreng Elvira, adik perempuanku. Berisik sekali.
          Aku bangun dengan bersungut-sungut. Vira terlonjak kaget pintu kamar kubuka dengan kasar tepat di hadapan mukanya.
          "Eh, kata Ayah.... Kamu ditunggu di ruang makan!" katanya sambil buru-buru menyingkir.
          "Tak usah menungguku jika mau sarapan!" teriakku ke arah ruang makan. Entah mereka mendengarnya atau tidak, suaraku kalah oleh ributnya suara hujan yang mendra atap rumah. Berisik sekali.
          Itulah salah satu alas an mengapa aku membencimu. Aku menyukai ketenangan dan aku tidak menyukai suara hujan yang berisik ini.
          'Aaahh...!" jeritku menggema di koridor.
          Aku bisa merasakan tanganku yang memegang kenop pintu kamar mandi bergetar hebat. Seluruh urat sarafku merinding melihat cacing yang menggeliat di lantai kamar mandi.

          Hujan terkutuk! Lihatlah perbuatanmu, membanjiri liang cacing malang ini, shingga dia berjuang menyelamatkan diri ke permukaan, tersesat di kamar mandiku.
          Sambil menahan jijik, kusambar gayung dan kusiram cacing itu hingga menghilang k dalam lubang saluran air.
          "Lama sekali kau mandi, tetap saja berdaki!" ujar Vira.
          Ia memang paling senang memulai perkelahian kata-kata denganku, tapi aku malas meladeninya.
          "Sudah. Annablle, kehabisan waktu!" ujar Ayah.
          Piring Ayah dan Elvira sudah kosong. Sementara itu dipiringku teronggok sepotong telur dadar hangus mahakarya Ayahku tercinta. Aku bergidik melihatnya.
          "Biar aku makan di kantin saja. Aku tidak mau terlambat ke sekolah," kataku mngelak.
          Untung Ayah mau mengantarkan kami ke sekolah sebelum beliau berangkat ke kantor barunya. Aku tidak rela membiarkan hujan membasahi badanku, karena tidak ada kau yang akan menghangatkan batinku.

          "Ayah, mengapa berhenti?" tanya Elvira.
           "Jalanan banjir, lvira, macet jadinya," jawab Ayahku.
          "Uhhh, bagaimana ini? Aku tidak ingin terlambat ke sekolah di hari pertamaku!" rengek Vira.
          "Bawel sekali kau," tukasku,"masih SMP saja..."ini gara-gara Kak Anna sih, pakai acara susah dibangunin, mandinya lama lagi,"kata Vira marah.
          Aku sudah bersiap membalas ucapan Vira dengan kata-kata pedas, namun Ayah keburu menyela.
          "Tolong, diamlah kalian, Ayah lelah mendengar pertengkaran kalian..."
          Suasana langsung senyap. Di luar, hujan menguping percakapan kami, riuh menertawakan kecanggungan di antara kami. Barangkali juga menyindirku bahwa diam-diam dalam hatinya Ayah juga menyalahkanku, seperti Elvira. Seperti semua orang lain.
          Tidaklah mereka mengerti binag keladi sesungguhnya? Perhatikanlah lekat-lekat, pada hujan yang menumpahkan buih-buih air ke bumi dan menumpahkan segala ksalahan yang diawalinya padaku.

          Aku akan menghadapi hujan terkutuk ini, hanya untuk kali ini, daripada terjebak di antara orang-orang yang selalu menimpahkan segala kesusahan padaku.
          "Sampai disini saja, Yah. Sekolahku di tikungan itu, aku bisa jalan kesana. Aku juga lelah mendengar rengekan gadis cengeng kesayangan Ayah!" semburku, meraih payung dan membuka pintu mobil.
          Bunyi klakson kendaraan meredam apapun yang dikatakan oleh Ayahku dan Elvina. Lagi-lagi suara hujan menjerit senang karena mengira aku menyerahkan diri.
          Enak saja, aku memiliki perisai payung hitam legam ini. Justru genanganmu lah yang kocar-kacir, muncrat, kabur kemana-mana menghindar dari injakan sepatuku yang bergesper kras. Kau pun menggerutu kecewa, lambat laun kehilangan minat, namun masih urung berhenti.
          Bruuuk... begitu asiknya aku menertawakan kekalahanmu sampai tak kuperhatikan arah langkahku dan kutubruk sosok yang tengah berjalan di trotoar.
          "Eh, maaf?"     
          Orang yang kutabrak ini memakai seragam SMA yang sama seprtiku. Usianya tidak lebih dari stahun di atasku atau mungkin malah sebaya denganku. Ia hanya menanggapi permintaan maafku dengan seulas snyum. Bukan hanya bibirnya yang tersenyum, matanya berkilat ikut tersenyum, mata berwarna kelabu seperti gadis Jepang di sebuah buku yang pernah kubaca.
          Matanya bergerak, seiring langkahnya yang bergerak lagi, menembus tirai hujan rintik-rintik, tanpa apapun untuk sekedar menahan rintik yang membasahi tubuhnya.

          Lihatlah,
          Bagaimana bisa ia berjalan tenang menembus hujan yang menertawakan ketololannya?
          Aku masih di tempatku, mata kelabunya laksana sebidang cermin yang memantulkan baying-bayang pudar. Bayangnya pun memudar dan akhirnya aku benar-benar kehilangan dirinya. Entah berapa lama aku terpaku di tempat, sampai aku sadar tujuanku ada di balik tikungan itu.
          Mataku mencari mata kelabu itu di setiap sudut gedung sekolah tua ini. Pastilah dia berada di sisi lain gedung ini, di sudut paling sakral untuk memuja keangkuhan hujan, tempat dia bisa mengulurkan tangan meraih percikan rintik sang hujan. Aku sebaiknya, memilih bersembunyi dari hujan di tmpat ini. Nyaman, kering dan hangat, seperti yang selalu kurasa saat kau tersenyum lebar padaku, menghipnotis urat-urat senyumku bekerja. Sayang kau tak jua kembali meski kulihat hujan telah lelah. Biarlah, walaupun mungkin hujan hanya berpura-pura lalu menyerangku di titik kelengahan denga tiba-tiba, kuseret rasa lemahku  mencari sepotong bayangnya.
          Akhirnya setelah menyibak lekuk-lekuk tempat pemujaan hujan, aku menemukan sosoknya. Ia berdiri bebas, dagunya terangkat dengan beberapa untai rambut basah menjuntai menutupi matanya yang tajam.


Cerpen Jangan Salahkan Cinta

Minggu, 23 September 2012

“Buat apa kau menemuiku?”
“Salahkah?”
“Kita sudah putus Mas!”
“Apakah putusnya hubungan cinta kita membuat seluruh hubungan yang ada ikut hilang? Kita masih bisa berteman bukan?”
“Mudah buatmu bilang seperti itu! Karena kau tak merasakan sakit seperti sakit di hatiku.”
“Aku juga merasakannya Dik! Aku juga sakit hati sepertimu. Tapi semakin aku menghindarimu, maka akan semakin sakit rasanya. Dengan melihat dan masih bisa bertemu denganmu akan sedikit mengobati luka Dik!”
“Jika sama-sama terluka kenapa kau mengakhiri hubungan kita?”
“Haruskah aku mengulangi alasannya?”
“Dengan kau menemuiku apa bedanya bagi dia?”
“Setidaknya aku tak perlu membohonginya.”
“Tapi kau tetap akan menyakitinya.”
“Setidaknya aku tak mengkhianatinya.”

“Kenapa semuanya harus kualami? Kenapa kau datang lagi dan menawarkan cinta masa lalu jika kau tahu akhirnya hanya akan menyakiti semua hati yang terlibat?”
“Maafkan aku. Saat itu yang terpikir hanya kembali memberikan cinta dan kasih sayang padamu. Aku tak pernah berpikir akan menyakiti hati lain.”
“Aku sudah memperingatkanmu sejak pertama bertemu.”
“Semuanya akan baik-baik saja untuk kita jika tak ada yang memberitahu pacar tentang kita.”
“Belum tentu temanku yang memberitahunya.”
“Dia tahu dari seseorang Dik! Meski dia tak menyebutkan namanya. Dan tak ada satupun temanku yang tahu tentang kita!”
“Kau menyalahkanku lagi?”

