Post View:

Cerpen, Lelaki yang Mengkhianati Ibu

Selasa, 21 Agustus 2012
Seperti biasa, Ibu sudah berdandan cantik ketika menemani dan meladeni kami sarapan. Sambil berangkat ke kantor (Ibu pegawai negeri di Taman Budaya) dia akan mengantar kami semua ke sekolah. Sementara Ayah meneruskan mimpinya karena menjelang pagi baru pulang. Apalagi mendekati pentas (Ayah aktor sebuah grup teater ternama di kotaku dan biasanya ia menjadi pemain utama). Tetapi meski malam tak ada latihan, Ayah tak pernah bangun pagi. Begitu setiap hari. Jadi kami tak pernah bertanya kenapa Ayah tidak ikut sarapan, atau merasa kehilangan.

Belum selesai sarapan Ayah muncul dari ruang depan. Seperti biasa wajahnya nampak kuyu, lelah dan ngantuk. Baru aku tahu bahwa ternyata Ayah baru pulang.
"Halo semuanya," Ayah menyapa tanpa mendekati dan mengecup kening kami.

"Nggak sarapan sekalian?" Ibu bertanya.
"Nggak, nanti saja," dan Ayah pun berlalu masuk ke kamarnya.
Kulihat Ibu menghela napas sambil memandang Ayah yang berlalu. Sesaat aku berhenti menyuap, memperhatikan Ibu.

"Kenapa? Selesaikan sarapannya," merasa kuperhatikan, Ibu menegurku.
Aku menggeleng dan cepat-cepat menyuapkan nasi ke mulutku.
***
Tiga hari Ayah tak pulang. Kutanya pada Ibu, katanya Ayah sibuk. Hari pementasasan sudah sangat dekat. Tetapi bukankah dia pentas di dalam kota? Kenapa sampai tak sempat pulang? Ada istri dan anak-anaknya di rumah yang menunggu. Perjalanan pulang banyak memakan waktu sementara Ayah butuh cukup istirahat. Ibu coba menghiburku.
Sorenya Ayah pulang dengan wajah berbinar dan segar.

"Apa kabar sayangku?" sapanya sambil mengecup keningku.
"Kok nggak pulang-pulang, Yah?" aku bertanya.

"Ayah kerja keras, jadi harus hemat tenaga," jawabnya sambil merangkul pundakku. Lalu kusandarkan kepalaku di pinggangnya. "Nanti malam ikut ya, udah mulai run through."

"Tapi jangan ajari dia pulang pagi, ya," kata Ibu sambil menyiapkan kopi untuk Ayah.
"Oh jelas, kita akan pulang siang," jawab Ayah, melirikku sambil tersenyum. Kami bertiga pun tertawa.

Menjelang senja kami berangkat.
"Berapa lama kita nggak jalan-jalan berdua?" Ayah bertanya setengah pada dirinya sendiri.

"Hampir satu semester, Yah. Ayah sih sibuk teruusss," aku berlagak merajuk.
Ayah mengacak rambutku sambil tertawa, "Memang kamu nggak? Rapat ini, pelatihan itu, hmm?"

Kami berdua tertawa.
"Eh, Ayah kok tambah genit sih sekarang?" tiba-tiba aku berkomentar.

"Apa?" tanya Ayah.
"Tiap keluar rapi dan wangi terus gitu," tambahku.

"Lho, memang nggak bangga punya Ayah ganteng dan wangi?"
Kami tiba di tempat pertunjukan saat para kru masih membereskan panggung, sementara beberapa pemain memainkan adegan mereka di sela-sela kru yang sedang merampungkan pekerjaannya.

Ayah meninggalkanku di deretan depan kursi penonton. Dia datangi seorang perempuan yang sedang memberi instruksi pada peƱata lampu. Mereka berbicara sebentar. Lalu Ayah berjalan ke arahku diikuti perempuan itu.

"Sayang, kenalkan ini sutradara Ayah."
Perempuan itu mengulurkan tangan sambil menyebutkan namanya, "Tati."

"Citta," kataku menyambut uluran tangannya.
Tante Tati meraih sebuah kursi dan meletakkannya di depanku. Kami ngobrol berdua sementara Ayah meninggalkan kami menyiapkan pementasannya. Tak lama, Tante Tati meninggalkanku, kembali pada pekerjaannya.

