Ibu semakin jarang berbicara. Suaranya terbenam entah di mana. Tidak ada lagi dongeng, dan tidak ada lagi candanya. Semua lenyap. Hanya kini, suara-suara keluar dari tangannya. Apa saja yang dipegangnya selalu berisik. Kadang aku mengira, gempa susulan terjadi lagi. Terutama ketika ia sedang berada di dapur.
Seperti pagi ini. Aku bangun karena suara berisik dari dapur darurat yang terletak di dekat rumpun pohon pisang. Suara air yang dimuntahkan ke panci. Suara kayu bakar yang sedang dibelah. Suara-suara juga muncul dari tangan ibu ketika memarut kelapa atau memotong sayuran. Dan yang sering sekali membuat tubuhku begitu terasa dingin, ketika air dibiarkan mendidih terlalu lama. Mengeluarkan suara yang sangat menakutkan. Bergemuruh, seperti dulu ketika gempa besar terjadi.
Aku segera keluar dari tenda. Bapak sedang merokok dan menikmati kopi di dekat kamar mandi darurat, di dekat pohon mangga. Ia sedang mengantre mandi. Sebentar lagi, bapak akan pergi untuk kerja bakti. Kemarin ikut membangun masjid, kemarinnya lagi membangun sekolah, hari ini akan membangun balai dusun. Begitu terus, bergiliran. Tiga kali dalam seminggu.
Di dalam kamar mandi darurat, kakak laki-lakiku sedang mandi. Hari ini, ia akan pergi berdemonstrasi. Kemarin ia sudah membayar lima belas ribu untuk ongkos menyewa truk. Semalam ia tidak tidur di rumah. Ia tidur di posko, latihan pidato dan mengecat spanduk.
Sementara kakak perempuanku sedang bersiap-siap akan pergi. Ia sedang becermin di dalam tenda. Pagi ini, ia akan pergi ke kota, ikut pelatihan.
Hanya ibu yang ditinggal sendiri. Ia seperti biasa, pagi memasak, siang memasak, sore memasak. Kadang diselingi dengan membakar sampah di kebun. Kadang juga, harus membawa Maisaroh, adik perempuanku, pergi ke posyandu.
Seperti biasa, hari ini, aku harus pergi ke sekolah. Sudah beberapa bulan ini, aku sebetulnya malas ke sekolah. Aku harus bersekolah di dalam tenda yang panas. Dan debu selalu beterbangan di dalam ruang kelasku karena berlantai tanah. Tapi aku sedikit gembira karena ingat bahwa sore nanti akan ada kegiatan di posko anak. Pasti ada acara menggambar dan menyanyi. Lalu mendapat permen atau roti. Kadang juga mendapat buku atau topi.
Kakak laki-lakiku sudah keluar dari kamar mandi. Ia menyanyi pelan. Suaranya serak. Mungkin karena terlalu banyak demonstrasi dan terlalu sering bernyanyi keras-keras di posko pemuda.
Kakak laki-lakiku dan teman-temannya tidak disukai Pak RT dan Pak Dukuh. Ia dan teman-temannya sering mendatangi Pak RT dan Pak Dukuh untuk protes. Setelah itu sering juga mendatangi Pak Lurah dan Pak Camat. Katanya, sebentar lagi, ia dan teman-temannya akan mendemo Pak Bupati. Setiap kali pergi, ia minta uang ke ibu. Kalau tidak ada demonstrasi, ia hanya minta uang lima ribu untuk beli rokok. Tapi kalau ada demonstrasi, ia minta uang dua puluh ribu, untuk ongkos demonstrasi dan uang untuk rokok.
