Di dalam lift menuju lantai tujuh, Lobo berkeringat. Tentu saja bukan karena gerah. Lobo gemetaran karena takut. Ini kali pertama Lobo naik lift. Rara ikut panik. Ia khawatir, jangan-jangan saudaranya ini mengidap acxrofobia, ganguan mental karena takut pada ketinggian atau tempat yang tinggi. Bisa gawat, kan
Rara memegang tangan Lobo kuat-kuat dan bernyanyi-nyanyi kecil. Ia berusaha menentramkan hati Lobo. Lobo ikut bernyanyi, membuat Rara jadi lega.
Di lantai tujuh , pintu terbuka. Saat keduanya keluar dari lift. Tiba-tiba Lobo berseru: “Sandalku dimana?”
Rara melotot. “Emang elo lepas di mana sandal butut elo?”
“Tadi waktu masuk kamar ini. kita harus jaga kebersihan, Ra? Sandalku kotor, jadi harus aku lepas di luar, supaya tidak bikin kotor lantai kamar. Kok sekarang tidak ada?”
Sebelum jadi tontonan, Rara buru-buru menyeret Lobo masuk ke dalam lift lagi. Rara membawa Lobo turun. Bukan untuk mencari sandalnya, melainkan mengajak Lobo pulang dan melupakan rencana membeli CD-nya U2.
Bukan sekali itu Rara dibikin tengsin oleh ulah Lobo yang sangat norak. Sudah udik, kuper, ngeselin lagi!
Beberapa hari sebelumnya Rara mengajak Lobo makan di resto Jepang. Tapi Lobo ngotot ingin memesan tahu goreng. Mana ada tahu goreng di restoran Jepang? Lobo memang ngeselin. Ia tetap tidak mau tempura, sushi maupun menu-menu lain yang menggoda. Pokoknya harus makan tahu goreng. Terpaksalah Rara mengajak Lobo ke warteg dan membiarkan Lobo memghabiskan sepiring tahu goreng seorang diri. Benar-benar tahu mania!
“Aku suka pusing-pusing kalau sehari tidak makan tahu,” kata Lobo dengan wajah tanpa dosa.
Baru lima hari tinggal serumah dengan Lobo, Rara sudah merasa eneg bener. Mau rasanya jika ia disuruh membunuh cowok itu. Mendorongnya masuk jurang atau memberinya racun tikus. Kampungannya minta ampun. Lobo itu seperti orang dari masa lalu yang dikirim ke masa kini dengan mesin waktu. Sepertinya ia punya peradaban yang berbeda dengan peradaban yang Rara kenal. Semua yang dilakukannya terlihat nyeleneh dan bahkan malu-maluin.
Kupernya itu, minta ampun!
Tapi papa dan mama memaksa Rara untuk membuat Lobo betah dan bisa secepatnya beradaptasi dengan Jakarta. Papa punya rencana memanfaatkan tenaga Lobo. Kelak ia bisa jadi sopir pribadi. Bahkan kata mama, tahun ajaran baru besok, Lobo boleh mencoba ikut test masuk perguruan tinggi. Papa dan mama akan membiayai kuliah Lobo.
“Kamu jangan semena-mena sama Lobo, Ra. Dia itu masih saudara kamu juga. Kamu jangan lupa, Lobo itu cucu dari anaknya kakak kandung kakek papa!”
Aduh ! Pusing kepala Rara membayangkan silsilah.
Papa menghendaki Lobo diajak kemana-mana, sekalian menemani Rara. Diperlihatkan tempat-tempat penting di Jakarta. Sebagai orang yang seumur hidupnya tinggal di kaki gunung dan belum pernah sekali pun menghirup udara Jakarta. Lobo butuh pemandu untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan metropolitan.
“Rara! Kamu dapat telpon dari Sania. Suaranya bagus, ya? Seperti penyiar radio.” Suatu sore Lobo memberi tahu Rara.
Rara buru-buru menghampiri telepon. Tapi alangkah dongkolnya ia ketika melihat telepon itu telah diletakkan di tempatnya. Ditutup!