Aku tetap duduk di kursiku, mengamati kesibukan orang-orang itu. Sebagian besar di antara mereka sudah kukenal. Maka kulambaikan tangan ketika kebetulan mereka menoleh ke arahku.
***
Berhari-hari Ayah tak pulang lagi. Padahal pementasan sudah selesai.
"Mungkin masih menyelesaikan sisa pekerjaan kemarin," jawab Ibu sambil mengusap keringat adik bungsuku. Sekalipun jawaban Ibu tak masuk akal, aku tak membantahnya.

"Ibu bertengkar sama Ayah?" aku memberanikan diri bertanya.
Tersenyum sambil menggelengkan kepala. Hanya itu jawaban Ibu. Melihatku yang tak juga beranjak dari ranjangnya, Ibu pun bangkit setelah memastikan si bungsu terlelap.

"Sudah selesai belajar?"
Pertanyaan yang lucu. "Kok kayak nanyain Tres yang masih SD aja."

Tampak Ibu agak gugup, tetapi segera ditutupnya kegugupan itu. "Memang kalau udah kuliah nggak perlu belajar?"
Berdua diam.

"Kenapa?" Ibu bertanya.
"Citta yang mestinya tanya, Ayah dan Ibu kenapa," jawabku.
Kudengar desah napas Ibu. Panjang. Diraihnya tanganku dan diletakkan di pangkuannya. "Dua bulan lagi kamu ulang tahun kan. Umurmu akan genap dua puluh dua," berhenti sejenak, menatapku. "Berarti kamu sudah dewasa, sudah tidak harus dibimbing Ayah dan Ibu lagi. Bahkan sudah bisa membantu kami membimbing dua adikmu."

"Maksud Ibu?" aku mengerutkan dahi.
"Tentunya kamu tidak akan terlalu terganggu jika Ayah dan Ibu tidak bersama lagi," kata Ibu lirih tanpa melihatku. Suaranya bergetar.

"Ibu dan Ayah mau pisah?" Pertanyaan yang kuharap tidak diiyakan oleh Ibu. Tetapi keliru. Ibu mengangguk dengan berat. Berat sekali. Seketika kepalaku terasa pening.
"Ibu mau bercerai?" ulangku sekali lagi.
***
Enam tahun berikutnya. Seorang laki-laki duduk di depanku. Tertunduk layu.
"Aku yang mengajarimu berpikir dan bersikap. Tapi sekarang tak kutemukan apa yang kuajarkan dulu," katanya pelan sambil menerawang ke luar jendela.

"Sama. Aku juga tidak menemukan hal yang membuatku kagum dulu," jawabku, juga dengan perlahan.
"Kau tak pernah memaafkan aku," katanya lagi.
"Maafku tak akan menghapus luka kami," jawabku sambil menangkupkan kedua tangan ke mukaku.

Kepalaku tiba-tiba terasa berat begitu teringat masa itu. Teringat Ibu. Sekuat tenaga dia berusaha tabah menghadapi perpisahannya dengan Ayah. Tetapi tak sesederhana itu. Pasca perceraian, Ibu seorang diri harus menanggung hutang Ayah atas namanya. Hutang untuk proses kesenian yang kemudian justru mempertemukan Ayah dengan Tati. Ironis sekali. Ibu pun menjual rumah yang kami tempati, mengajukan pensiun dini lalu membawa kami hijrah ke kota kecil ini. Terlalu banyak luka di kota besar dulu.

Sejak itu hampir tak pernah kudengar berita tentang Ayah. Kota kecil ini terlalu damai untuk mengenangkan cerita lama. Lagi pula kami harus berjuang keras merintis kehidupan di sini dan memikirkan Ibu yang ternyata mengidap kanker payudara.

"Tidakkah penyesalan dan rasa berdosa cukup untuk menebus kesalahanku?" laki-laki itu bertanya lagi.
"Tetap saja kehidupan kami tak kembali," terasa mataku mulai basah.

"Maaf," seorang perempuan muda masuk, mengulurkan secarik kertas dengan tangannya yang tak sempurna dan segera keluar lagi.
"Pulanglah," kataku setelah membaca pesan yang tertera, "Aku ditunggu rapat. Ibu tak akan menemuimu."

Laki-laki itu memandangku. Kecewa, sedih, geram, dan entah apa lagi tampak di matanya. Tapi aku tak begitu peduli. Dia mengangguk lalu bangkit. "Aku masih berharap menjadi walimu di pernikahan nanti," katanya.