Bapakku masuk ke kamar mandi setelah membuang rokok di tangannya yang hampir habis. Ia sering menggerutu. Ia belum bisa bekerja karena bisnis bosnya ambruk gara-gara gempa. Ia ingin membangun rumah tetapi tidak ada biaya. Ia ingin bekerja lagi, tapi tidak tahu kerja apa. Akhirnya setiap tiga hari dalam seminggu, ia harus ikut kerja bakti. Karena itulah, ia semakin sering menggerutu. Kata bapak, enak menjadi orang yang sudah bekerja lagi, sebab tidak perlu ikut kerja bakti. Sementara yang belum bisa bekerja lagi seperti bapakku, tetap harus kerja bakti. Kalau tidak kerja bakti, menjadi omongan tetangga.
Tetangga sebelah rumahku datang. Ia istri Pak RT. Beberapa hari yang lalu, ia bercerita sambil menangis kepada ibuku. Ia bilang, tidak enak menjadi ketua RT. Kalau ada apa-apa, warga marah ke suaminya. Padahal menjadi RT tidak ada bayarannya.
Bu RT pernah bercerita, dulu suaminya disuruh mendata jumlah rumah yang roboh bersama beberapa petugas dari kabupaten. Mereka harus bekerja cepat, kalau tidak, atasan mereka akan marah. Setelah data terkumpul, bantuan tidak juga datang. Warga mulai marah. Ketika bantuan turun, ternyata bukan bantuan untuk rumah yang roboh. Melainkan bantuan beras dan uang lauk-pauk. Pak RT kena marah lagi. Kata warga, yang tidak bisa makan bukan hanya orang yang rumahnya roboh saja. Bu RT hanya bisa menangis mendengar suaminya dimarahi warga.
Anak perempuan tertua Pak Dukuh juga sering datang ke rumahku. Ia juga sering menangis di depan ibuku. Menjadi Pak Dukuh tidak enak, katanya. Saat banyak bantuan datang, orang-orang melihat bantuan itu jumlahnya besar sekali. Tapi Pak Dukuh harus membagi rata ke semua warga. Sampai di warga jumlahnya menjadi tidak seberapa. Warga marah dan mengira Pak Dukuh korupsi. Saat sudah tidak ada lagi bantuan yang datang, warga juga marah. Mereka bilang, Pak Dukuh tidak bertanggung jawab terhadap kehidupan warganya. Saking kesalnya, Pak Dukuh ingin meletakkan jabatannya. Tapi ia dimarahi atasannya.
Mendengar cerita seperti itu, ibu hanya diam. Paling-paling ia hanya bilang ke istri Pak RT dan anak perempuan Pak Dukuh supaya bersabar. Bu RT dan anak perempuan Pak Dukuh juga tahu, kakak laki-lakiku ikut mendemo Pak RT dan Pak Dukuh. Tapi mereka tidak pernah membicarakannya.
Bapak selesai mandi, dan aku masuk ke kamar mandi. Ketika hampir selesai mandi, aku mendengar Maisaroh menangis. Aku cepat-cepat keluar dari kamar mandi. Maisaroh menangis sambil tersengal. Wajahnya pucat. Tubuhnya dingin sekali. Hampir setiap pagi, Maisaroh selalu menangis. Biasanya ia menangis kalau ada gempa susulan, atau kalau ada mobil lewat di jalan dekat tenda kami. Kali ini Maisaroh menangis karena baru saja ada sebuah truk besar yang lewat. Maisaroh terbangun dari tidurnya dan menangis. Ia mengira ada gempa susulan.
Ibu menyusul masuk ke dalam tenda. Kemudian membujuk Maisaroh agar diam. Ibu memintaku agar cepat sarapan dan pergi ke sekolah. Aku ingin bilang ke ibu, aku tidak usah saja pergi ke sekolah pagi ini. Aku ingin menjaga dan menemani Maisaroh bermain. Tapi aku tidak berani bilang seperti itu.
