Sal, ipagi ini aku bangun kesiangan lagi, padahal hari ini ada presentasi makalah yang harus aku paparkan di hadapan teman-teman di kampus. Jam dinding pun telah menunjukkan pukul 07.45 WIB, seharusnya hari ini aku masuk lebih awal dari hari-hari biasanya. Aku langsung bergegas mandi, ya namanya sudah telat aku tidak mungkin buang-buang waktu berlamaan di kamar mandi sambil nyaniy-nyanyi, tapi hari ini tanpa itu semua. Selesai mandi aku segera berpakaian dan bersiap-siap menuju kampus. Dalam hatiku sempat merasa jengkel kenapa aku telat bangun padahal aku telah mengaktifkan jam wekker yang ada di kamarku. Lalu aku siap menuju kampus, akupun tak sempat sarapan bersama keluargaku, padahal adat sarapan pagi sangat selalu kami jalani, kalau begini biasanya Mama selalu membekali sarapan untuk kubawa ke kampus karena memang aku jarang sarapan pagi. Padahal dalam keluarga kami ada sebuah adat yang aku tidak tahu sejak aku lahir dari mana datangnya dimana aku harus sarapan bersama keluarga sebelum aku dan yang lainnya meninggalkan rumah setiap pagi. Kemudian sebelum berangkat ke kantor Papaku selalu saja menyampaikan nasehat kepada kami agar kami giat belajar dan bekerja keras seperti dirinya. Sudah sering nasehat itu-itu saja yang kudengar di telingaku sampai-sampai aku merasa bosan dengan perkataan itu. Tapi namanya anak kampus yang mulai tumbuh dewasa, aku tidak terlalu peduli semua itu, aku merasa mampu membimbing diriku sendiri. Sedangkan orang tua memang sudah menjadi tugas mereka membesarkan dan mendidik anak-anaknya hingga menjadi anak yang dapat dibanggakan kelak.
Tanpa pamit pada mereka aku pun langsung meninggalkan rumah dan mengambil motor usang ku di garasi yang selalu setia menemaniku kemanapun aku pergi. Ya motor usang itu aku beri nama Joko, nama itu yang kurasa pantas untuk motor kesayanganku. Papaku pernah berkata bahwa motor ini dulu ia pakai saat kami masih dalam keadaan yang sangat susah. Baginya motor ini bernilai sejarah tersendiri, dan aku menyukainya, tapi aku tidak memperdulikan hal itu, yang jelas aku sangat tertarik dengan si joko. Papaku sempat menawari mobil mewah seperti kakak-kakak ku, karena mereka diberi satu-satu oleh papa. Tapi aku tidak begitu peduli dengan semua itu, aku merasa mengendarai si joko lebih asyik untuk menikmati udara pagi dengan bebas, udara segar yang dapat memberi semangat yang besar padaku. Di kampus tidak sedikit teman-teman yang selalu mengatakan padaku kenapa aku tidak terima tawaran papaku itu, agar mereka bisa jalan bareng denganku. Teman gua Dodi pernah bilang, "wah kalau gua jadi anak seorang pengusaha ternama seperti lo Al, gua minta ama bokap mobil keluaran terbaru merk Ferrari gitu loh, cewek-cewek pasti pada nempel". Tapi kata-kata itu tidak sedikitpun membuatku terpengaruh. Aku tetap suka si Joko motor usang kesayanganku. Tetap juga cewek-cewek bisa ku ajak jalan dengan si Joko.