“Aku menyesalkannya! Seharusnya cerita kita hanya milik kita, orang lain tak perlu tahu!”
Rara menarik nafas panjang untuk meredakan amarahnya.
“Aku sudah meminta ijinmu dari sebelum aku menyebut namamu! Lagian temanku tak mengenalmu dan pacarmu. Jadi tak mungkin dia akan menyampaikannya pada pacarmu.”
“Aku menyetujuinya karena kau menjamin temanmu bisa dipercaya. Aku sungguh tak mengira bahwa ternyata kau baru saja mengenalnya.”
“Sampai sekarang bahkan aku yakin bukan dia yang menyampaikan hubungan kita pada pacarmu.”
“Lantas kalau bukan dia siapa lagi?”
“pacarmu membaca gelagat berbeda darimu! Seorang pacar akan tahu perubahan sekecil apapun yang terjadi pada suaminya! Meski sang suami sendiri sering tidak menyadarinya.”
“Dia mengatakan padaku bahwa ada seseorang yang menyampaikan tentang kita.”
“Tapi dia tak menyebut namaku kan saat pertama kali dia menanyakannya padamu?”
“Ya! Sampai sekarang juga dia tak tahu.”
“Nah! Itu yang kumaksud! Omongan tentang seseorang yang memberitahunya hanya pancingan agar kamu tak bisa mengelak.”

“Mungkin kau benar. Tapi itu tetap membuatku tak nyaman menjalin hubungan lagi denganmu. Aku masih bisa menyangkal sampai detik ini. Tapi jika dia menemukan bukti bahwa memang aku main api denganmu, maka semua akan berantakan buat kami berdua.”
“Berhentilah menemuiku!”
“Aku tak bisa!”
“Lambat laun dia akan tahu tentang aku!”
“Aku bisa menjelaskan siapa kamu tanpa membohonginya.”
“Dia tak akan percaya! Kalian akan bertengkar dan dia akan melarangmu menemuiku lagi.”
“Jika memang itu yang terjadi, aku akan berhenti menemuimu.”
“Dan bagaimana dengan aku?”
“Maksudmu?”
“Ya! Bagaimana dengan hatiku? Kau tak memikirkan perasaanku?”
“Kita hanya berteman Dik!”
“Tapi kau tahu bagaimana perasaanku sebenarnya.”

“Ya..tapi apa yang bisa kuperbuat? Karena itulah aku mengubah status kita jadi berteman. Dengan begitu aku tak akan menyakitimu terlalu dalam jika tiba saatnya aku tak bisa menemuimu lagi.”
“Kau egois! Kau selalu memikirkan apa yang terbaik bagimu! Kau tak pernah memikirkan bagaimana perasaanku.”
“Karena aku memikirkan perasaanmu Dik maka kita sekarang berteman.”
“Dan berhentilan menemuiku! Aku sudah bisa menerima keputusanmu kemarin! Aku sedang berusaha mengobati lukaku saat kau memutuskan hubungan kita! Dan sekarang tiba-tiba kau kembali datang karena bagimu pertemuan kita akan sedikit mengobati lukamu!”
“Apakah bertemu denganku tak mengobati lukamu?”
“Yang pasti aku akan kembali berharap! Akan bermimpi tentang kita! Meski status kita hanya berteman. Tapi aku tak mungkin membohongi perasaanku bahwa aku akan kembali mencintaimu! Dan saat harapanku melambung tinggi, kau akan kembali menghempaskanku! Kau akan kembali mencampakkan aku! Dan dicampakkan untuk yang kedua kalinya akan lebih menyakitkan dari yang pertama.”
Mas Danu hanya terdiam mendengarkan kata-kata Rara. “Andai keadaan berbeda untuk mereka berdua.” pikirnya dalam diam.

“Berhentilah menemuiku Mas! Jika kau benar mencintaiku. Please jangan menyakitiku lagi!”
“Terlalu berat buatku Dik!”
“Ini juga berat buatku Mas! Tapi tak ada yang bisa kita lakukan kecuali menerima keadaan yang ada.”
“Yah, kadang aku menyesali waktu. Kenapa saat dulu waktu memberi kesempatan pada kita untuk bersatu tak kita manfaatkan untuk bersama. Dan setelah kini takdir berjalan, kenapa justru cinta datang mengoyak perasaan.”

“Ujian atas cinta kita pada pasangan tak akan berhenti sampai sini Mas. Akan banyak ujian yang lebih berat lagi. Bersyukurlah kali ini kita mampu melaluinya.”
“Percayakah kau bahwa cinta tak harus memiliki?”
“Ya! Tak semua cinta punya kekuatan untuk saling memiliki. Karena cinta harus tetap mengedepankan logika. Dengan logikalah kita akan tahu mana cinta yang butuh perjuangan untuk saling memiliki dan mana cinta yang harus pasrah dengan kondisi.”
“Aku mencintaimu Ra! Percayalah!”

Rara hanya terdiam menatap langkah Danu yang semakin menjauh. "Salahkah cinta yang datang di waktu yang tak tepat?" bisik Rara lirih. "Semuanya akan membaik mas, untukku dan untukmu! Waktu akan menyembuhkan luka dan waktu pula yang akan mengikis cinta kita!"


Cerpen Basketball with love

Kamis, 20 September 2012

Disebuah pemakaman tampak seorang gadis sedang terdiam di sebelah sebuah makam,tak lama gadis itu mulai berdiri dan beranjak pergi meninggalkan pemakaman sepi itu..
langkah demi langkah ia lalui.. Ditemani oleh daun-daun yang terbang karena tertiup oleh angin musim gugur.
Gadis itu sampai di tengah hutan,disana tampak sebuah rumah pohon yang menempel pada sebuah pohon besar,dibawahnya terdapat sebuah lapangan basket dengan satu ring disebelah kanan nya.
Gadis itu tampak menunduk menyembunyikan wajah putih nya dibalik rambut indahnya.

*****

  disebuah rumah tampak sebuah keluarga sedang membereskan barang-barang bawaannya,keluarga tersebut baru saja pindah kerumah itu.
Keluarga itu terdiri dari orangtua dan ke dua anaknya, anak pertama adalah seorang pemuda tampan berumur 15 tahun sedangkan anak kedua adalah seorang gadis kecil manis berumur 7 tahun.

  Pemuda itu bernama david,david adalah remaja tampan dengan rambut pirang dan gaya 'cool' nya.
Sayangnya pemuda itu sedikit nakal,bagaimana tidak dikala semua orang sedang berberes dia malah memasang headset di telinganya,mendengarkan musik dan berkeliling di sekitar rumah barunya itu..
Tapi tak lama kemudian dia berdiri di depan sebuah hutan.
Ia pun berhenti dan mengangkat sebelah alisnya,ia memasukkan headset dan ipod nya ke dalam kantong celana sebelah kanan nya, tak lama kemudian ia melanjutkan langkahnya menuju hutan itu.
Tapi ia mendengar suara hentakan-hentakan bola basket,ia sedikit heran dan menjadi penasaran,ia pun mengikuti suara itu..
Tapi tiba-tiba suara itu berhenti,
david melihat seorang gadis sedang terduduk dan menunduk ditengah sebuah lapangan kecil,tampak sebuah bola menggelinding ke arah david.

"ini milikmu?" kata david menghampiri gadis itu

tapi gadis itu diam tanpa suara ataupun jawaban,david berjongkok dan menyentuh pundak gadis itu,gadis itupun perlahan mengangkat kepalanya.
David tampak terkejut saat melihat ada seorang gadis manis dihadapannya,

"eh hey,mm..bola ini..-"
"milikku" jawab gadis itu pelan tanpa senyum ia memotong kata-kata david

"ouh okay ini ambilah" saut david sembari memberikan bola itu

"perkenalkan namaku,david.jadi..siapa namamu?" lanjutnya

tapi kemudian gadis itu berdiri dan pergi meninggalkan david sendiri.david yang kemudian tersadar dari keheranan nya pun segera mengikuti gadis itu.
Ternyata gadis itu tinggal tepat disamping rumah barunya itu.


  keesokan harinya...

*ting*tong*
sebuah bunyi bel terdengar dari sebuah rumah

dibukalah pintunya..

"kau?" kata gadis pembuka pintu itu

"hmh iya,perkenalkan aku tetangga barumu" jawab pembunyi bel yang tak lain adalah david

"lalu?"

"ah aku hanya mau mengantar kue ini,aku disuruh mamaku untuk mengantarkannya padamu dan keluarga sebagai tanda perkenalan tetangga baru"

gadis itu mengambil kue itu dari tangan david,berterimakasih dan segera menutup pintu,tapi david segera menghalangi pintu nya

"eits tunggu dulu,mm..bolehkah kutahu namamu?" tanya david penuh harap

"hmmh leslie,kau david kan" jawabnya masih tanpa senyum

"haha iya..."


mereka pun saling berkenalan.ternyata gadis itu bernama leslie
ia baru saja ditinggalkan oleh ayahnya,ia sangat menyukai basket,pada umur 10tahun ayahnya membelikannya sebuah bola basket dan membuatkannya rumah pohon lengkap dengan lapangan mini dan ring basket nya.
Disanalah leslie,gadis yang sekarang berumur 14 tahun itu bermain basket bersama ayahnya tapi baru-baru ini ayahnya meninggal karena sebuah penyakit dan sekarang bebannya bertambah saat ibunya sakit-sakitan karena 'drop' ditinggal sang suami,apalagi ia dan keluarga nya hidup dalam kesederhanaan,leslie pun putus sekolah dan tak punya teman..