Sepulang dari sekolah, aku bertemu dengan bapak di tengah jalan. Ia sedang menurunkan bambu batangan dan gedek bambu dari sebuah truk besar. Mobil itulah yang membuat Maisaroh terbangun dari tidur dan kemudian menangis, pagi tadi. Sambil lewat di sela-sela orang yang sedang menurunkan barang, aku mendengarkan pembicaraan mereka. Orang-orang ribut. Akan ada pembagian gedek dan bambu untuk rumah sementara. Tapi bahan itu tidak cukup untuk seluruh warga.
Di tepi jalan yang lain, Pak Dukuh sedang berbicara dengan orang-orang berpakaian necis. Orang-orang kemudian ikut merubung Pak Dukuh dan orang-orang necis itu. Suara-suara semakin terdengar keras. Aku takut. Aku lari ke rumah. Tubuhku terasa dingin sekali.
Sesampai di rumah aku melihat Maisaroh bermain sendiri. Aku kangen kepadanya. Ia tersenyum kepadaku. Aku menggendongnya. Sambil menggendong Maisaroh aku mencari-cari ibu. Ibu tidak ada di dalam tenda. Ia juga tidak ada di dapur darurat. Ternyata ibu sedang di kebun belakang. Melihat api yang membakar tumpukan sampah dengan diam. Aku tidak berani menyapanya. Aku balik ke dekat tenda, lalu mencari nasi untuk menyuapi Maisaroh.
Siang itu, bapak pulang membawa beberapa batang bambu dan beberapa lembar gedek. Siang itu juga ia mulai memasang tiang-tiang bambu.
Menjelang sore, aku siap berangkat ke posko anak. Aku mengajak Maisaroh ke sana. Siapa tahu ia juga bisa mendapat permen. Sesampai di posko suasana masih sepi. Mbak Dane dan Mas Gandung, dua orang kota yang mengajari kami menyanyi dan menggambar, sedang berbincang-bincang di bawah pohon sawo. Lalu ada beberapa anak, termasuk Anto, ketua kelasku, terlihat sedang berkejar-kejaran. Setiap pelajaran menyanyi, Anto tidak mau menyanyi lagu-lagu yang diajarkan oleh Mbak Dane dan Mas Gandung. Anto selalu menyanyi lagu pilihannya sendiri. Ia selalu menyanyi lagu Radja. Setiap pelajaran menggambar, Anto juga tidak mau menggambar sesuai permintaan Mbak Dane dan Mas Gandung. Anto selalu menggambar kupu-kupu yang membentuk kata: Slank.
Aku paling tidak suka kalau ada acara menyanyi dengan cara maju satu per satu. Anak yang berani maju lebih dulu, pasti kebagian lagu yang bagus-bagus. Aku yang tidak berani maju lebih dulu, hanya kebagian lagu anak-anak. Aku tidak mau nyanyi lagu anak-anak. Aku sudah kelas tiga SD. Seperti kemarin, ketika aku ingin menyanyi lagu Buaya Darat, tiba-tiba Rina maju dan menyanyikan lagu itu. Aku lalu berpikir untuk menyanyikan lagu lain, setelah ketemu, tiba-tiba Yanti maju dan langsung bernyanyi dengan keras lagu yang sudah kupikirkan, “Bang sms siapa ini, Bang….”
Aku lalu berpikir untuk menyanyi lagu Radja. Tapi Anto sudah mulai bernyanyi-nyanyi kecil, bersiap-siap untuk menyanyikan lagu itu. Aku mencari lagu-lagu lain yang kuhafal, lalu aku ingat lagu Peterpan. Baru saja aku merasa lega, Amin sudah maju dan menyanyikan lagu pilihanku. Akhirnya, ketika tiba giliranku, aku hanya punya satu pilihan lagu: Topi Saya Bundar. Dan semua anak menertawaiku.
Akhirnya semua anak telah berkumpul. Acara dimulai. Sore ini, aku memberanikan diri untuk maju lebih dulu. Tapi ketika akhirnya aku maju, Maisaroh menangis. Ia tidak mau kutinggal untuk maju ke depan. Akhirnya, aku hanya melihat teman-temanku menyanyi lagu-lagu kesukaan mereka.