"Entahlah. Membayangkan pun aku tak berani."
Dengan lunglai, dia berjalan ke pintu. Sebelum dia menarik pegangangnya, aku memanggil.

"Yah..."
Laki-laki itu menoleh. Tersenyum. Aku hendak mengatakan sesuatu padanya, tetapi tak mampu. Maka hanya anggukan yang kuberikan untuk mengantarnya pergi.

Dalam hati aku berjanji, nanti malam akan kutulis surat untuk laki-laki itu. Isinya: Aku berterima kasih telah dibimbingnya menjadi pribadi yang percaya diri, sehingga menemukan jalan untuk berani mengajak orang lain menempatkan diri sejajar dengan kami dan bukan justru mengasihani. Satu hal yang tak pernah diajarkannya adalah menerima kehilangan. Baru belakangan almarhumah Ibu mengajarkannya padaku. Aku bangkit. Meraih kruk yang kusandarkan di samping kursi. Tentunya teman-teman terlalu lama menanti. 

***
Susialine Adelia

Cerpen Kala Senja

Selasa, 14 Agustus 2012
Segumpal rasa takut ini tidak bisa begitu saja retak dan hancur hanya dengan sebuah kata hiburan atau seuntai kata motivasi dari orang yang belum bear-benar memahami perasaan ini. Tentu saja mereka tidak akan dengan mudah merasakan apa yang ku rasa. Kala senja ini aku perlahan mulai merasa semakin kurang dapat melihat indahnya bunga, semerbaknya wangi bunga dan sedapnya rasa makanan.

Aku terigat pada Murni. Dia adalah wanita sempurna, yang masih ada utuh di relung hatiku. Aku megusap bingkai berisikan fotoku dengan Murni. Ia terlihat anggun di foto abu-abu yang sudah tergantug kurang lebih empat puluh tahun di kamarku. Setiap aku terjaga dari lelapku, aku akan menemukan wajah ayunya menyapaku dengan kehangatan yang dipancarkan hanya dengan senyuman manis fotonya. Cintaku padanya, abadi. Ini bukan rayuan gombal seperti pada saat aku dulu menggodaya pertama kali bertemu di sebuah jalan setapak yang meghubugkan kampungku dan kampungnya. Aku akan tersenyum mengingat semuanya.

“Murni, aku harap kau akan menungguku di sana,” bisikku pelan “apakah kau merindukanku, Murni?”

Murnilah yang selama ini menemaniku. Ia juga yang melahirkan dan mengasuh anak kami yang kini telah menjadi orang sukses dengan tulus.Anak kami bernama Duma, kini tentu saja ia sibuk dengan pekerjaannya. Mungkin inilah karma, karena dulu Duma lebih banyak menghabiskan waktu bersama Murni, ibunya, bukan aku. Aku terlalu giat mencari nafkah, hingga aku hampir melupakan Duma. Tapi tidak apa-apa, aku tetap bersyukur sudah memiliki anak sepertinya.

Aku membuka sebuah kotak kayu kecil dengan pahatan sederhana yang membuatya menjadi cantik. Itu ku pahat sendiri dan ku berikan hanya untuk Murni. Saat itu Murni menggunakannya untuk menyimpan setumpuk surat-surat penting, termasuk di antaranya surat dariku. Murni memang wanita yang luar biasa. Ia bisa membuatku begitu memahami perwujudan cinta. Lama ku membuka lembar demi lembar surat-surat berkertas lusuh itu, hingga aku mendapatkan sebuah kertas yang sugguh sudah sangat rapuh. Tulisannya sudah menjadi coklat nyaris tidak dapat di baca.

Aku meraba kepalaku. Mencari kacamata yang biasanya ada di atas kepalaku. Tapi tidak ku temukan. Aku harus mencari kacamata itu. Aku sungguh ingin membaca surat ini. Tanpa kacamata, aku tidak akan bisa.

“Mukhlis,” mungkin ia tau. Mukhlis adalah seorang remaja yang dengan sabar menemaniku setelah jasad Murni tidak lagi kuat menunggangi berbagai peyakit. Ia di minta Duma untuk menemaniku. Mukhlis sudah ku aggap cucuku. Mungkin, anak sulung Duma kini sudah sebesar Mukhlis. Tapi sayang, Duma jarang mengantar anak sulungnya untuk menemuiku di sini. Mukhlis sangat cekatan dalam segala hal, ia seperti masa mudaku, bersemangat dalam segala hal, dan ia akan sangat cepat datang ketika aku memanggilnya “apa kau melihat kacamataku?”