Lama-lama david dan leslie pun semakin dekat,sampai merekapun bersahabat..
Setelah david pulang dari sekolah david langsung mengunjungi leslie yang sudah menunggu di rumah pohon.mereka sering bermain basket bersama,apalagi david adalah seorang kapten basket disekolahnya.
Suatu hari keluarga david memutuskan untuk membantu pengobatan ibu leslie dan akhirnya ibu leslie pun sembuh dan kembali bekerja,leslie dapat bersekolah kembali,ia bersekolah di sekolah david,semakin dekatlah mereka berdua..

Sampai pada saat pesta kelulusan david pun menyatakan cinta pada leslie,tanpa ragu leslie pun menerimanya

merekapun menjalani hubungan mereka dengan lancar,mereka masih sering bermain basket bersama tapi sekarang mereka bermain basket dengan cinta...


Lucy Aisy

Cerita Cinta Masa Remaja

Rabu, 19 September 2012


Penghuni SMA Galaxy gempar di siang hari bolong. Bagaimana tidak, di Beni yang cakep dan ortunya yang tajir dikabarkan sudah jadian sama Nania anak kelas sepuluh dua. Emang oke juga sih kalau dilihat dari sosok Beni yang cakep apalagi ortunya tajir. Tapi bila melihat sisi lain Beni yang tulalit, bisa-bisa seluruh orang yang melihatnya selalu mengelus dada.
Bayangkan, hampir semua mata pelajaran tidak pernah mendapat nilai di atas enam. Belum lagi kalau diajak ngomong, kayak kabel konslet alias nggak nyambung. Sudah begitu, sukanya belagu alias suka pamerin harta ortunya yang pejabat. Makanya, semua cowok pada bingung mendengar berita duka itu. Masa, cewek sepinter dan secantik Nania dengan mudahnya takluk pada Beni yang tulalitnya minta ampun itu.
“Gue curiga ama Beni. Pasti ada udang di balik batu,” kata Feri, anak kelas tiga IPA dua di kantin. Hari ini dia bener-bener nggak selera makan bakso kantin, padahal biasanya habis tiga mangkok. Sebab dia naksir Nania mati-matian.
“Emangnya kenapa ?” tanya Rio, teman sekelas Feri. Kebalikan dari Feri, dia begitu antusias makan bakso. Sudah dua mangkok bakso dilahapnya habis, meski badannya tetap saja ceking kayak pengungsi dari Sudan.
“Masa….si tulalit itu bisa naklukin Nania yang cakepnya kayak Nia Ramadani,” kata Feri lagi.
“Elo..elo pada ketinggalan kereta sih,” seloroh Doni, salah satu fans Nania juga yang duduk di kelas tiga IPS satu. Bedanya sama Feri, Doni ini cocok jadi detektif. Hampir setiap gerak Nania paham betul. Mulai Nania bangun tidur sampai tidur lagi diselidiki tanpa henti.
“Ketinggalan kereta ? Emangnya kenapa ?” tanya Feri penasaran.
“Nania tuh bisa takluk ama Feri karena baca surat cintanya Feri,” jawab Doni.
“Hah….mana mungkin si tulalit itu pinter nulis surat ?
“Kenapa, elo semua kagak percaya ?” tanya Rio.
“Pasti dia nyuruh orang buat nulis cinta,” tuduh Doni.
“Eh…nggak baik nuduh gitu. Just be a positif thinking…man !” kata Rio tenang. Dibanding ketiga temannya, Rio berpenampilan paling cool. Meski paling nggak enak dipandang mata he..he..he..alias nggak cakep. Namun soal kedewasaan dan kepandaian, paling unggul. Hampir tiap semester selalu menempati sepuluh besar di sekolah. Meski begitu, nggak ada satupun cewek yang naksir. Mungkin saking ceking dan itemnya itu.
***
“Nah…betul kan dugaan gue,” kata Doni, saat mereka bertiga pulang sekolah.
“Bener apanya ?” tanya Feri.
“Nania takluk ama Beni karena surat cinta,” jawab Doni.
“Yang bener. Darimana elo tahu ?” tanya Rio heran. Selama ini tidak satupun orang yang tahu kalau dia si penulis surat cinta dengan imbalan bakso tiga mangkok dan nonton gratis di Cineplex 21 selama seminggu berturut-turut. Kini hatinya mulai dag-dig-dug, takut kalau kedua sohibnya tahu bahwa dia yang menulis surat cinta itu.
“Beni yang cerita padaku tadi pagi. Dasar tulalit, ya tetap tulalit. Gue pancing-pancing dengan memberi pujian, akhirnya tanpa sadar dia ngaku kalau surat itu bukan dia yang buat,” cerita Doni.
“Dia cerita ke elo kagak, siapa yang menulis surat cinta itu ?” tanya Rio bimbang. Dia berharap Beni tidak cerita pada siapapun kalau dia yang menulis surat itu.
“Kagak.”
“Kenapa nggak elo pancing lagi ?” tanya Feri gemas.
“Gue sudah pancing, tapi dianya yang benar-benar nggak mau ngaku. Katanya sudah perjanjian,” jawab Doni. Hati Rio kembali tenang mendengar pengakuan Doni. Ini berarti, sepulang sekolah dia harus cepat-cepat menelpon Beni agar benar-benar tidak mengaku bahwa dialah yang menulis surat itu. Kalau tidak, pasti identitasnya sebagai Mr X yang terkenal di setiap majalah sekolah, mading dan cerpen-cerpen yang dikirim di berbagai majalah remaja akan terungkap. Rio benar-benar ingin merahasiakan identitasnya supaya dia bebas berkarya.
“Ini tidak boleh terjadi. Aku harus benar-benar merahasiakan identitasku,” pikir Rio.
“Tapi gue yakin, suatu saat akan tahu siapa si penulis surat itu,” kata Doni yakin.
Deg….dada Rio berdesir, kali ini jantungnya mulai dag-dig-dug lagi.
“Elo yakin ?” tanya Rio.
“Tentu, siapa sih yang nggak kenal Doni ? Gue kan dijuluki detektif ulung,” kilah Doni dengan bangga.
“Iya….gue juga mau bantuin elo Don. Gue penasaran banget nih ama si penulis itu,” sambung Feri, tak kalah semangatnya. Meski mereka menyukai cewek yang sama, tapi tetap kompakan.
“Gimana Rio, elo setuju kan ?” tanya Doni.
“Eh…iya..iya…tapi…itu kan bukan urusan kita ?” jawab Rio gugup.
“Bener juga sih elo…cuma siapa tahu dengan terungkapnya Mr X itu, hubungan mereka putus. Itu artinya, gue punya peluang untuk jadi pacar Nania. Ya nggak sih ?” kata Feri.
“Iya sih…tapi jangan jahat gitu dong,” usul Rio.
“Bukannya jahat, tapi gue punya niatan nolong Nania tuk ngebuktiin bahwa dia tuh jadi korban penipuan Beni,” kata Doni. Mendengar temannya bersemangat, Rio keder juga. Jangan-jangan suatu saat Doni tahu kalau dialah si penulis itu.
“Gawat, gue harus nelpon Beni,” pikir Rio.
***
Kali ini SMA Galaxi gempar lagi tentang hubungan Nania dan Beni. Kini terdengar kabar bahwa mereka sudah putus. Tentu saja membuat lega sebagian cowok-cowok yang masih berharap pada Nania.
Selidik punya selidik, ternyata Nania ragu akan kemampuan Beni menulis surat cinta itu. Maklum, ternyata Nania tuh romantis banget. Dari dulu paling demen banget sama cowok yang romantis dan pinter nulis. Makanya, begitu dia dapat surat cinta dari Beni, langsung percaya tanpa diselidiki lebih dulu.
Apalagi dari sumber yang tidak diketahui asal-usulnya, ternyata si pujangga itu adalah penulis di mading dan majalah sekolah adalah orang yang sama. Padahal, Nania sangat suka sekali membaca karya-karya pujangga yang selalu menulis namanya sebagai Mr X itu. Ini menambah semangat Nania untuk segera mencari tahu siapa sebenarnya pujangga idaman hatinya.