Tangan ibu semakin sering mengeluarkan suara. Sementara, suara mulutnya semakin lenyap. Hanya kadang-kadang saja ia berbicara kepadaku atau kepada Maisaroh. Selebihnya ia hanya diam. Bahkan semakin jarang pula bicara kepada kakak perempuanku. Ia juga masih sering didatangi Bu RT dan anak tertua Pak Dukuh.
Bapak semakin sibuk memasang rumah gedek kami. Sudah berhari-hari tetapi rumah itu tidak juga jadi. Suatu saat, aku mendengar bapak bicara kepada seorang tetangga, kalau cepat selesai membuat rumah nanti disuruh cepat kerja bakti lagi.
Kakak laki-lakiku masih sering tidur dan nongkrong di posko pemuda. Ia tetap rajin mengecat spanduk dan pergi demonstrasi. Kadang-kadang saja ia pulang untuk meminta uang kepada ibu. Tapi terakhir kali ia meminta uang, ibu mencopot kalungnya dan memberikan kepada kakak laki-lakiku. Kakak laki-lakiku diam. Ia tidak menerima kalung itu. Ia pergi. Tapi ketika berada di dekat dapur, ia menendang panci masak keras sekali. Sampai Maisaroh menangis lagi. Dan aku segera mendekap dingin tubuh Maisaroh.
Kakak perempuanku semakin sering pergi pelatihan. Kalau Pak Dukuh datang, atau ketua karang taruna datang, berarti sebentar lagi pasti kakak perempuanku pergi untuk ikut pelatihan. Setiap pulang dari pelatihan, ia selalu bercerita tentang tempat yang bagus dan makanan yang enak. Ia juga sering berkata kalau bertemu dengan banyak orang-orang pintar dan kaya. Kakak perempuanku ingin seperti mereka. Kalau tidak ada pelatihan, kakak perempuanku pergi keliling kampung sambil membawa spidol besar dan kertas-kertas lebar. Anak laki-laki di kampungku memberi nama baru bagi kakak perempuanku. Nama asli kakakku, Siti Hadijah. Kini, pemuda-pemuda kampung memberi julukan: Siti Partisipasi.
Malam ini, aku tidur bertiga di dalam tenda. Tiba-tiba aku mendengar suara sesenggukan. Aku menoleh pelan, mencari sumber tangisan. Ibu menangis.
Aku diam. Takut. Tubuhku terasa dingin. Tapi semakin lama, tangisan ibu semakin mengencang. Tubuhnya terguncang hebat mencoba meredam tangis. Aku mendekap Maisaroh. Mencoba menutupi kepalanya dengan selimut agar tidak mendengar suara tangisan ibu. Tapi Maisaroh malah terbangun. Karena takut Maisaroh tahu ibu sedang menangis, aku segera menggendong Maisaroh keluar dari rumah. Beruntung Maisaroh seperti mengerti apa yang sedang kami alami. Ia diam. Ia bahkan terasa ringan di gendonganku.
Di depan rumah, bapak duduk diam sambil kemulan sarung. Ia diam ketika melihat aku menggendong Maisaroh. Ia tetap diam melihat aku melangkah ke jalan kampung. Aku bingung hendak ke mana. Kakak perempuanku seperti biasa sedang tidak ada di rumah. Ia sedang ikut pelatihan.
Aku menuju ke posko kampung. Di sana penuh dengan pemuda kampung yang sedang bernyanyi. Semakin mendekati posko itu, aku langsung mual dengan bau menyengat, seperti bau bensin. Begitu kakak laki-lakiku tahu aku datang bersama Maisaroh, ia segera berteriak menyuruhku pergi. Matanya merah, suaranya serak.