“Kacamatanya sudah Mbah pakai, sebentar Mukhlis perbaiki.”

Aku tertegun. Ini yang ku takutkan. Karena bagaimanapun, aku akan ada pada masa di mana aku melupakan semua, aku akan melalaikan apa yang ku punya. Aku akan semakin renta hingga kemudian akan tumbang dengan sendirinya. Namun, itulah hidup.

“Terimakasih, Cu.”

“Apa perlu Mukhlis bacakan Mbah?” tayanya. Aku terdiam. Tulisan itu memang terlihat remang. Kertasnyapun bergetar karena tremor[1] di tanganku membuatku sulit membaca tulisan-tulisan itu. Aku mengangguk, setelah aku yakini aku membutuhkan semua.

“Ini adalah surat Mbah Kakung untuk almarhum Mbah Putri, jadi baca baik-baik, dengan perasaan.”

“Nona Manis di kampung sebrang...” Mukhlis mulai membaca tulisanku, “Ini ku berikan bersamaan dengan seberkas perasaan yang membuatku mampu menahan kantukku hanya untuk mengingatmu. Hai Nona, siapa gerangan dirimu? Nan bercahaya bagai lentera penghias hatiku.

Nona, adakah hatimu sudah termiliki? Masih adakah kesempatanku untuk memilikinya?”

Aku melihat besitan senyum dari mulut anak remaja di hadapanku. Tentu saja, masanya kini adalah masa seperti yang sedang ku alami saat menulis surat itu untuk Murni. Masa pengenalan cinta.

“Mbah, usia berapa Mbah menikah?” pertanyaan yang sama pernah ku lontarkan pada ayahku dulu saat aku ingin meminang Murni. Aku berusaha mengingatnya. Aku tidak bisa megingatnya lagi, kepala ini tidak akan menemukan jawaban segiat apapun ia berusaha mengingat.

“Mbah lupa, tapi Mbah dulu masih sangat tampan. Bahkan kau kalah denganku dulu.” Aku menjawab seadanya. Mukhlis terseyum. Duma memang anak baik, ia tidak salah orang untuk merawatku. Walaupun sebenarnya, aku sungguh merindukan Duma membawa serta cucu-cucuku untuk menemai masa senja, sebelum akhirnya malam tiba dan aku tidak ada lagi bersama mereka.

***

Duma adalah hadiah yang berharga, ia begitu membuatku dan Murni menangis bersyukur. Saat tangisnya pecah riuh terdengar. Hatiku tak henti mengucap syukur. Berbagai nama telah ku persiapkan dengan berjuta makna untuk bekal masa depannya. Kumandang adzan ku perdengarkan di telinga kanannya agar ia selalu mengingat Allah dan taat beribadah. Begitu pula saat ia tumbuh, aku dan Murni tidak akan melewati mengamati masa pertumbuhannya.

Aku melihat sebuah bingkai yang terpaku di dinding kamarku, aku beranjak bangun dari kursi beroda pemberian Duma. Tidak akan mampu ku raih foto itu bila aku tetap duduk. Tapi kakiku begitu lemas. Saat menopang tubuhku, aku merasakan ketidak berdayaan yang teramat. Akhirnya, aku tersungkur mencium lantai.

“Mukhlis, tolong,” aku berusaha bangkit, tapi usahaku tidak membuahkan hasil.

“Ya ampun Mbah. Mbah tidak apa-apa, toh? Ada yang bisa Mukhlis bantu?” Mukhlis terlihat begitu khawatir, ia membantuku kembali duduk di kursi rodaku.

Aku menggeleng. Aku mengendurkan niatku meraih bingkai foto itu. Sebuah bingkai berisikan foto Duma saat ia masih kecil. Seandainya di sini ada Duma. Aku akan memintanya membantuku untuk kembali dapat berjalan. Sejak aku terjatuh dan tidak bisa berjalan, ia nyaris tidak pernah menemuiku. Aku teringat, saat Duma baru mulai belajar berjalan, aku akan mentitahnya, dan ku ajak keliling kampung. Sebentar-bentar, akan ada tetangga yang dengan gemas mencubit pipinya yang tembam menggemaskan. Mungkinkah, suatu hari nanti ia datang untuk mengajariku berjalan kembali?