Untuk itu Nania membuat sayembara bahwa dia ingin banget pacaran sama sang pujangga itu. Dari hasil pengumuman itu, alhasil, hampir semua cowok pada ngaku kalau dialah si pujangga itu. Namun sudah lebih seminggu, tak ada seorang cowokpun yang berhasil meyakinkan hati Nania.
“Elo nggak pengen ikut sayembara itu Don ?” tanya Feri.
“Pengen sih, tapi gue kan bukan si pujangga itu. Malu dong kalau ketahuan kayak Beni,” jawab Doni. “Kalo elo gimana ?”
“Sama sih… gue kan nggak bisa romantis-romantisan gitu,” jawab Feri muram. Dia berpikir, andaikan dia tiba-tiba berubah jadi si pujangga itu dan bisa membuktikan pada Nania, betapa bahagia dan indah hidup ini.
“Kalo elu gimana ?” tanya Doni. Hati Rio jadi deg lagi, dia khawatir, jangan-jangan Doni memang benar-benar tahu bahwa dialah si pujangga yang dimaksud Nania.
“Sorry, gue nggak ada tampang untuk itu,” elak Rio.
“Siapa tahu, tiba-tiba elo punya bakat jadi pujangga,” hardik Feri.
“Ah… Elo…ada-ada aja,” kata Rio singkat.
“Elo tahu kabar terakhirnya ? Nania sudah ngebet banget jadi pacar si pujangga itu. Bagaimanapun tampang dan modelnya,” kata Doni.
“Yang bener ?” tanya Feri. Pantas, banyak banget cowok yang mengaku-ngaku sebagai pujangga itu.
“Meski bagaimanapun bentuknya ?” tanya Rio tak yakin.
“Iya.”
“Tuh cewekk gila banget. Gue harus berbuat sesuatu nih, semua yang dilakukan Nania dan cowok-cowok gila itu harus dihentikan !” pikir Rio.
***
Jam sudah menunjukkan pukul satu siang, hati Rio berdesir-desir menunggu kedatangan Nania. Sejak pagi tadi pikirannya galau membayangkan bagaimana wajah Nania saat tahu bahwa dialah si pujangga itu. Pasti Nania akan marah dan seumur hidup tak akan pernah menyapanya. Rio berharap surat pernyataan bahwa dialah sang pujangga benar-benar sampai ditangan Nania tadi pagi.
Sakit memang bila membayangkan apa yang akan terjadi atas dirinya pada Nania. Tapi bagaimanapun juga, dia harus benar-benar mengatakannya. Bukankah kejujuran itu sangat mahal harganya di jaman seperti ini ? Bagaimanapun juga, Rio harus mengatakannya sekarang juga dengan segala resikonya.
“Biar ditampar oleh Naniapun, aku harus tetap mengatakan yang sebenarnya,” kata Rio dalam hati. Diliriknya jam tangannya, hampir lima belas menit dia menunggu kedatangan Nania. Namun hingga detik ini, cewek yang ditunggunya tak nampak.
“Mungkin dia tidak mau datang kesini. Kalau begitu…. aku akan berterus terang di sekolah saja besok. Aku akan melakukannya sebagai seorang lelaki…. Harus !” pikir Rio.
Tapi, tak berapa lama tiba-tiba gadis yang ditunggunya muncul, sendirian. Benar-benar surprise. Dalam benak Rio, Nania akan datang dengan Voni sohibnya yang juga keren itu.
“Kamu yang bernama Nania ya ?” tanya Rio, pura-pura. Yang disapa melongo melihat seseorang menyebut namanya. Apalagi si penanya memiliki wajah-wajah seperti orang Afrika, alias item dan keriting. Meski item begitu, Rio itu manis juga lho, begitu kata mamanya.
“Sedang apa elo di sini ?” tanya Nania heran tanpa menyakan siapa nama Rio.
“Gue ? Gue lagi nunggu elo,” jawab Rio.
“Elo nunggu gue ? Jadi…..?” tanya Nania tak percaya.
“Iya…. Emang gue yang nulis surat itu. Sorry ya, elo boleh marah ama gue. Tapi..suwer, nggak ada sedikit rasa untuk berbuat jahat ama elo,” kata Rio mulai meyakinkan. Nania diam saja, dengan seksama dia memperhatikan Rio, mulai ujung rambutnya yang keriting sampai ujung sepatu yang sudah mulai usang.
“Jadi… elo yang bernama Mr X itu ?” tanya Nania, masih dengan nada tak percaya.
“Iya…. Elo mau bukti ? Tapi sungguh Nania, gue nggak ikutan sayembara yang elo adain. Gue cuma pengen ngaku dosa-dosa gue.,” kata Rio. Kemudian dia mengeluarkan surat dan cerpen-cerpen asli yang semuanya sudah pernah dimuat di beberapa majalah, majalah sekolah dan mading. Nania hanya membisu menyaksikan perbuatan Rio, tanpa mampu berkata apa-apa lagi.
“Ini surat yang kutulis untuk elo atas nama Beni. Semalam, gue mencoba mengingatnya. Karena sudah lebih sebulan, jadi banyak bagian-bagiannya yang nggak mirip. Tapi gue yakin, elo masih ingat sebagian,” kata Rio sambil menyerahkan tulisan tangan surat cinta yang pernah diterima Nania.
Dengan rasa tak percaya, Nania menerima surat itu. Kemudian dengan seksama dibacanya surat tersebut.
“Yaa…surat ini mirip sekali dengan yang diberikan Beni untuk gue,” pikir Nania yakin. “Ternyata si pujangga itu adalah Rio.”
“Gimana… elo percaya ? Elo mau kan maafin gue. Mulai sekarang gue janji ama elo nggak akan buat surat cinta palsu lagi,” kata Rio.
Nania masih diam mendengar pengakuan Rio. Tak disangka, sang pujangga yang selama ini selalu dinanti karya-karyanya adalah Rio si bintang sekolah yang sederhana sekali. Nania bingung, tak bisa menjawab. Dia hanya memandang Rio, dalam hatinya timbul kekaguman.
Hampir setahun Nania selalu mengamati cerpen-cerpen dan puisi sang pujangga yang menamakan dirinya Mr X. Baginya, Mr X adalah bintang di hatinya. Karya-karya Mr X banyak memuat pesan-pesan positif untuk remaja seusia mereka. Makanya, begitu dia membaca surat cinta yang dikirim oleh Beni, nalurinya berbicara bahwa si penulis sangat mirip dengan gaya bertutur Mr X yang indah, santun, bermakna dan apa adanya. Tidak ada nada rayuan yang tertulis di dalamnya, namun tetap romantis. Nah lu… bingung kan membayangkan surat cinta yang ditulis Mr X alias Rio ?
“Nania… elo maafin gue kan ? Kalo elo maafin gue, sebentar lagi gue akan pergi dan janji nggak akan gangguin elo lagi,” kata Rio. Dia penasaran banget melihat Nania diam membisu, tak berkata sepatah katapun. Rio takut kalau Nania tidak memaafkan.
“Eh iya.. gue maafin,” jawab Nania singkat.
“Bener ? Thanks banget ya. Kalo gitu, gue langsung cabut aja. Sekali lagi thanks banget elo maafin gue,” kata Rio senang.
“Eit… tunggu dulu… aku masih punya syarat,” kata Nania kemudian.
“Syarat apaan ?”
“Syaratnya… elo harus jadi temen gue dan ngajarin gue gimana caranya nulis kayak elo. Sejak kecil gue pengen jadi penulis. Tapi sampe sekarang, nggak ada satupun cerpen yang bisa gue selesain. Please… tolong gue ya,” kata Nania. Mendengar ungkapan Nania tadi, hati Rio makin girang. Ternyata Nania tidak marah, bahkan mengajaknya berteman.
“Tentu saja.”
Lalu, tak lama kemudian Rio dan Nania berbicara panjang lebar tentang keinginan masing-masing. Rio banyak cerita tentang karya-karyanya yang memang dirahasiakan. Sedangkan Nania bercerita banyak tentang keinginannya menjadi penulis.
Akhirnya, Nania tak jadi marah pada Rio. Dan Rio menjadi lega, karena Nania menawarkan sesuatu yang indah pada dirinya, yakni persahabatan. Bagi Rio, persahabatan dan memaafkan adalah sesuatu yang berharga dari apapun.