Pagi itu tampak jalan raya sangat padat sekali, aku tidak tahu pasti apa penyebabnya, padahal di hari-hari sebelumnya jalan raya tampak lengang dan aku bersama Joko bebas berlalu lalang dengan leluasa. Banyak kendaraan yang terperangkap oleh macet. Sempat aku berfikir apakah mereka juga telat bangun sepertiku.ha...ha...ha...tapi aku mulai menepis apa yang ada difikiranku saat itu, yang seharusnya aku ingat adalah presentase yang akan aku paparkan pagi ini. Sial ! dalam hati aku kembali bergumam bahwa hari ini aku memulai sandiwara lagi. Karena hari-hariku penuh dengan sandiwara, mulai aku bangun hingga aku tidur kembali. Aku terus mengamati sekeliling jalan raya yang macet, aku melihat ada seorang bapak tengah baya sedang mengendarai motor yang sedang mengantar anaknya bersekolah serta istrinya ke pasar ramai, aku tidak tahu apakah ia merasa ikhlas mengantar anak dan istrinya sama seperti yang aku lakukan, ya seperti sandiwara. Bisa saja ia takut dengan istrinya. ”Ah dasar fikiran ngaco!”, sergahku. Di sisi lain aku juga melihat ada seorang petugas polisi yang tampak tergesa-gesa, dalam benakku mungkin ia ada apel pagi hari ini atau ia malah cepat-cepat menuju lampu merah terdekat untuk menilang para pelanggar pengguna jalan raya sekalian mencari uang masuk baginya. Sebagian polisi yang berada di kota tempat kutinggal acapkali bersikap seperti itu. Aku berfikir bahwa apa yang mereka lakukan adalah tugas mereka sebagai aparat keamanan atau tugas tambahan yang mereka buat sendiri demi meraih keuntungan pribadi. Terkadang hal ini membuatku tertawa sendiri saat melihat mereka di jalan raya. Tanpa sengaja aku melihat seorang bapak yang hendak mengantar anaknya ke sekolah serta mengantar sang isteri ke pasar. Saat mereka ditilang oleh petugas polisi yang sedang mengatur lalu lintas tepat di pinggir lampu merah, memang isteri dan anaknya tidak mengenakan helm kecuali si Bapak karena ia sebagai pengendara motornya, mungkin setelah mengantar keduanya ia akan langsung berangkat bekerja. Dengan wajah yang tampak tegas polisi tersebut memberi hormat.
" Selamat pagi Pak!"
" Pagi”. Jawab sang Bapak
"Bapak telah melanggar peraturan, jadi terpaksa Bapak saya tilang"
"Dengan terpaksa si Bapak pun meminggir"
Aku melihat dari kejauhan terjadi negosiasi diantara keduanya, aku pun tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, yang aku lihat sangat jelas sang Bapak merogoh koceknya dengan mengeluarkan uang pecahan Rp.20.000,-, kemudian ia diizinkan berlalu bersama anak dan isterinya. Ha..ha..ha..lagi-lagi sandiwara itu mulai dimainkan oleh polisi tadi. Tapi aku yakin tidak semua aparat kepolisian memiliki mental seperti itu, ada juga petugas yang ramah atau ia tidak mengambil atau meminta yang bukan menjadi haknya. Inilah mental polisi yang pantas kita acungi jempol dan berhak mendapatkan penghargaan dari Negara atas baktinya pada masyarakat.
Akhirnya aku sampai juga di kampusku tercinta, sebuah kampus dimana aku akan mempresentasikan makalahku pagi ini. Aku memang telat beberapa waktu, agaknya aku harus kelihatan benar-benar sibuk agar teman-temanku mengira bahwa aku benar-benar telah menguasai makalah itu. Padahal ini adalah sandiwara yang telah aku rancang sebelumnya setiap kali ada presentasi makalah. Aku pun bergegas masuk kedalam kelas dan duduk tepat di samping Dodi, anak laki-laki yang lebih tinggi dariku dan anak seorang pengusaha batik ternama di Solo. Aku tidak tahu mengapa ia bisa sampai ke tempat ini dan menjadi teman sekampusku, yang jelas dalam pergaulan ia anak yang baik. Lalu ia pun menyapaku menyentak.
"Gimana Al makalah lo, udah ready kan?"
Dengan berpura-pura kelihatan sibuk aku pun membuka tas dan mencari dimana makalahku.
”Oh sudah Dod, emang kenapa?”, tanyaku kembali
”Gua kira lo belum selesai, Al”
"Ya sudah lah, secara Aldie gitu loh…..!