“Loboooo! Lain kali telponnya jangan ditaruh di…..di……. pokoknya elo nggak boleh ngangkat telpon lagi! Nggak boleh!!!” teriak Rara jengkel. Di benaknya muncul gambar racun tikus.
Rara terpaksa menelpon balik Sania.
“Eh, ra? Diem-diem elo punya simpanan , ya?”
Sebersit pikiran nakal hinggap di kepala Rara. “Bukan, sih. Sepupu gue, San. Baru dateng dari kampung. doi keren abis. Cool, kayak kulkas. Elo mau gue kenalin?”
“Elo jangan becanda, Ra. Biasanya elo sosot sendiri kalo ada cowok keren.”
Rara tertawa. “Yang ini jelas enggak , San. Yang satu ini masih saudara gue sendiri. Elo mau kenalan nggak?”
“Siapa?”
“Sepupu gue, Namanya Lobo. Antik, kan?”
“Wah, feeling gue langsung masuk, Ra. Elo bawa saja doi ke sini sekarang, bisa kan?”
“Sekarang? Di mana?”
“Pikun! Tentu aja di lapangan basket! Gue tadi nelpon elo buat ngingetin sore ini kita ada latihan basket!”
“Sori, San. Gue memang lupa!”
Rara menutup telpon dan tertawa sendirian. Sudah lama ingin ngerjain Sania.
Tumben Lobo belagu. Rara harus memaksanya ikut. Biasanya tanpa diminta. Lobo langsung ikut saja.
“Nanti gue traktir elo tahu goreng sepuluh biji. Mau , kan?”
Lobo menggeleng. Rupanya ia masih sakit hati karena kemarin Rara mengguyurnya dengan air sabun ketika mencuci mobil. Rara kesal waktu itu. Lobo mencuci mobil dengan deterjen biasa yang bisa membuat cat mobilnya jadi kusam.
“Elo harus kenalan dengan teman-teman gue, supaya elo segera punya teman di sini. Ayo! Temen-temen gue orangnya asyik-asyik!”
“Sama yang suaranya kayak penyiar radio tadi?” wajah Lobo yang semula kusut jadi licin.
“Pasti. Tapi jangan norak, ya? Elo kudu sopan baik-baik sama dia. Orangnya galak. Judes.”
“Beres, Ra! Tapi tahu gorengnya?”
“Udah , pokoknya beres juga deh!”
Di lapangan basket, suasana sudah ramai. Rara berlari-lari kecil menuju ke lapangan untuk melemaskan otot-otot kakinya, sementara Lobo dengan cueknya makan tahu sambil berjalan.
Belum lagi dekat dengan lapangan, Sania yang seksi itu sudah memburu Rara. Ketika dekat, ia melirik ke arah Lobo.
“Itu saudara elo? Bisik Sania setelah menyeret Rara agak menjauh dari Lobo.
“Iya. Jangan liat penampilan luarnya , San.”
“Tapi….”
“Anaknya memang gitu. Coba kamu ajak kenalan. Elo sedikit agresif, kayak biasanya. Maklum anaknya pemalu. Dia suka elo, San. Eh, maksud gue, suara elo di telpon tadi. Udah deh, elo samperin doi, daripada keduluan yang lain.”
Rara berlari-lari kecil mengitari lapangan basket. Sesekali ia menoleh, melihat Sania dan Lobo berdiri berhadapan di bawah pohon palem. Rara tertawa geli.
Di dalam mobil, dalam perjalanan pulang setelah selesai main basket, Rara jadi curiga. Lobo nampak riang gembira dan bersiul-siul menirukan lagu yang diputar Rara.
“Elo naksir Sania, ya?”
Lobo menggeleng.
“Tapi dia cantik dan seksi, kan?”
“Menurut gue sih biasa-biasa saja.”
Rara gondok bukan main. Pertama karena Lobo mulai latah bergue-gue. Kedua karena ia mendadak jadi sombong.
“Sok lo! Paling besok elo ngemis-ngemis ke gue minta ketemu Sania lagi. Ke laut aje!”
“Salah! Justru Sania yang nangis-nangis minta ketemu gue. Lihat saja nanti.”