Cerpen Ninochka

PINTU terbuka perlahan dan Pavel Sergeyevich Vikhlyenev, sahabat lamaku, muncul dari balik pintu. Meski masih muda ia penyakitan, terlihat tua, ditambah perawakannya yang berbahu tegap, kurus kering dengan hidung panjangnya. Benar-benar sosok yang tidak menarik! Namun, di sisi lain ia memiliki wajah yang ramah, lembut, juga tegas. Setiap kau memandang wajahnya kau akan berkeinginan untuk meraba dengan jari-jarimu, merasakan dengan sungguh-sungguh kehangatan yang dimilikinya. Seperti umumnya kutu buku, temanku dikenal sebagai orang yang pendiam, kalem, dan pemalu. Ditambah lagi saat ini wajahnya terlihat agak pucat dan sangat gelisah tak seperti biasanya.

"Ada apa denganmu, teman?" tanyaku sambil melirik wajahnya yang pucat dan bibirnya yang gemetar. "Kau sedang sakit atau ada masalah lagi dengan istrimu? Kau tak terlihat seperti biasanya!"

Dengan sedikit ragu Vikhlyenev mendehem dan dengan sikap putus asa ia mulai bercerita, "Ya, dengan Ninochka lagi. Aku sangat gelisah, tak bisa tidur semalaman, dan seperti yang kau lihat aku bagaikan mayat hidup. Kurang ajar, orang-orang bisa saja tak terganggu dengan masalah ini. Mereka menganggap enteng rasa sakit, kehilangan seseorang, dan terluka. Namun, hal sepele ini bisa membuatku kecewa dan tertekan."

"Tetapi, ada apa?"
"Sebenarnya hal yang sepele. Drama dalam sebuah keluarga. Namun, akan kuceritakan semuanya kalau kau berkenan untuk mendengarkannya. Kemarin Ninochka tak pergi keluar seperti biasanya. Ia merencanakan untuk menghabiskan sore bersamaku dengan tinggal di rumah. Tentu saja aku sangat bahagia. Dia selalu keluar untuk menjumpai seseorang, dan sejak itu aku selalu berada di rumah sendirian setiap malam. Kau bisa bayangkan betapa...yah…gembiranya aku saat itu. Namun, kau belum menikah. Jadi, kau belum bisa merasakan betapa hangat dan menyenangkan ketika kau pulang bekerja dan menemukan…ah istrimu sedang menunggu di rumah!"

Temanku, Vikhlyenev, memaparkan kehidupan pernikahan yang menyenangkan. Lalu ia menyeka keringat di dahinya dan kembali bercerita.

"Ninochka mengira akan menyenangkan menghabiskan malam bersamaku. Ya, kau tahu bukan, bahwa aku adalah orang yang sangat membosankan dan jauh dari cerdas. Takkan menyenangkan untuk jalan bersamaku. Aku selalu bersama dengan kertas-kertas kerja dan asap rokok. Aku bahkan tak pernah bermain keluar, berdansa, atau berkelakar. Dan kau pasti tahu benar bahwa Ninochka adalah orang yang menyenangkan. Juga masih sangat berjiwa muda. Bukankah begitu?

Ya, ah aku mulai menunjukkan hal-hal kecil, foto-foto serta hal lainnya. Aku juga menceritakan beberapa cerita…dan tiba-tiba aku teringat surat-surat yang aku simpan lama di mejaku. Beberapa surat tersebut isinya sangat lucu. Waktu aku masih sekolah aku punya teman yang pandai menulis surat. Jika kau membacanya maka perutmu pasti sakit karena tertawa terbahak-bahak! Kuambil surat itu dari dalam meja dan mulai membaca satu per satu untuk Ninochka. Pertama, kedua, ketiga, dan semuanya berantakan. Hanya karena satu surat di mana ia membaca kalimat "salam manis dari Katya". Istriku yang cemburu itu kalimat-kalimatnya seperti pisau yang tajam dan Ninochka seperti Othello dalam pakaian wanita!

Pertanyaan-pertanyaan yang tak menyenangkan memenuhi kepalaku: siapa Katya, bagaimana dan mengapa, kucoba terangkan pada Ninochka bahwa dia adalah masa laluku, cinta pertama pada masa mudaku, sangat mustahil melekat di ingatanku karena tak ada yang penting untuk diingat. Setiap orang di masa mudanya memiliki seorang "Katya". Itu kataku mencoba menjelaskan pada Ninochka dan sangat mustahil jika seseorang tak memilikinya. Namun, Ninochka sama sekali tak mau mendengarkan. Ia membayangkan yang tidak-tidak! Dan mulai menangis dengan histeris.

’Kau sangat jahat!’ ia menjerit, ’Kau menyembunyikan masa lalumu padaku! Mungkin saja kau juga memiliki seseorang seperti Katya saat ini dan kau menyembunyikannya padaku!’ Aku coba dan terus mencoba meyakinkan padanya, namun ia sama sekali tak mendengar. Logika laki-laki memang tak akan berguna untuk seorang wanita. Akhirnya aku berlutut memohon maaf. Aku membungkuk dan kau tahu yang dia lakukan? Ia pergi ke kamar dan membiarkanku di sofa ruang kerja. Pagi itu ia sinis padaku, tak mau melihatku dan bicara seakan aku ini orang asing. Dia mengancam akan pulang ke rumah ibunya dan aku yakin dia akan melakukannya. Aku tahu dia!"

"Oh, bukan cerita yang menyenangkan."
"Wanita memang tak bisa dimengerti, ya. Ninochka masih muda, masih hijau, dan sensitif. Tak bisa dikejutkan oleh sesuatu yang meskipun sangat sederhana. Begitu sulitkah memaafkan meski aku telah sangat memohon, aku telah berlutut padanya, bahkan aku menangis!"

"Ya, ya, wanita memang sebuah teka-teki yang sangat sulit!"
"Teman, kau punya pengaruh besar bagi Ninochka. Dia sangat menghormatimu. Dia memandangmu sebagai orang yang berwibawa. Tolong, temuilah dia! Gunakan pengaruhmu untuk mengatakan bahwa apa yang dipikirkannya itu salah. Aku sangat menderita. Jika ini terus saja berlangsung aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Tolonglah!"

"Tapi, apakah ini tepat?"
"Mengapa tidak? Kau dan dia berteman sejak kecil. Dia percaya padamu. Sebagai teman, tolonglah aku!"

Tangisan dan permohonan Vikhlyenev menyentuh hatiku. Dengan segera aku berpakaian dan menemui istrinya. Kutemui Ninochka di tempat favoritnya: duduk di sofa dengan kaki menyilang, mengedipkan matanya yang indah dan sedang tidak melakukan apa-apa. Ketika aku datang ia segera meloncat dan berlari padaku. Memperhatikan sekeliling, menutup pintu, dan dengan gembira memeluk leherku. (Pembaca, tentu saja ini tidak salah ketik. Dalam setahun ini, aku telah berhubungan intim dengan istri Vikhleyenev).

"Pikiran jahat apa yang ada dalam pikiranmu sekarang?" tanyaku sembari mendudukkan Ninochka di dekatku.
"Apa maksudmu?"

"Lagi-lagi kau menyiksa suamimu. Ia datang padaku dan menceritakan semuanya."
"Oh… rupanya dia menemukan orang untuk mengadu!"

"Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Ah, tidak begitu penting. Aku sedang bosan semalam dan merasa kesal karena tak tahu harus pergi ke mana. Karena rasa jengkel aku mulai meracau tentang ’Katya’. Aku mulai menangis karena rasa bosan, jadi bagaimana aku bisa menjelaskan kepadanya?"

"Tapi, kau tahu sayang. Itu sangat jahat dan tidak manusiawi. Dia sangat takut dan terganggu dengan ulahmu."
"Ah, itu hal yang sepele. Dia sangat suka ketika aku berpura-pura cemburu, tak ada yang lebih bagus selain berakting cemburu. Tapi, sudahlah! Lupakan saja. Aku tidak suka kita membicarakan hal ini, aku sudah menyerah. Kau mau minum teh?"

"Tapi sayang, berhentilah menyiksa dia. Kau tahu bukankah dia terlihat sangat menyedihkan. Dia menceritakan semuanya padaku, bahwa dia benar-benar jatuh cinta padamu dan itu sangat tidak mengenakkan. Kontrol dirimu! Tunjukkan kasih sayangmu. Satu kalimat omong kosong akan membuatnya sangat bahagia."

Ninochka cemberut dan merengut, namun beberapa saat ketika Vikhleyenev datang dengan keraguan yang tergambar jelas di mukanya, Ninochka tersenyum dan menunjukkan kasih sayang padanya.

"Kau datang di saat yang tepat, waktunya minum teh," ujar Ninochka pada suaminya, "Pintar sekali kamu sayang. Tak pernah datang terlambat. Kau mau dengan jeruk atau susu?"