Tak lama dosen yang kami tunggupun datang dan menuju kelas, untungnya ia sedikit terlambat hari ini, sehingga aku tak perlu mendengar ceramah-ceramahnya yang sangat membosankan sama seperti ceramah yang selalu di sampaikan orang tuaku setiap pagi. Ia masuk lalu duduk dan memanggil namaku untuk mempresentasikan makalah. Dengan wajah yang sangat serius aku pun maju ke depan dan memaparkan semua yang ada dalam makalah itu dengan singkat dan tepat. Setelah itu sebelum di ambil alih oleh dosen, langsung saja aku persilahkan teman-temanku untuk mengajukan pertanyaan seputar pemaparanku tadi. Kali ini ada tiga orang yang akan bertanya yaitu Selvi, Andi dan Dodi. Syukurnya ketiga pertanyaan itu dapat aku jawab dengan mulus serta aku sebutkan beberapa pengarang buku terkenal agar mereka yakin kalau aku banyak mengetahui tentang apa yang mereka tanyakan. Akhirnya teman-teman dalam sekelas memberiku applause yang sangat meriah karena mereka puas dengan apa yang telah aku sampaikan. Dari hatiku yang paling dalam aku sembari tersenyum, ternyata aku mampu memainkan sandiwara ini dengan baik. Pelajaran pun selesai, Dosen segera meninggalkan kelas kami sambil berkata, "Aldie kamu akan saya beri nilai A karena makalah kamu sangat bagus dan menarik".
Keadaan ini sering aku dapatkan dari setiap apa yang aku lakukan hingga membuat teman-temanku yang lainnya merasa iri padaku, apalagi beberapa dosen sering mengatakan seperti itu di depan kelas. Kebiasaan dalam kehidupan anak kampus kami seringkali nongkrong bareng teman-teman di kantin yang berada di belakang kampus, sekalian mengamati cewek-cewek yang berlalu lalang keluar masuk kantin. Saat itu Dodi, teman sekelasku itu selalu memanggil beberapa cewek yang ia kenal dan kemudian mengenalkannya padaku. Sungguh aku tak mampu menolak atas perkenalan pada cewek-cewek yang dikenalkan Dodi, ya mumpung rezeki kenapa mesti kutolak, kali-kali aja diantara mereka ada yang dapat aku ajak jalan, walau hati kecil terkadang menolak untuk menerima perkenalan itu. Ini semua dikarenakan Dodi selalu saja mengatakan padaku, "Buat apa wajah tampan, anak seorang pengusaha terkenal kalau tidak bisa menaklukkan yang namanya wanita, ha..ha...”. ”Ya Dod tapi sekali-sekali lo kenalkan juga tuh si Rizal dengan cewek-cewek teman lo itu, biar ia tidak ngerasa minder sama teman yang lain, ayahnya juga kan seorang pengusaha sepatu terkenal di Surabaya”. Liburan kampus ke Bali tahun lalu kami sekelas sempat singgah di rumahnya Rizal. Rizal sudah lama ku anggap sebagai sahabat dekatku. Dalam hidup percintaannya ia tidak pernah gonta-ganti pacar apalagi selingkuh alias setia. Tidak seperti aku dan Dodi yang sibuk ngapalin nama cewek-cewek setiap malam minggu untuk diapelin. Rizal memang benar-benar setia pada Selvi, nama pacarnya itu, seorang gadis asli Bojonegoro yang cantik dan berkulit putih, sungguh menawan laksana seperti putri seorang Raja. Bahkan sekarang Rizal telah bertunangan dengan Selvi, anak seorang Direktur sebuah Bank Swasta di Surabaya. Dalam waktu dekat setelah habis masa persidangan kuliah, mereka akan segera melangsungkan pernikahan.