Aku pergi ke posko anak. Di sana sepi sekali. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur di sana. Tetapi baru saja mendekati posko anak itu, aku mendengar suara-suara aneh. Suara dengus napas, rintihan dan kecipak mulut. Pelan aku mengintip ke dalam ruangan. Dalam temaram malam, aku melihat dua orang, sedang bertengkar dan saling menggigit. Aku takut sekali. Mbak Dane dan Mas Gandung sedang bertengkar dan saling menggigit. Aku lalu berlari menjauhi posko anak.
Akhirnya aku berlari ke arah sawah. Maisaroh tetap diam. Sesampai di pinggir sungai kecil, aku berhenti. Meletakkan Maisaroh ke tanah. Maisaroh diam. Dalam temaram cahaya bulan, aku melihat mata Maisaroh berkedip-kedip pelan. Ia memandangku, aku memandangnya. Tiba-tiba aku ingin menangis. Lalu aku memeluk Maisaroh. Tubuhnya dingin. Tubuhku juga terasa dingin. Semua terasa dingin. Ini kali pertama aku menangis tanpa mengeluarkan suara.
Seperti pagi ini. Aku bangun karena suara berisik dari dapur darurat yang terletak di dekat rumpun pohon pisang. Suara air yang dimuntahkan ke panci. Suara kayu bakar yang sedang dibelah. Suara-suara juga muncul dari tangan ibu ketika memarut kelapa atau memotong sayuran. Dan yang sering sekali membuat tubuhku begitu terasa dingin, ketika air dibiarkan mendidih terlalu lama. Mengeluarkan suara yang sangat menakutkan. Bergemuruh, seperti dulu ketika gempa besar terjadi.
Aku segera keluar dari tenda. Bapak sedang merokok dan menikmati kopi di dekat kamar mandi darurat, di dekat pohon mangga. Ia sedang mengantre mandi. Sebentar lagi, bapak akan pergi untuk kerja bakti. Kemarin ikut membangun masjid, kemarinnya lagi membangun sekolah, hari ini akan membangun balai dusun. Begitu terus, bergiliran. Tiga kali dalam seminggu.
Di dalam kamar mandi darurat, kakak laki-lakiku sedang mandi. Hari ini, ia akan pergi berdemonstrasi. Kemarin ia sudah membayar lima belas ribu untuk ongkos menyewa truk. Semalam ia tidak tidur di rumah. Ia tidur di posko, latihan pidato dan mengecat spanduk.
Sementara kakak perempuanku sedang bersiap-siap akan pergi. Ia sedang becermin di dalam tenda. Pagi ini, ia akan pergi ke kota, ikut pelatihan.
Hanya ibu yang ditinggal sendiri. Ia seperti biasa, pagi memasak, siang memasak, sore memasak. Kadang diselingi dengan membakar sampah di kebun. Kadang juga, harus membawa Maisaroh, adik perempuanku, pergi ke posyandu.
Seperti biasa, hari ini, aku harus pergi ke sekolah. Sudah beberapa bulan ini, aku sebetulnya malas ke sekolah. Aku harus bersekolah di dalam tenda yang panas. Dan debu selalu beterbangan di dalam ruang kelasku karena berlantai tanah. Tapi aku sedikit gembira karena ingat bahwa sore nanti akan ada kegiatan di posko anak. Pasti ada acara menggambar dan menyanyi. Lalu mendapat permen atau roti. Kadang juga mendapat buku atau topi.
Kakak laki-lakiku sudah keluar dari kamar mandi. Ia menyanyi pelan. Suaranya serak. Mungkin karena terlalu banyak demonstrasi dan terlalu sering bernyanyi keras-keras di posko pemuda.
Kakak laki-lakiku dan teman-temannya tidak disukai Pak RT dan Pak Dukuh. Ia dan teman-temannya sering mendatangi Pak RT dan Pak Dukuh untuk protes. Setelah itu sering juga mendatangi Pak Lurah dan Pak Camat. Katanya, sebentar lagi, ia dan teman-temannya akan mendemo Pak Bupati. Setiap kali pergi, ia minta uang ke ibu. Kalau tidak ada demonstrasi, ia hanya minta uang lima ribu untuk beli rokok. Tapi kalau ada demonstrasi, ia minta uang dua puluh ribu, untuk ongkos demonstrasi dan uang untuk rokok.