Tidak terasa aku meneteskan air mata. Tidak kuasaku menahan rasa rindu ini. Sudah lama punggung tangan ini tidak di cium. Terakhir, tiga bulan lalu, saat ia mengambil berkas-berkasnya yang tertiggal untuk mendaftarkan anak sulugnya ke SMA. Ia mencium tanganku untuk berpamitan pulang.

“Semoga kau dan keluargamu selalu dalam lindungannya, Nak.” Ketika aku mengucapkan sebuah doa, rasa rindu itu perlahan akan meluntur. Aku percaya, Tuhan akan senantiasa menjaganya dalam segala keadaan.

***

“Ayah bangun! Mengapa kencing di celana, sih! Seperti anak bayi saja!”

aku terbangun ketika ada bentakan keras. Suara Duma. Ya, Duma datang!

“Duma, kau datang, Nak?”

“Ganti celana dulu, Yah. Jangan menemui Prita dan Clara dalam keadaan seperti ini,” Duma menunjuk celanaku yang basah kuyup karena kencingku.

“Biar, Mukhlis bantu, Mbah.” Mukhlis yang mendengar mendekatiku. Sementara Duma keluar dari kamarku dengan menutup hidungnya dengan sapu tangan, ia terlihat sangat jijik dengan perbuatan memalukan yang tidak ku sadari itu.

“Nak, sehina itukah aku? Dulu, aku yang membersihkan kotoranmu. Aku yang mencucinya. Bantu aku, Nak. Mengapa harus Mukhlis? Salahkah aku mendidikmu?” ucapku dalam hati. Aku berusaha menahan kekecewaanku. Mungkin Duma sedang sensitif karena pekerjaannya yang menumpuk.

“Duma,” panggilku setelah aku merasa sudah layak bertemu dengannya. Duma yang sedang menerima telepon tidak menggubris panggilanku. Yang datang haya Clara, anak bungsunya yang baru mulai bisa berjalan menghampiriku. Aku memeluknya, erat sekali. Ini kali pertama aku memeluk erat cucuku. Cucu sulungkupun tidak pernah ku dekap. Duma selalu melarangnya datang menemuiku, karena alasan kesehatannya tidak baik, sehingga tidak boleh berjalan jauh. Alasan klise yang tidak masuk di akal. Seandainya, mereka sejenak saja ada di dekatku. Aku ingin saat itu juga mati, aku igin pergi di tengah kehangatan keluargaku.

“Prita, bawa Clara masuk ke mobil. Kita akan pulang.” Duma memasukkan telepon genggamnya ke dalam saku celananya dan meminta istrinya untuk bergegas pergi. Mimpi indah ini akan segera berakhir. Begitu cepat. Aku masih ingin memeluk Clara, aku masih ingin bercerita banyak dengan Duma.

“Bermalam di sini saja. Kasihan Clara...” aku berusaha menahan Duma.

“Kami masih banyak pekerjaan. Jangan manja, Yah. Kami haya mampir sebentar untuk memberi Mukhlis gaji dan uang bulanan untuk Ayah.” Jawaban Duma membuat dadaku nyeri. Hanya untuk itu? Apakah kau tidak merindukanku, Nak? “Duma...” Tidak mungkin lagi aku berkata-kata tegas untuk memarahinya. Ia sudah dewasa untuk memahami semua. Ia juga kini sudah menjadi ayah dan harus mejalani kewajibannya.

“Ayah, aku pamit pulang. Mukhlis, jaga Ayah baik-baik. Kalau uang untuk keperluannya habis segera hubungi saya.”

Aku tau, Duma sebenarnya anak yang baik. Ia masih memikirkanku. Walaupun tidak secara langsung, aku tau ia mengkhawatirkanku.

“Hati-hati, Nak.” Ucapku pelan karena Duma sudah terlanjur masuk ke mobilnya dan kembali pergi. Hari ini aku kembali sendiri. Mukhlis menghapus air mataku. Aku tertegun.

***

Malam sudah sangat larut. Tiba-tiba, tenggorokanku terasa sangat kering. Badanku sulit ku gerakkan. Dadaku sesak dan sangat sakit, kepalaku berat. Inginku berteriak memanggil Mukhlis. Tapi, aku tak mampu. Berulang kali ku coba. Tapi gagal. Dadaku seperti terbakar, panas sekali. Mungkin, ini adalah saat di mana mentari senjaku akan terbenam dan berganti dengan malam yang semoga akan menenangkan. Semakin lama, dadaku semakin sakit, nafasku sesak terhimpit. Semua tidak lama, aku merasa tubuhku begitu ringan setelah itu.