Biginilah hari-hariku di kampus yang penuh dengan sandiwara, bahkan dalam percintaan pun aku juga harus bersandiwara. Karena bukan hanya satu wanita yang aku ajak kencan, dalam satu minggu saja aku bisa ngecengin enam bahkan tujuh cewek. Wanita laksana baju yang selalu aku ganti dalam mengenakannya. Bila aku bosan dengan mereka dengan mudah aku mendapatkan penggantinya. Inilah aku yang telah dicap sebagai seorang Playboy oleh teman-temanku. Sebenarnya aku benci dibilang Playboy, tapi aku hanya bungkam atas apa yang mereka katakan, karena sesungguhnya aku memang Playboy. Kalau saja aku bisa memilih, dalam hidupku. sebagai seorang lelaki aku juga mempunyai kriteria wanita yang aku idam-idamkan dalam hidupku, yaitu wanita yang punya karakter kuat dan tidak memandangku bahwa aku anak seorang konglomerat. Hari-hari pun terus berganti, hari-hari bersama cewek-cewek yang telah aku pacari, bahkan sama sekali tidak seorangpun yang kucinta, yang ada hanya untuk kesenangan semu belaka. Aku bosan dengan keadaan ini dan sandiwara cinta yang ku lakoni selama ini dan permainan yang kubuat sendiri. ”Aku bosan Tuhan, tunjukilah jalan-Mu padaku, jalan yang terbaik dari-Mu”, rintihku dalam hati.
Suatu ketika tanpa sepengetahuan ku, Papaku membelikan aku sebuah mobil mewah bermerk Porsche, yang ia hadiahkan di saat ulang tahunku tepatnya ketika aku berumur 24 tahun, padahal selama ini ia tidak pernah memberiku hadiah semahal itu setiap aku berulang tahun. Hanya saja Papaku sering mengajakku bersama Mama dan kakakku berkeliling Eropa saat musim semi di sana. Sebagai anak bungsu aku merasa bahagia karena memiliki orang tua yang sebaik Mama dan Papaku serta kakak-kakakku yang menyayangiku. Dan itulah yang membuat aku makin mencintai mereka. Mobil yang ia belikan untukku adalah mobil yang sudah lama aku idam-idamkan selama ini. Hal ini pastilah sangat membahagiakan diriku. Mobil itu langsung saja aku coba dan mengendarainya untuk yang pertama kali, karena kali ini aku tidak mau Papaku merasa kecewa. Dengan berat hati terpaksa aku tinggalkan si Joko, motor kesayanganku yang selama ini selalu setia menemaniku ke mana saja di garasi rumahku. Ia terlihat seperti barang rongsokan di tengah mesin-mesin modern yang super cepat lajunya. Tapi aku tidak membuangnya bahkan menjualnya. Aku menyimpannya sebagai kenangan. Namun apa yang terjadi selanjutnya, dengan mobil itu pula makin banyak cewek-cewek yang naksir berat malah sampai mereka sendiri yang datang kepadaku untuk diajak jalan bersama. Mereka layaknya seperti perangko yang selalu menempel pada suratnya yaitu aku. Tak dapat aku pungkiri derajatku semakin tinggi dalam pandangan mereka. Wajah ok, penampilan ok, anak orang kaya dan bermobil mewah, rasanya sudah lengkap hidupku ini. Aku terus saja menghamburkan uang bersama cewek-cewek yang tak jelas ujung dan pangkal kemauannya. Dalam hidup ini sebenarnya aku memiliki ambisi yang sangat besar serta cita-cita yang sangat tinggi. Sebuah ambisi dimana kebahagiaan akan kuraih dalam hidupku dan cita-cita yang telah aku tanam dalam sanubariku ketika aku mulai duduk di bangku perkuliahan. Saat ini aku benar-benar merasa bosan dengan kehidupanku yang penuh warna kebohongan dan panggung sandiwara. Betapa aku sangat menginginkan ada sesuatu yang dapat merubah kembali kehidupanku menjadi lebih baik dan benar di masa yang akan datang. “Ya nanti pasti waktu itu akan tiba“, bathinku berkata.