Bapakku masuk ke kamar mandi setelah membuang rokok di tangannya yang hampir habis. Ia sering menggerutu. Ia belum bisa bekerja karena bisnis bosnya ambruk gara-gara gempa. Ia ingin membangun rumah tetapi tidak ada biaya. Ia ingin bekerja lagi, tapi tidak tahu kerja apa. Akhirnya setiap tiga hari dalam seminggu, ia harus ikut kerja bakti. Karena itulah, ia semakin sering menggerutu. Kata bapak, enak menjadi orang yang sudah bekerja lagi, sebab tidak perlu ikut kerja bakti. Sementara yang belum bisa bekerja lagi seperti bapakku, tetap harus kerja bakti. Kalau tidak kerja bakti, menjadi omongan tetangga.
Tetangga sebelah rumahku datang. Ia istri Pak RT. Beberapa hari yang lalu, ia bercerita sambil menangis kepada ibuku. Ia bilang, tidak enak menjadi ketua RT. Kalau ada apa-apa, warga marah ke suaminya. Padahal menjadi RT tidak ada bayarannya.
Bu RT pernah bercerita, dulu suaminya disuruh mendata jumlah rumah yang roboh bersama beberapa petugas dari kabupaten. Mereka harus bekerja cepat, kalau tidak, atasan mereka akan marah. Setelah data terkumpul, bantuan tidak juga datang. Warga mulai marah. Ketika bantuan turun, ternyata bukan bantuan untuk rumah yang roboh. Melainkan bantuan beras dan uang lauk-pauk. Pak RT kena marah lagi. Kata warga, yang tidak bisa makan bukan hanya orang yang rumahnya roboh saja. Bu RT hanya bisa menangis mendengar suaminya dimarahi warga.
Anak perempuan tertua Pak Dukuh juga sering datang ke rumahku. Ia juga sering menangis di depan ibuku. Menjadi Pak Dukuh tidak enak, katanya. Saat banyak bantuan datang, orang-orang melihat bantuan itu jumlahnya besar sekali. Tapi Pak Dukuh harus membagi rata ke semua warga. Sampai di warga jumlahnya menjadi tidak seberapa. Warga marah dan mengira Pak Dukuh korupsi. Saat sudah tidak ada lagi bantuan yang datang, warga juga marah. Mereka bilang, Pak Dukuh tidak bertanggung jawab terhadap kehidupan warganya. Saking kesalnya, Pak Dukuh ingin meletakkan jabatannya. Tapi ia dimarahi atasannya.
Mendengar cerita seperti itu, ibu hanya diam. Paling-paling ia hanya bilang ke istri Pak RT dan anak perempuan Pak Dukuh supaya bersabar. Bu RT dan anak perempuan Pak Dukuh juga tahu, kakak laki-lakiku ikut mendemo Pak RT dan Pak Dukuh. Tapi mereka tidak pernah membicarakannya.
Bapak selesai mandi, dan aku masuk ke kamar mandi. Ketika hampir selesai mandi, aku mendengar Maisaroh menangis. Aku cepat-cepat keluar dari kamar mandi. Maisaroh menangis sambil tersengal. Wajahnya pucat. Tubuhnya dingin sekali. Hampir setiap pagi, Maisaroh selalu menangis. Biasanya ia menangis kalau ada gempa susulan, atau kalau ada mobil lewat di jalan dekat tenda kami. Kali ini Maisaroh menangis karena baru saja ada sebuah truk besar yang lewat. Maisaroh terbangun dari tidurnya dan menangis. Ia mengira ada gempa susulan.