“Murni, sebentar lagi aku akan bersamamu... Kekal abadi, selamanya, meninggalkan semua kepenatan yang ku temui di penghujung hidupku....” Dengan senyuman aku pergi, aku merasakan ketenangan yang tidak ku temukan di kala senjaku.


Cerpen Kala Senja

Segumpal rasa takut ini tidak bisa begitu saja retak dan hancur hanya dengan sebuah kata hiburan atau seuntai kata motivasi dari orang yang belum bear-benar memahami perasaan ini. Tentu saja mereka tidak akan dengan mudah merasakan apa yang ku rasa. Kala senja ini aku perlahan mulai merasa semakin kurang dapat melihat indahnya bunga, semerbaknya wangi bunga dan sedapnya rasa makanan.

Aku terigat pada Murni. Dia adalah wanita sempurna, yang masih ada utuh di relung hatiku. Aku megusap bingkai berisikan fotoku dengan Murni. Ia terlihat anggun di foto abu-abu yang sudah tergantug kurang lebih empat puluh tahun di kamarku. Setiap aku terjaga dari lelapku, aku akan menemukan wajah ayunya menyapaku dengan kehangatan yang dipancarkan hanya dengan senyuman manis fotonya. Cintaku padanya, abadi. Ini bukan rayuan gombal seperti pada saat aku dulu menggodaya pertama kali bertemu di sebuah jalan setapak yang meghubugkan kampungku dan kampungnya. Aku akan tersenyum mengingat semuanya.

“Murni, aku harap kau akan menungguku di sana,” bisikku pelan “apakah kau merindukanku, Murni?”

Murnilah yang selama ini menemaniku. Ia juga yang melahirkan dan mengasuh anak kami yang kini telah menjadi orang sukses dengan tulus.Anak kami bernama Duma, kini tentu saja ia sibuk dengan pekerjaannya. Mungkin inilah karma, karena dulu Duma lebih banyak menghabiskan waktu bersama Murni, ibunya, bukan aku. Aku terlalu giat mencari nafkah, hingga aku hampir melupakan Duma. Tapi tidak apa-apa, aku tetap bersyukur sudah memiliki anak sepertinya.

Aku membuka sebuah kotak kayu kecil dengan pahatan sederhana yang membuatya menjadi cantik. Itu ku pahat sendiri dan ku berikan hanya untuk Murni. Saat itu Murni menggunakannya untuk menyimpan setumpuk surat-surat penting, termasuk di antaranya surat dariku. Murni memang wanita yang luar biasa. Ia bisa membuatku begitu memahami perwujudan cinta. Lama ku membuka lembar demi lembar surat-surat berkertas lusuh itu, hingga aku mendapatkan sebuah kertas yang sugguh sudah sangat rapuh. Tulisannya sudah menjadi coklat nyaris tidak dapat di baca.

Aku meraba kepalaku. Mencari kacamata yang biasanya ada di atas kepalaku. Tapi tidak ku temukan. Aku harus mencari kacamata itu. Aku sungguh ingin membaca surat ini. Tanpa kacamata, aku tidak akan bisa.

“Mukhlis,” mungkin ia tau. Mukhlis adalah seorang remaja yang dengan sabar menemaniku setelah jasad Murni tidak lagi kuat menunggangi berbagai peyakit. Ia di minta Duma untuk menemaniku. Mukhlis sudah ku aggap cucuku. Mungkin, anak sulung Duma kini sudah sebesar Mukhlis. Tapi sayang, Duma jarang mengantar anak sulungnya untuk menemuiku di sini. Mukhlis sangat cekatan dalam segala hal, ia seperti masa mudaku, bersemangat dalam segala hal, dan ia akan sangat cepat datang ketika aku memanggilnya “apa kau melihat kacamataku?”

“Kacamatanya sudah Mbah pakai, sebentar Mukhlis perbaiki.”

Aku tertegun. Ini yang ku takutkan. Karena bagaimanapun, aku akan ada pada masa di mana aku melupakan semua, aku akan melalaikan apa yang ku punya. Aku akan semakin renta hingga kemudian akan tumbang dengan sendirinya. Namun, itulah hidup.

“Terimakasih, Cu.”