Selasa itu, aku masih mengingatnya, hari yang benar-benar merubah hidupku. Waktu itu Porsche yang aku kendarai tiba-tiba menabrak seorang wanita di jalan raya. Saat itu aku lagi sendirian di mobil. Aku tidak menggunakan jasa sopir, padahal Papaku telah menyiapkan seorang sopir yang akan menemaniku. Ia khawatir jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Aku mendengar wanita itu menjerit, aku lihat ia terjatuh hingga terhempas lalu terbaring tepat di depan roda mobilku. Aku sempat memandang disekelilingku, sepi. Aku pun segera melaju meninggalkan wanita itu sendirian. Saat aku lewati tubuhnya yang terkapar sampai tak sadarkan diri, aku sempat melihat wajahnya sekilas, ada sesuatu yang mengusik benakku, aku terlonjak kaget. Tiba-tiba saja kakiku menginjak keras pedal rem mobilku, hingga mobilku mendadak berhenti. Aku memutar haluan mobilku kembali, segera aku keluar dan mengangkat tubuhnya dan meletakkan di kursi belakang mobilku dan langsung aku larikan ke rumah sakit terdekat. Jantungku berdebar kencang, aku berharap tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Kala itu aku duduk di koridor rumah sakit. Aku termenung sesaat ketika melihat ia terbaring belum sadarkan diri. ”Oh...Tuhan selamatkan dia”.., Do’aku mengiba. ”Apa yang telah aku lakukan!!”, bentak batinku. ”Aku merasa kasihan padanya”, jeritku dalam hati. Ku pandangi gadis berjilbab motif mozaik turki yang ia kenakan. Jilbab itu masih menutup rambutnya. Aku melarang perawat untuk membukanya. ”Biarkan saja suster, biarkan jilbab itu terus melekat”. Dalam hatiku aku sadar ia pastilah seorang yang taat agamanya dan sangat menghargai jilbab dan auratnya. Tadi Dokter sempat memberitahukan padaku bahwa ia tidak mengalami luka yang serius, ia hanya mengalami kejutan pada jantungnya.
Dua hari aku berada di rumah sakit, berarti dua hari aku absent di kampus dan dua hari aku tak pulang ke rumah. Ini pasti tidak masuk akal. Sudah dua hari ini aku bersama-sama keluarga gadis itu, ya gadis itu bernama Ainy. Dua hari ini juga ia belum siuman. Kulihat wajah ibunya yang sangat terpukul dan sedih, aku tahu kemarin malam ia tidak tidur menunggu anaknya yang terbaring, ia sempat melaksanakan shalat tahajjud memohon kesembuhan anaknya. Oh, hatiku menjerit, tak mampu aku menahan air mataku yang mulai tumpah. Kini aku hanya dapat melihat. Aku juga ingin bertahajjud bersama ibunya, tapi aku merasa malu, karena aku tak pernah melakukannya. Siang itu aku diajak sholat dzuhur berjamaah oleh adiknya yang laki-laki., Bahrum namanya, ia baru berusia 7 tahun, adiknya sempat bercerita mengenai kehidupan mereka, ternyata Ainy dan Adiknya sudah lama ditinggal ayahnya kira-kira 6 tahun yang lalu. ”Sholat!”, aku kaget. Sudah lama sekali aku tidak pernah melakukan sholat, tapi hati kecilku terhenyak bagai hipnotis yang mempengaruhiku, ku ikuti langkah kecilnya menuju musholla rumah sakit. Tiba-tiba ia berbelok ke kanan menuju kamar mandi. ”Mau kemana?”, tanyaku pelan, “mau berwudhu mas”, jawabnya ringan. “Oh iya”, balasku lirih. Aku baru ingat jika sholat itu wajib berwudhu’. Hari itu aku sholat dzhuhur berjamaah bersama adiknya Ainy, sudah sekian lama aku tidak pernah menunaikan sholat, aku merasa hari ini seperti pertama kali kalinya aku sholat. Selesai sholat kami pun bergegas keluar dari Musholla. ”Mas, sudah berdo’a untuk kakak?”, tanya Bahrum. ”Su...Sudah....”, jawabku berbohong. Ia tersenyum di hadapanku. Tak kusadari hatiku berkata, ”Ya Allah, Siapa pun Engkau, Yang bisa menjawab do’a, kabulkan do’aku, sadarkanlah Ainy ya Tuhan dari tidurnya, aku mohon pada-Mu”.