Vikhleyenev yang tak mengira akan disambut seperti itu, perlahan-lahan mendekati istrinya. Mencium tangan Ninochka dengan hangat serta merangkulku. Pelukan yang aneh dan sangat cepat, membuat aku dan Ninochka menjadi malu.

"Berkatilah sang pencipta kedamaian!" teriak sang suami yang bahagia. "Kau telah membuat ia mau mengerti. Mengapa? Karena kau memang laki-laki sejati. Bisa bergaul dengan banyak orang dan kau tahu titik kelemahan wanita. Hahaha…aku bodoh sekali! Ketika hanya satu kata yang diperlukan, aku menggunakan sepuluh kata. Ketika hanya harus mencium tangan istriku, aku melakukan hal lain. Hahaha…"

Setelah minum teh Vikhlyenev memintaku untuk ke kamar kerjanya. Menahanku berbicara dan dengan suara lirih ia berucap, "Aku tak tahu bagaimana berterima kasih padamu, teman. Aku sangat menderita dan tersiksa. Namun, kini aku luar biasa bahagia, dan ini bukan pertama kalinya kau menolongku dari masalah yang mengerikan. Teman, kumohon jangan menolak jika aku ingin memberimu…ini! Lokomotif mini yang kubuat sendiri, aku mendapatkan penghargaan atas penemuan ini. Ambillah sebagai rasa terima kasihku, juga sebagai tanda pertemanan kita. Terimalah demi aku!"

Dengan berbagai cara aku menolak pemberian tersebut, namun Vikhlyenev terus-menerus memaksaku. Mau tidak mau aku harus menerima hadiah yang sangat berharga itu.

Hari, minggu, bulan pun berlalu. Cepat atau lambat keburukan akan tersingkap dan diketahui olehnya. Ketika tanpa sengaja Vikhlyenev tahu akan semua kebenaran tentang aku dan istrinya ia sangat terkejut, pucat, terduduk di sofa dengan pandangan kosong ke langit-langit tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ekspresi sakit hati diungkapkannya dengan bahasa tubuh. Ia berpindah dari satu sofa ke sofa lain dengan perasaan yang sangat menderita sekali. Gerak-geriknya dipengaruhi oleh kesedihan.

Seminggu kemudian, setelah menenangkan pikiran karena berita yang amat mengejutkan tersebut, Vikhlyenev datang menemuiku. Kami berdua saling menghindar dan jengah. Aku mencoba berceloteh tentang kebebasan cinta, egoisme hubungan perkawinan, dan takdir yang tak bisa dielakkan.

"Bukan itu yang ingin kubicarakan," katanya memotong, "Tentang hal itu aku sangat mengerti. Membicarakan perasaan siapa pun tak bisa disalahkan. Yang aku khawatirkan adalah hal lain. Hal yang sebenarnya tak berarti. Kau tahu sendiri, aku sama sekali tak mengerti tentang hidup, di mana kehidupan yang sebenarnya, dan kebiasaan masyarakat yang harus diperhatikan, misalnya. Aku orang yang benar-benar belum berpengalaman. Jadi, tolonglah teman! Katakan padaku apa yang harus dilakukan Ninochka sekarang? Tinggal bersamaku atau dia harus pindah bersamamu?"

Dengan kepala dingin kami membicarakan hal tersebut dan akhirnya kami menemukan jalan tengah. Ninochka tetap tinggal bersama suaminya, dan aku bisa menemuinya kapan pun. Karenanya, ia memakai kamar yang ada di pojok yang dulunya adalah gudang. Kamar itu agak gelap dan lembab, pintu kamarnya berhubungan langsung dengan dapur. Namun, pada akhirnya Vikhlyenev menembak dirinya sendiri tanpa menyusahkan orang lain.

 ***
1885
(Diterjemahkan oleh Nunung Deni Puspitasari dari Anton Chekhov Selected Stories, The New American Library of World Literature, Second Printing, August 1963)

Anton Chekhov

Cerpen Sedih, Perkemahan Terakhir Nina

Sabtu, 15 September 2012

Aku selalu ingat saat-saat bahagia bersamanya, kenangan itu sangat banyak terutama perkemahan terakhirku dengannya. Beberapa bulan yang lalu, sekolah kami mengadakan Perkemahan di daerah Puncak, Bandung. Tentu saja seluruh siswa antusias terutama Nina, dia adalah cewe’ paling bersemangat yang pernah aku temui. Diperkemahan itu, kami bertemu Kak Jojo, dia kakak pembina pramuka yang ikut membimbing acara perkemahan. Kak Jojo meamang tampan dan berwibawa, sejak awal bertemu, aku sudah jatuh hati kepadanya. Kak Jojo pun selalu bersama aku dan Nina. Aku selalu bercerita tentang Kak Jojo pada Nina dan Nina selalu memberiku saran yang baik. Nina tahu apa yang membuat aku senang, dia menghiburku saat aku sedih, dan dia seperti ragaku ketika aku tak kuat menghadapi cobaan.

Tiga hari perkemahan telah berlalu dengan bahagia sampai akhirnya kejadian itu terjadi. Kak Jojo mengajak Nina jalan-jalan di hutan dan aku mengizinkannya mengingat aku masih memasak mie. Diperkemahan, tanpa Nina, aku dan teman sekelasku bernyanyi dan bermain tebak kata. Tiba-tiba Kak Jojo datang menggendong Nina, ada apa dengan Nina?
“Kak, Nina kenapa?” tanyaku kaget.
“Nina kesandung batu terus jatuh.” Jawab Kak Jojo.
“Masa’ kesandung batu sampe mimisan Kak, pasti ada yang lain.” Jawabku dan Kak Jojo hanya menggeleng tanda tak tahu.
Nina segera mendapat pertolongan pertama dan aku selalu di sampingnya.

Meskipun dia sakit, dia tetap tersenyum dan selalu berusaha membuatku bahagia. Sebenarnya aku sudah penasaran, mana mungkin Nina mimisan hanya karena jatuh. Apakah Nina sakit? Namun aku hanya mengubur pertanyaan bodoh ini sedalam mungkin.

Sejak saat itu, aku tidak membiarkan Nina pergi tanpa aku, aku selalu khawatir terhadapnya. Bahkan ketika mandi di sungai, aku selalu mengantarnya. Dia pernah berkata padaku, “Rere, kamu itu sahabat terbaikku, aku gak mau kamu sedih, jadi tolong kamu berjanji jika suatu hari nanti kita berpisah jangan tangisi aku karena kesedihanmu, tapi pancarkan senyummu karena aku bisa abadi bersama cintamu, Sahabatku.” Aku hanya nyengir ketika dia bilang itu padaku.

Di malam terakhir di perkemahan, kami mengadakan pesta api unggun. Senang rasanya bisa menikmati malam dengan teman-teman yang aku sayangi, terutama Nina dan Kak Jojo. Aku, Nina, dan Kak Jojo duduk bersama di dekat api unggun sambil bercerita tentang kegiatan kami di sekolah. Di tengah kehangatan itu, aku ingat, aku meninggalkan handphone di tenda dan aku mengambilnya sekaligus pergi ke sungai untuk cuci muka.

Ketika aku kembali ke perkemahan, aku melihat Kak Jojo dan Nina berpegangan tangan lalu berpelukan dan aku tepat di belakang Nina, sahabatku. Entah apa yang aku pikirkan, aku sungguh kecewa dengan Nina, air mataku menetes melihat sahabatku berkhianat. Aku berlari menuju tenda.
“Re, ini gak seperti yang kamu bayangkan, aku gak suka sama Kak Jojo. Aku juga gak bakalan nerima Kak Jojo karena kamu yang pantas untuk dia Re, bukan aku.” Teriak Rere menarik tanganku.
“Udah Nin, kamu ambil aja Kak Jojo, aku kira kamu sahabat sejatiku Nin, ternyata kamu cuma serigala berbulu domba !” aku pergi meninggalkan Nina. Aku nggak nyangka kalau Nina setega itu merebut Kak Jojo. Apa dia gak mikirin perasaanku? Kamu sahabatku Nin, teganya kamu ngerusak hati aku.

Semenjak malam itu, aku tak pernah bersama Nina, bahkan aku tidak mau menemukan wajahnya lagi dimataku. Aku terlalu sakit hati terhadapnya. Sungguh dia sahabat yang berkhianat. Aku benci dia.