“Apa perlu Mukhlis bacakan Mbah?” tayanya. Aku terdiam. Tulisan itu memang terlihat remang. Kertasnyapun bergetar karena tremor[1] di tanganku membuatku sulit membaca tulisan-tulisan itu. Aku mengangguk, setelah aku yakini aku membutuhkan semua.

“Ini adalah surat Mbah Kakung untuk almarhum Mbah Putri, jadi baca baik-baik, dengan perasaan.”

“Nona Manis di kampung sebrang...” Mukhlis mulai membaca tulisanku, “Ini ku berikan bersamaan dengan seberkas perasaan yang membuatku mampu menahan kantukku hanya untuk mengingatmu. Hai Nona, siapa gerangan dirimu? Nan bercahaya bagai lentera penghias hatiku.

Nona, adakah hatimu sudah termiliki? Masih adakah kesempatanku untuk memilikinya?”

Aku melihat besitan senyum dari mulut anak remaja di hadapanku. Tentu saja, masanya kini adalah masa seperti yang sedang ku alami saat menulis surat itu untuk Murni. Masa pengenalan cinta.

“Mbah, usia berapa Mbah menikah?” pertanyaan yang sama pernah ku lontarkan pada ayahku dulu saat aku ingin meminang Murni. Aku berusaha mengingatnya. Aku tidak bisa megingatnya lagi, kepala ini tidak akan menemukan jawaban segiat apapun ia berusaha mengingat.

“Mbah lupa, tapi Mbah dulu masih sangat tampan. Bahkan kau kalah denganku dulu.” Aku menjawab seadanya. Mukhlis terseyum. Duma memang anak baik, ia tidak salah orang untuk merawatku. Walaupun sebenarnya, aku sungguh merindukan Duma membawa serta cucu-cucuku untuk menemai masa senja, sebelum akhirnya malam tiba dan aku tidak ada lagi bersama mereka.

***

Duma adalah hadiah yang berharga, ia begitu membuatku dan Murni menangis bersyukur. Saat tangisnya pecah riuh terdengar. Hatiku tak henti mengucap syukur. Berbagai nama telah ku persiapkan dengan berjuta makna untuk bekal masa depannya. Kumandang adzan ku perdengarkan di telinga kanannya agar ia selalu mengingat Allah dan taat beribadah. Begitu pula saat ia tumbuh, aku dan Murni tidak akan melewati mengamati masa pertumbuhannya.

Aku melihat sebuah bingkai yang terpaku di dinding kamarku, aku beranjak bangun dari kursi beroda pemberian Duma. Tidak akan mampu ku raih foto itu bila aku tetap duduk. Tapi kakiku begitu lemas. Saat menopang tubuhku, aku merasakan ketidak berdayaan yang teramat. Akhirnya, aku tersungkur mencium lantai.

“Mukhlis, tolong,” aku berusaha bangkit, tapi usahaku tidak membuahkan hasil.

“Ya ampun Mbah. Mbah tidak apa-apa, toh? Ada yang bisa Mukhlis bantu?” Mukhlis terlihat begitu khawatir, ia membantuku kembali duduk di kursi rodaku.

Aku menggeleng. Aku mengendurkan niatku meraih bingkai foto itu. Sebuah bingkai berisikan foto Duma saat ia masih kecil. Seandainya di sini ada Duma. Aku akan memintanya membantuku untuk kembali dapat berjalan. Sejak aku terjatuh dan tidak bisa berjalan, ia nyaris tidak pernah menemuiku. Aku teringat, saat Duma baru mulai belajar berjalan, aku akan mentitahnya, dan ku ajak keliling kampung. Sebentar-bentar, akan ada tetangga yang dengan gemas mencubit pipinya yang tembam menggemaskan. Mungkinkah, suatu hari nanti ia datang untuk mengajariku berjalan kembali?

Tidak terasa aku meneteskan air mata. Tidak kuasaku menahan rasa rindu ini. Sudah lama punggung tangan ini tidak di cium. Terakhir, tiga bulan lalu, saat ia mengambil berkas-berkasnya yang tertiggal untuk mendaftarkan anak sulugnya ke SMA. Ia mencium tanganku untuk berpamitan pulang.

“Semoga kau dan keluargamu selalu dalam lindungannya, Nak.” Ketika aku mengucapkan sebuah doa, rasa rindu itu perlahan akan meluntur. Aku percaya, Tuhan akan senantiasa menjaganya dalam segala keadaan.