Hanya berselang 5 menit dari saat berdo’a, Bahrum tiba-tiba memanggilku, “Mas, Kak Ainy sudah siuman”. ”Oh iya, Alhamdulillah ya Allah, Engkau mengabulkan do’aku”, jawabnya bahagia. Aku langsung bergegas masuk ke ruangan inap Ainy. Sungguh aneh perasaan ini, betapa aku merasakan kebahagiaan yang tak dapat aku lukiskan dalam hatiku. Sesaat ibunya berkata, ”Nak Aldie inilah orang yang telah membawamu ke rumah sakit, dia yang telah menyelamatkanmu Ainy dan menanggung semua perawatan dan pengobatanmu”. Terima kasih mas Aldie”, ucap Ainy pelan. ”Iya, mudah-mudahan kamu segera sembuh”, jawabku tunduk. Aku tertunduk merasa bersalah pada Ainy dan keluarganya, karena aku telah berbohong pada mereka. Bibirku kelu hingga aku tak dapat berkata bahwa akulah orang yang telah menabraknya hari itu. Aku terpaksa mengaku sebagai penolongnya, ”dasar biadab”, teriakku dalam hati. Sungguh aku benar-benar seorang yang nista, tak berani jujur pada kenyataan yang sebenarnya.
Empat hari sudah waktu berlalu, selama itu aku terus saja menemani Ainy dan keluarganya hingga membuatku lupa akan segalanya, rumah, kampus, bahkan kehidupan playboyku. Aku merasa bahagia bila berada di samping Ainy, sungguh aku tidak ingin melihatnya bersedih. Rasanya aku tak tega melihatnya terbujur sakit bahkan terluka. ”Perasaan apa ini ya Allah?”, tanyaku dalam hati. Rumahku sekarang adalah rumah sakit tempat dimana Ainy dirawat. Belum juga aku pulang ke rumah mewahku. Ya pastilah kedua orang tuaku mengkhawatirkan aku, karena sejak empat hari yang lalu HP-ku ketinggalan di rumah. Tadi malam aku ketiduran di Musholla. Aku bermimpi, aku melihat wajah ayunya sangat lama. Ainy gadis muslimah berjilbab emas, meskipun aku melihatnya dari kejauhan. Wajahnya tampak berseri dan memberiku kedamaian. Mungkinkah aku mencintainya? tapi aku sangat merasakannya, ya rasa itu kini hadir dihatiku. Inikah yang disebut perasaan yang dapat dielakkan. Terbesit kata dalam hatiku bahwa aku akan lakukan apa saja untuk membuatnya bahagia. Kini aku harus jujur kepada Ainy bahwa akulah yang telah menabraknya.