Ibu menyusul masuk ke dalam tenda. Kemudian membujuk Maisaroh agar diam. Ibu memintaku agar cepat sarapan dan pergi ke sekolah. Aku ingin bilang ke ibu, aku tidak usah saja pergi ke sekolah pagi ini. Aku ingin menjaga dan menemani Maisaroh bermain. Tapi aku tidak berani bilang seperti itu.
Sepulang dari sekolah, aku bertemu dengan bapak di tengah jalan. Ia sedang menurunkan bambu batangan dan gedek bambu dari sebuah truk besar. Mobil itulah yang membuat Maisaroh terbangun dari tidur dan kemudian menangis, pagi tadi. Sambil lewat di sela-sela orang yang sedang menurunkan barang, aku mendengarkan pembicaraan mereka. Orang-orang ribut. Akan ada pembagian gedek dan bambu untuk rumah sementara. Tapi bahan itu tidak cukup untuk seluruh warga.
Di tepi jalan yang lain, Pak Dukuh sedang berbicara dengan orang-orang berpakaian necis. Orang-orang kemudian ikut merubung Pak Dukuh dan orang-orang necis itu. Suara-suara semakin terdengar keras. Aku takut. Aku lari ke rumah. Tubuhku terasa dingin sekali.
Sesampai di rumah aku melihat Maisaroh bermain sendiri. Aku kangen kepadanya. Ia tersenyum kepadaku. Aku menggendongnya. Sambil menggendong Maisaroh aku mencari-cari ibu. Ibu tidak ada di dalam tenda. Ia juga tidak ada di dapur darurat. Ternyata ibu sedang di kebun belakang. Melihat api yang membakar tumpukan sampah dengan diam. Aku tidak berani menyapanya. Aku balik ke dekat tenda, lalu mencari nasi untuk menyuapi Maisaroh.
Siang itu, bapak pulang membawa beberapa batang bambu dan beberapa lembar gedek. Siang itu juga ia mulai memasang tiang-tiang bambu.
Menjelang sore, aku siap berangkat ke posko anak. Aku mengajak Maisaroh ke sana. Siapa tahu ia juga bisa mendapat permen. Sesampai di posko suasana masih sepi. Mbak Dane dan Mas Gandung, dua orang kota yang mengajari kami menyanyi dan menggambar, sedang berbincang-bincang di bawah pohon sawo. Lalu ada beberapa anak, termasuk Anto, ketua kelasku, terlihat sedang berkejar-kejaran. Setiap pelajaran menyanyi, Anto tidak mau menyanyi lagu-lagu yang diajarkan oleh Mbak Dane dan Mas Gandung. Anto selalu menyanyi lagu pilihannya sendiri. Ia selalu menyanyi lagu Radja. Setiap pelajaran menggambar, Anto juga tidak mau menggambar sesuai permintaan Mbak Dane dan Mas Gandung. Anto selalu menggambar kupu-kupu yang membentuk kata: Slank.
Aku paling tidak suka kalau ada acara menyanyi dengan cara maju satu per satu. Anak yang berani maju lebih dulu, pasti kebagian lagu yang bagus-bagus. Aku yang tidak berani maju lebih dulu, hanya kebagian lagu anak-anak. Aku tidak mau nyanyi lagu anak-anak. Aku sudah kelas tiga SD. Seperti kemarin, ketika aku ingin menyanyi lagu Buaya Darat, tiba-tiba Rina maju dan menyanyikan lagu itu. Aku lalu berpikir untuk menyanyikan lagu lain, setelah ketemu, tiba-tiba Yanti maju dan langsung bernyanyi dengan keras lagu yang sudah kupikirkan, “Bang sms siapa ini, Bang….”