Suatu hari, Kak Jojo menemuiku. Dia memberikan sebuah surat padaku.
“Re, aku telah banyak melihat perjuangan Nina, dia sangat menyanyangimu melebihi dirinya sendiri. Dia selalu ingin kamu bahagia. Bahkan dia menolakku karena kamu suka padaku. Tolong anggap dia sebagai sahabatmu lagi Re. Kamu tentu ingin dia tenang bersama kenangan indah di surga bukan?” tanyanya.
“Apa maksudmu?” tanyaku.
“Aku tahu kamu juga sangat menyanginya.” Kata Kak Jojo dan pergi.
Aku membuka amplop itu dan ada secarik kertas warna merah dan fotoku dengan Nina saat pertama bertemu.

Aku menduga-duga apa yang terjadi dan aku pergi menuju rumah Nina. Dan akhirnya aku diantar ke sini, ke tempat yang penuh dengan bunga kamboja. Aku tak percaya Nina telah pergi selamanya karena leukimia. Aku tidak menyangka perkemahan itu adalah perkemahan terakhirku dengan Nina. Sahabat macam apa aku ini, tak mengerti Nina sedikitpun. Nina, maafkan aku yang tak menemani disaat-saat terakhirmu di dunia. Nina ingin aku tersenyum dan tak mau aku khawatir terhadapnya, tapi apa yang aku berikan pada Nina, aku mencaci maki Nina tanpa sebab. Aku memang sangat menyesal, tapi aku ingat kata Nina, inilah waktuku untuk menepati janjiku pada Nina, kesempatan terakhirku membahagian Nina di surga, aku harus tetap tegar tanpa Nina. Aku yakin Nina akan bahagia di surga jika aku bersemangat dalam menjalani hidup ini. Dan cinta Nina akan selalu menerangi jalanku dalam kebahagiaan.

Sekian Cerpennya...

Annisa Aurora

Cerpen Remaja Nasi Goreng Cinta

Selasa, 04 September 2012

“Memang masakanmu lah yang paling lezat Den ! Terutama nasi goreng yang menjadi andalanmu itu !” ucap salah seorang kawan Raden pada suatu perayaan ulang tahun temannya itu. Semua teman satu kampus Raden memang sangat menyukai masakan buatannya, terutama nasi gorengnya. Sampai-sampai Raden dipercaya untuk menjadi jurumasak dalam acara-acara besar.
Masakan buatannya pun telah diacungi jempol oleh para dosen, hingga rektor pun menjadi penggemar berat nasi gorengnya. Tiada seorang pun yang meragukan keahlian Raden di bidang ‘masak-memasak’. Sudah sejak kelas 2 SMA ia suka memasak. Bahkan di rumah pun, setelah ayahnya tiada, ia menjadi seorang jurumasak, bahkan sang bunda pun takluk akan masakannya.


Hingga kini ia telah berkuliah di salah satu universitas, dan jurusan yang ia ambil adalah bidang kuliner, semester akhir. Raden begitu rajin dan bersemangat, ia giat berlatih memasak, pandai dalam meracik bumbu, tidak takut mencoba dan tangannya ‘bermain’ dengan sangat cepat dengan bahan masakan yang ada. Seakan menari dan penuh irama yang indah ketika ia beraksi si dapur. Ia bisa menyulap bahan makanan yang ala kadarnya dan sederhana menjadi masakan berkelas restoran mewah dan bercitarasa tinggi. Walau dari keluarga yang kurang, ia tidak menunjukkan rasa malu ataupun rendah diri. Ia pandai bergaul dan cerdik, itulah mengapa ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah sesuai yang ia inginkan.
Semua ini tidak lepas dari jerih payah sang ayah. Walau sekarang telah tiada, ia meninggalkan sebagian resep masakannya termasuk nasi goreng andalan Raden itu. Walaupun semasa hidupnya ia hanyalah seorang penjual nasi goreng keliling di daerah pinggir kota itu, yang kini Raden masih lanjutkan, namun terbukti bahwa keluarga mereka hidup berkecukupan. Sang bunda tidak perlu bekerja menjadi seorang buruh cuci lagi, dan kini bisa membuka usaha menjahit pakaian dirumah mereka yang kecil di pinggiran kali itu. Satu hal yang tetap dipertahankan adalah gerobak dan lapak nasi goreng itu, setiap malam sehabis kuliah, Raden selalu berjualan nasi goreng. Ia tidak pernah malu, dengan senang hati ia lakukan untuk menambah uang makan untuknya dan bunda. Ia mempunyai sebuah mimpi, yakni mendirikan restorannya sendiri.

Seperti biasa ketika malam tiba, Raden segera berbenah dan menyiapkan gerobak nasi gorengnya. Ia berjualan dari jam delapan malam hingga sekitar jam 11 malam setiap harinya. Ia menarik gerobak tua itu dari rumahnya menuju ke pertigaan dekat wilayah pertokoan, yang kira-kira berjarak satu kilometer dari sana. Dimana para pelanggan setia sejak sepuluh tahun yang lalu telah menanti. Mereka adalah pelanggan ayahnya, dan kini juga bertambah pelanggan nasi gorengnya.
Tak terasa jam berganti jam, kini suasana pertokoan telah sepi. Banyak toko telah tutup dan angin malam sudah berhembus makin menusuk. Tiada lagi orang yang berlalu lalang. Maka Raden memutuskan untuk berbenah dan pulang. Segera ia beres-beres.

Belum sempat ia merapihkan kompor minyak itu datanglah seorang wanita dari ujung gang dan berhenti di belakangnya.
“Bang, udah mau tutup yah ?” tanya gadis muda itu, di belakang pundak Raden, masih muda, mungkin baru berusia 20an awal.
“Eh, eh hem, enggak kok mba, mba mau pesen nasi goreng ?” jawab Raden agak kaget melihat seorang gadis di belakangnya.
“Iya, sebenernya saya lagi cari alamat, berhubung udah malem dan saya belum ketemu alamatnya, saya lapar, jadi boleh ya bang saya pesen satu ? Sekalian mau tanya alamat ke abang.”
“Boleh ko mba, oke tunggu sebentar yah.”

Singkat cerita Raden segera membuat pesanan gadis itu dan tak lebih dari lima menitpun jadilah pesanannya. Segera ia makan dengan lahapnya. Setelah habis, ia pun segera bertanya kepada Raden soal alamat yang ia tuju.
“Oh ini, saya tau mba. Mari saya antarkan, kebetulan searah dengan rumah saya.” Kemudian mereka pun jalan berdua menyusuri sepinya malam itu.
Sembari berjalan mereka pun telah berkenalan dan berbincang-bincang. Gadis itu adalah Claudia, seorang mahasiswi jurusan hukum semester satu, yang kebetulan malam itu ia harus mengantarkan beberapa bahan materi kerumah dosennya di daerah sana. Selarut inikah ? Ya, rumahnya cukup jauh dan ia berpergian dengan menggunakkan angkutan umum. Akhirnya mereka pun sampai di tempat tujuan dan berpamitan satu sama lain.
Keesokan malamnya kembalilah Raden berjualan nasi goreng, seperti biasanya, laku keras. Hingga saat mau tutup datanglah lagi Claudia, seperti biasa hendak ke rumah dosennya. “Ehm, malam ini aku mau mengantarkan bahan skripsiku, sekalian lewat sini, aku mampir untuk makan.”

Selesai makan, Raden pun kembali mengantarkan dia. Tapi kali ini Claudia berkata, “Ehm, bang, hari ini nasi goreng buatanmu tidak enak, aku tidak suka.”
“Benarkah ?” Tanya Raden.
“Ya, aku rasa nasi gorengmu tidak seperti yang ku dengar dari orang-orang.” Kata Claudia agak kecewa. Begitulah mereka mengobrol dan akhirnya berpisah karena telah sampai tempat tujuan.
Begitu dengan malam seterusnya, hingga 3 hari berjalan. Claudia terus berkata, “Masakanmu semakin tidak enak saja, aku kecewa, Den.”
Raden merasa ada sesuatu yang salah, benarkah kemampuan memasaknya menurun ? Memang sih, omzetnya agak menurun beberapa hari belakangan ini. Hingga akhirnya Raden berkata kepada Claudia, “Baiklah, Dia, kalau masakanku tidak enak, kamu gak usah bayar kok.”
Hal ini terjadi selama 2 minggu berturut-turut, setiap malam Claudia mampir untuk makan. Semakin giat Raden memasak. Ia membaca buku-buku resep, hingga mengunjungi salah satu restoran terkenal di kotanya. Namun selalu saja Claudia menjawab, “Tidak enak, Den, aku kecewa.”
Hampir saja Raden putus asa. Ia pulang cepat malam itu dan segera merebahkan diri di atas kursi diruang tamu. Bundanya sedang menjahit di ruang sebelah. Melihat anaknya sudah pulang, sang bunda segera berkata, “Sudah pulang Den ?”