Hari kelima, Ainy memanggilku. Hanya ada aku dan dia dalam ruangan inap itu. Bahrum dan ibunya belum datang. Sesaat ia tersenyum dihadapanku, aku tertunduk beku, kesombonganku terasa hancur berkeping saat melihat keteduhan wajahnya, aku sempat gugup dan hanya berkata terbata, tak kusangka ada selaput air yang bercokol di pelupuk mataku. Ya seorang playboy seperti aku ini berdiri kaku tak berdaya seperti anak kehilangan induknya di depan Ainy. “Duduklah Mas“, pinta Ainy tiba-tiba. Aku langsung duduk tak jauh darinya. Kakiku merasa keram seperti lumpuh dan badan sedikit bergetar, dan dia mulai bicara, “Ainy ingin berterima kasih sama mas Aldie karena telah menyelamatkan nyawa Ainy“. Sejurus aku terdiam atas penuturan Ainy. Aku makin membisu, kini aku pasrah dan takluk di hadapannya. “Sekarang ini Ainy ingin pulang Mas, Ainy sudah tidak tahan bertarung melawan penyakit ini, sampaikan salam Ainy pada Ibu dan Bahrum“. Aku tersentak atas ucapan Ainy. Kemudian ia mengucapkan kalimat tauhid di hadapanku, lalu memejamkan mata. Aku membangunkannya, namun ia tidak juga bangun, berkali-kali aku terus memanggilnya, tak juga ia menjawab. Suasana pun lengang seperti alam syahdu, jernih tapi sangat membingungkan. Aku diam, wajahku pucat pasi, perasaanku sedih, marah, tak rela, panik dan aku ingin sekali menjerit dan menangis sekuat-kuatnya. Segera aku memanggil Dokter jaga saat itu. “Tolong Dokter, tolong selamatkan ia Dok, aku mohon!“, pintaku mengiba. “sabar....sabar mas, akan saya usahakan dan saya minta Anda keluar sebentar“, jawab Dokter singkat. Tak lama Dokter keluar dari ruangan dan lalu berkata, “Maaf, jiwanya tidak tertolong, ia sudah tiada“. Aku menjerit di ruangan itu sendiri, ku lihat Ibu dan Bahrum belum juga datang. Aku sempat meminta pada petugas rumah sakit untuk menelepon keluarga Ainy. Aku menangis histeris, hingga air mataku menetes di kain selimut Ainy. Padahal aku belum pernah menangis seperti ini. “Ya Allah, sungguh aku mencintainya, tapi kini ia telah Kau ambil kembali“, jerit bathinku. Sementara Ibu dan Bahrum baru saja tiba dan tangisan pun memecah kesunyian ruangan dimana jasad Ainy terbujur kaku. Tapi ia terlihat senyum dengan damai.
“Ya Allah.........Ya Tuhan, Siapa pun Engkau, Yang bisa menjawab do’aku, kali ini aku bermohon untuk yang kedua kalinya, hidupkanlah Ainy kembali, jangan pisahkan aku dengannya”, pintaku memelas. Rasanya aku ingin saja menyusul bersamanya. Air mataku terus saja mengalir. Ku selesaikan semua urusan administrasi rumah sakit, aku berpamit pada Ibu dan Bahrum yang masih dalam keadaan duka. Aku tahu saat itu badanku terasa amat letih. Ku laju mobilku tanpa arah dan tujuan seakan-akan haluan hidupku telah patah. Kini cinta yang sesungguhnya telah pergi untuk selama-lamanya. Kemudian aku berhenti di sebuah warung di pinggir jalan, badanku terasa remuk redam, mataku perih karena kebanyakan menangis. Pikiranku galau, kini aku pasrah pada hidupku selanjutnya. Rasanya ingin sekali Ainy hidup kembali dan aku berkata kepadanya bahwa aku mencintainya. Hatiku perih tak terkira. Dan tiba-tiba dunia terasa gelap gulita...aku pingsan seketika.
Setelah beberapa bulan sejak peristiwa itu, aku menjadi semakin dekat dengan Allah Azzawajalla, Tuhan yang telah menghidupkan dan mematikan manusia. Di tangan-Nya lah kekuasaan hidup dan mati setiap makhluk. Aku pun selalu melaksanakan sholat lima waktu bahkan tahajjud di malam harinya. Aku berharap Allah akan mengampuni dosa-dosa yang telah aku perbuat selama ini. Dalam setiap do’aku, aku selalu berdo’a buat Ainy dan keluarga. Kini aku yakin dan berharap suatu hari nanti akan ada Ainy-Ainy yang lain yang dapat aku petik sebagai bunga hidupku dan aku dapat menjadi pria yang lebih baik di depan semua orang. Sejak kejadian itu, aku pun mulai menyadari yang dahulu adalah salah dan aku sangat menghargai yang namanya wanita...
Zaini Yazid
Alumnus PPMDH TPI Medan
Jln.Pelajar No.44