***

“Ayah bangun! Mengapa kencing di celana, sih! Seperti anak bayi saja!”

aku terbangun ketika ada bentakan keras. Suara Duma. Ya, Duma datang!

“Duma, kau datang, Nak?”

“Ganti celana dulu, Yah. Jangan menemui Prita dan Clara dalam keadaan seperti ini,” Duma menunjuk celanaku yang basah kuyup karena kencingku.

“Biar, Mukhlis bantu, Mbah.” Mukhlis yang mendengar mendekatiku. Sementara Duma keluar dari kamarku dengan menutup hidungnya dengan sapu tangan, ia terlihat sangat jijik dengan perbuatan memalukan yang tidak ku sadari itu.

“Nak, sehina itukah aku? Dulu, aku yang membersihkan kotoranmu. Aku yang mencucinya. Bantu aku, Nak. Mengapa harus Mukhlis? Salahkah aku mendidikmu?” ucapku dalam hati. Aku berusaha menahan kekecewaanku. Mungkin Duma sedang sensitif karena pekerjaannya yang menumpuk.

“Duma,” panggilku setelah aku merasa sudah layak bertemu dengannya. Duma yang sedang menerima telepon tidak menggubris panggilanku. Yang datang haya Clara, anak bungsunya yang baru mulai bisa berjalan menghampiriku. Aku memeluknya, erat sekali. Ini kali pertama aku memeluk erat cucuku. Cucu sulungkupun tidak pernah ku dekap. Duma selalu melarangnya datang menemuiku, karena alasan kesehatannya tidak baik, sehingga tidak boleh berjalan jauh. Alasan klise yang tidak masuk di akal. Seandainya, mereka sejenak saja ada di dekatku. Aku ingin saat itu juga mati, aku igin pergi di tengah kehangatan keluargaku.

“Prita, bawa Clara masuk ke mobil. Kita akan pulang.” Duma memasukkan telepon genggamnya ke dalam saku celananya dan meminta istrinya untuk bergegas pergi. Mimpi indah ini akan segera berakhir. Begitu cepat. Aku masih ingin memeluk Clara, aku masih ingin bercerita banyak dengan Duma.

“Bermalam di sini saja. Kasihan Clara...” aku berusaha menahan Duma.

“Kami masih banyak pekerjaan. Jangan manja, Yah. Kami haya mampir sebentar untuk memberi Mukhlis gaji dan uang bulanan untuk Ayah.” Jawaban Duma membuat dadaku nyeri. Hanya untuk itu? Apakah kau tidak merindukanku, Nak? “Duma...” Tidak mungkin lagi aku berkata-kata tegas untuk memarahinya. Ia sudah dewasa untuk memahami semua. Ia juga kini sudah menjadi ayah dan harus mejalani kewajibannya.

“Ayah, aku pamit pulang. Mukhlis, jaga Ayah baik-baik. Kalau uang untuk keperluannya habis segera hubungi saya.”

Aku tau, Duma sebenarnya anak yang baik. Ia masih memikirkanku. Walaupun tidak secara langsung, aku tau ia mengkhawatirkanku.

“Hati-hati, Nak.” Ucapku pelan karena Duma sudah terlanjur masuk ke mobilnya dan kembali pergi. Hari ini aku kembali sendiri. Mukhlis menghapus air mataku. Aku tertegun.

***

Malam sudah sangat larut. Tiba-tiba, tenggorokanku terasa sangat kering. Badanku sulit ku gerakkan. Dadaku sesak dan sangat sakit, kepalaku berat. Inginku berteriak memanggil Mukhlis. Tapi, aku tak mampu. Berulang kali ku coba. Tapi gagal. Dadaku seperti terbakar, panas sekali. Mungkin, ini adalah saat di mana mentari senjaku akan terbenam dan berganti dengan malam yang semoga akan menenangkan. Semakin lama, dadaku semakin sakit, nafasku sesak terhimpit. Semua tidak lama, aku merasa tubuhku begitu ringan setelah itu.

“Murni, sebentar lagi aku akan bersamamu... Kekal abadi, selamanya, meninggalkan semua kepenatan yang ku temui di penghujung hidupku....” Dengan senyuman aku pergi, aku merasakan ketenangan yang tidak ku temukan di kala senjaku.


 

http://cerita-cerita-di.blogspot.com Copyright © 2012-2013 | Powered by Blogger