Tidak ada jawaban, Raden masih memandang ke arah langit-langit dengan diam saja.
“Den, ada apa ?” tanya bunda sekali lagi.
“Bunda, aku menyerah sudah,” jawab ia kali ini.
“Ada apa, Raden? Kamu kenapa?” Tanya sang ibu sambil menjahit.
“Aku memang tidak bisa jago memasak seperti bapak, aku payah.”
“Lho? Kata siapa?”

Kemudian Raden menceritakan hal itu kepada ibunya. Sang ibu hanya tersenyum kecil.
“Bagaimana Bunda? Andai saja aku jago memasak seperti bapak.”
Sang ibu berhenti menjahit, lalu ia duduk di sebelah anaknya sambil mengelus kepala Raden.
“Den, memang kamu bukan ayahmu. Kamu adalah Raden, anak kesayangan bunda.”
“Tapi Bun, aku...”
“Bunda mengerti kok,” potong sang ibu menghentikan Raden berbicara.
“Maksudnya?” Tanya Raden heran.
“Kamu selama ini hanya memasak dengan bumbu biasa. Rahasia terenak suatu masakan adalah dari bumbu spesial, yakni cinta si koki. Setiap masakan dibuat dengan cinta, sudahkah kau coba?”
Semakin bingung, Raden kembali bertanya, “Bagaimana caranya Bun?”

Ibu hanya tertawa kecil. Bukannya memberi jawaban, si ibu malah kembali bertanya, “Den, cantikkah si Claudia itu?”
“Hah? Maksud Ibunda?” Tanya Raden heran.
“Sudah jawab saja.”
“Yah, cantik sih Bun, masih muda pula. Saya kira saya suka dengan dia Bun.”
“Itulah jawabanmu, Den.”
“Maksud Bunda?”
“Kau setiap hari berusaha menaklukkan dia, kau mencoba memuaskan dia dengan nasi gorengmu itu, dan bunda pikir, dia berbohong. Buktinya, dia selalu menghabiskannya bukan? Dia suka padamu, Den, kenapa kau tidak coba tanya?”
Sejenak Raden berpikir, “Hem, apakah mungkin?” tanyanya dalam hati.

Maka malam harinya, Raden kembali berjualan. Seperti biasa Raden berjualan di pertigaan itu. Dan ketika waktu menunjukkan pukul sebelas kurang, Raden telah siap dengan masakannya, duduk menunggu kedatangan Claudia, yang kebetulan telah sepi saat itu. Tak lama, datanglah sebuah mobil BMW berhenti di depan gerobaknya. Raden hanya diam saja, hingga seseorang membuka kaca kemudi mobil itu. Seorang pria paruh baya turun dan menghampiri dirinya.
“Permisi de, apakah kau Raden ?” tanya pria itu.
“Hem, ya, ada apa pak ?” jawab Raden setelah beberapa saat terdiam.
“Ini ada surat untukmu, baca saja.” Kata pria itu sambil meninggalkan Raden, ia segera berlalu. Raden hanya memandangi kepergian mobil itu dengan hembusan angin malam. Maka pandangannya kembali pada surat itu.
Warna amplopnya pink, tak ada tulisan apa-apa di amplopnya, mungkin dari Claudia pikirnya.

Salam hangat,
Untuk Raden, seorang yang kukagumi,

Den, ketika kamu membaca surat ini aku telah berada di dalam pesawat menuju New York, ya, malam ini aku berangkat Den, ayahku mengirimkanku untuk melanjutkan kuliah disana. Sebelumnya aku mau minta maaf padamu Den, sudah dua minggu belakangan ini aku membuatmu sibuk dan selalu mengomentari rasa nasi gorengmu. Sebenarnya rasa nasi gorengmu enak, bahkan mungkin nasi gorengmu itu yang paling enak yang pernah kurasa dari semua nasi goreng yang pernah kucicipi. Aku suka sekali.
Namun, aku berbohong padamu. Raden, engkau adalah lelaki yang baik, tampan juga. Aku ingin selalu bersamamu, makanya aku berbohong soal nasi goreng itu, supaya aku bisa bersama denganmu, walau hanya setiap malam saja.
Maafkan aku yah Den, padahal aku masih mau mengenalmu, aku suka kepadamu. Tapi aku harus pergi, kelak kalau kita berjodoh pasti akan bertemu lagi.

Teriring salam cinta.

Raden terdiam sejenak, pikirannya kosong. Ia menyesal karena ia belum sempat menyatakan perasaannya kepada orang yang ia cinta. Ia duduk di bangku itu dan menunduk terdiam, ditemani sepiring nasi goreng yang telah dingin.

Enam tahun berlalu, semua telah berubah sepandang mata melihat. Raden telah menjadi seorang yang sukses. Tiada lagi gerobak nasi goreng di pertigaan itu, gerobak itu telah menjelma menjadi sebuah restoran yang megah di pusat kota. Bahkan telah membuka banyak cabang di kota-kota besar. Ia dan bundanya pindah ke sebuah apartemen, hidup mereka menjadi lebih layak, bundanya membuka toko butik di dekat restoran itu. Namun Radeb tetaplah Raden yang dulu, walau kini ia lebih matang. Dan ia tetap bekerja sebagai koki di restorannya sendiri, sungguh suatu hal yang jarang dilakukan para atasan. Ia tidak segan ataupun malu, maka dari itu para bawahannya menaruh kagum dan hormat yang tinggi kepadanya.
Suatu ketika di hari sibuk kerja, datanglah seorang pria, membawa seorang wanita bersamanya dan duduk di dekat jendela. Mereka memesan dua nasi goreng spesial, segeralah Raden memasaknya.

Ketika selesai disajikan, segera pelanggan itu berkomentar.
“Memang benar, ini adalah nasi goreng terlezat yang pernah kurasakan, kau setuju sayang ?” kata pria itu kepada wanita yang bersamanya. Si wanita hanya tersenyum saja.
“Yang, apakah kau masih mau merubah rencanamu itu ? Tinggallah disini, kota ini juga adalah kota kelahiranmu.”
“Hem tidak, aku kesini hanya untuk mencicipi nasi goreng ini, aku sudah puas,” kata si wanita menjawab.
“Baiklah, aku tidak bisa memaksa,” sambung si pria.
Tak lama mereka makan sambil berbincang, si pria pergi ke toilet sebentar. Sambil menunggu pria itu, si wanita mengambil sesuatu dari tasnya dan memanggil pelayan. “Pelayan !” katanya seraya mengangkat tangan.

Segera salah satu pelayan berlari menghampirinya.
“Tolong kau berikan ini kepada koki restoran ini, Bapak Raden.”
“Baik bu, akan saya sampaikan,” kata pelayan itu sambil mengambil amplop dari tangan wanita itu.
“Bilang saja dari pelanggan setianya,” kata wanita itu kembali. Si pelayan hanya mengangguk. “Baik bu !” kata dia.

Kemudian si pria kembali dan berkata, “Ada apa sayang ?”
“Tidak ada apa-apa, marilah pulang, aku harus siap-siap, pesawat kita satu jam lagi.”
Maka pria itu membayar kepada pelayan dan segera berlalu mereka dari restoran itu. Sebelum naik mobil, wanita itu sempat tersenyum memandangi restoran itu.

Segeralah pelayan itu masuk ke dapur, dan menghampiri Raden, yang saat itu sedang istirahat. Ia duduk di dekat pintu belakang sambil ngobrol dengan salah seorang juru masak lainnya.
“Permisi pak,” kata si pelayan.
“Ya, ada apa ?” kata Raden seraya bangkit dari sana.
“Hem bukan urusan penting kok pak, ini ada titipan surat untuk bapak.”
“Tagihan ? Cepat sekali mereka datangnya, perasaan baru dua minggu yang lalu aku membayarnya.”
“Oh bukan pak, ini dari salah seorang pelanggan, seorang wanita yang tadi makan disini pak,” katanya sambil memberikan surat itu.
“Wanita ? Baiklah, terimakasih, kau boleh kembali bekerja.”
“Baik, sama-sama pak.”
Sejenak Raden memandangi surat itu, tak tertulis apa-apa disana, walau ia membolak-balikannya. Maka segeralah ia membukanya dan mendapati satu kalimat disana.

Salam hangat,
Untuk Raden, seorang yang kukagumi,

Kau sukses sekarang Den, aku harap lain hari kita dapat bertemu dan berbincang.

Teriring salam dan cinta.

Raden hanya tersenyum kecil memandangi surat itu. Entah mengapa mengingatkannya pada seseorang yang telah lama ia tunggu.


 

http://cerita-cerita-di.blogspot.com Copyright © 2012-2013 | Powered by Blogger