Lobo bersiul-siul lagi. Duduk bersandar dengan nyamannya sambil memejamkan mata. Rara makin dongkol dicuekin cowok udik itu.
Pas istirahat pertama, Rara menjumpai Sania di kantin sedang melahap tahu goreng dengan bumbu saus tomat. Ia makan dengan lahap dan terlihat nikmat sekali.
“Sejak kapan elo jadi suka tahu goreng, San?”
Rara terkejut melihat rona merah di pipi Sania. Gawat!
“Elo naksir Lobo?”
“Kok elo kaget, Ra? Bukannya elo yang kemarin nawar-nawarin sepupu elo itu?”
Rara terpana. “Tapi….. tapi….kenapa secepat ini? Elo kayak amatiran aja, San. Biasanya elo perlu pedekate lama baru bilang suka sama cowok.”
“Andai ia tahu…” kata Sania sambil mencomot sepotong tahu lagi. “Andai ia tahu goreng, udah gue lahap kayak ini! Tapi Lobo berotot. Nggak lembek kayak tahu.”
Rara menatap ngeri ke arah sohibnya yang seksi itu. Sania begitu rakusnya makan tahu. Mulutnya berlepotan minyak.
“Thanks, Ra. Elo akhirnya nyomblangin gue sama orang yang tepat. Sueer, elo nggak bakalan rugi jika kelak akhirnya sodaraan sama gue. Kita bakal makin dekat. Iya, kan?”
Rara ternganga.
“Kemarin mata gue bener-bener terbuka. Bener kata lo. Gue nggak boleh terkecoh penampilan fisik. Gue ngerasa cowok polos kayak Lobo itu yang pas buat ngedampingin hidup gue. Gue udah bosan sama cowok-cowok yang gaul, yang semau gue dan urakan. Gue ternyata ngedambain cowok yang kalem kayak Lobo itu. Bener-bener jatuh cinta, Ra. Sejuta persen!” kata Sania bersemangat.
“Elo bener, Ra. Waktu mau kenalan, gue nyaris ketipu. Baru setelah gue pelototin, gue sadar Lobo emang keren dan cool abis. Coba elo perhatiin lagi. Bentuk wajahnya itu bagus. Alisnya lebat kayak Primus. Kulitnya yang agak gelap justru memberi kesan lebih macho. Bodinya, Ra! Cowok sejati memang kudu berotot, nggak junkies kayak pemakai narkoba. Bener, kan?”
Rara hanya bisa mengangguk-angguk.
Bunyi semprotan air mengusik Rara. Ia cepat-cepat lari ke halaman, menjumpai Lobo tengah mencuci mobil.
“Jangan khawatir, Ra. Gue nggak bakalan ngecewain elo lagi. Gue janji!”
Lobo melepaskan selang air dan memutar tubuhnya sambil mengacungkan dua buah jarinya. Rara menjerit kecil dan buru-buru mendekap mulutnya. Lobo berdiri dengan tubuh setengan basah. Ia hanya mengenakan celana pendek dan membiarkan tubuh bagian atasnya terbuka. Lobo bertelanjang dada, memperlihatkan dadanya yang bidang, otot lengannya yang menyembul sempurna, dan perutnya yang datar.
Rara baru tau, Lobo telah memotong rambutnya menjadi lebih pendek dan rapi. Bulu-bulu kasar di atas bibir dan di dagunya juga telah dicukur rapi. Wajah Lobo terlihat mulus dan bersih.
Ia terlihat amat tampan.
Dada Rara berdegup lebih kencang. Mukanya terasa panas karena jengah. Tanpa berkata apa-apa, Rara membalik tubuhnya dan berlari masuk ke rumah.
Di kamarnya Rara melamun. Terbukti sekali lagi, dan harus ia akui, Sania memang jauh lebih jeli dalam hal menilai seorang cowok. Ia sudah sepekan lebih tinggal serumah dengan Lobo, bertemu dengannya setiap hari, tapi nyatanya baru sekarang matanya terbuka.
Tiba-tiba Rara menyesal karena Lobo masih punya ikatan darah dengannya. Sungguh!
###
0 komentar:
Posting Komentar