Aku lalu berpikir untuk menyanyi lagu Radja. Tapi Anto sudah mulai bernyanyi-nyanyi kecil, bersiap-siap untuk menyanyikan lagu itu. Aku mencari lagu-lagu lain yang kuhafal, lalu aku ingat lagu Peterpan. Baru saja aku merasa lega, Amin sudah maju dan menyanyikan lagu pilihanku. Akhirnya, ketika tiba giliranku, aku hanya punya satu pilihan lagu: Topi Saya Bundar. Dan semua anak menertawaiku.
Akhirnya semua anak telah berkumpul. Acara dimulai. Sore ini, aku memberanikan diri untuk maju lebih dulu. Tapi ketika akhirnya aku maju, Maisaroh menangis. Ia tidak mau kutinggal untuk maju ke depan. Akhirnya, aku hanya melihat teman-temanku menyanyi lagu-lagu kesukaan mereka.
Tangan ibu semakin sering mengeluarkan suara. Sementara, suara mulutnya semakin lenyap. Hanya kadang-kadang saja ia berbicara kepadaku atau kepada Maisaroh. Selebihnya ia hanya diam. Bahkan semakin jarang pula bicara kepada kakak perempuanku. Ia juga masih sering didatangi Bu RT dan anak tertua Pak Dukuh.
Bapak semakin sibuk memasang rumah gedek kami. Sudah berhari-hari tetapi rumah itu tidak juga jadi. Suatu saat, aku mendengar bapak bicara kepada seorang tetangga, kalau cepat selesai membuat rumah nanti disuruh cepat kerja bakti lagi.
Kakak laki-lakiku masih sering tidur dan nongkrong di posko pemuda. Ia tetap rajin mengecat spanduk dan pergi demonstrasi. Kadang-kadang saja ia pulang untuk meminta uang kepada ibu. Tapi terakhir kali ia meminta uang, ibu mencopot kalungnya dan memberikan kepada kakak laki-lakiku. Kakak laki-lakiku diam. Ia tidak menerima kalung itu. Ia pergi. Tapi ketika berada di dekat dapur, ia menendang panci masak keras sekali. Sampai Maisaroh menangis lagi. Dan aku segera mendekap dingin tubuh Maisaroh.
Kakak perempuanku semakin sering pergi pelatihan. Kalau Pak Dukuh datang, atau ketua karang taruna datang, berarti sebentar lagi pasti kakak perempuanku pergi untuk ikut pelatihan. Setiap pulang dari pelatihan, ia selalu bercerita tentang tempat yang bagus dan makanan yang enak. Ia juga sering berkata kalau bertemu dengan banyak orang-orang pintar dan kaya. Kakak perempuanku ingin seperti mereka. Kalau tidak ada pelatihan, kakak perempuanku pergi keliling kampung sambil membawa spidol besar dan kertas-kertas lebar. Anak laki-laki di kampungku memberi nama baru bagi kakak perempuanku. Nama asli kakakku, Siti Hadijah. Kini, pemuda-pemuda kampung memberi julukan: Siti Partisipasi.
Malam ini, aku tidur bertiga di dalam tenda. Tiba-tiba aku mendengar suara sesenggukan. Aku menoleh pelan, mencari sumber tangisan. Ibu menangis.
Aku diam. Takut. Tubuhku terasa dingin. Tapi semakin lama, tangisan ibu semakin mengencang. Tubuhnya terguncang hebat mencoba meredam tangis. Aku mendekap Maisaroh. Mencoba menutupi kepalanya dengan selimut agar tidak mendengar suara tangisan ibu. Tapi Maisaroh malah terbangun. Karena takut Maisaroh tahu ibu sedang menangis, aku segera menggendong Maisaroh keluar dari rumah. Beruntung Maisaroh seperti mengerti apa yang sedang kami alami. Ia diam. Ia bahkan terasa ringan di gendonganku.
Di depan rumah, bapak duduk diam sambil kemulan sarung. Ia diam ketika melihat aku menggendong Maisaroh. Ia tetap diam melihat aku melangkah ke jalan kampung. Aku bingung hendak ke mana. Kakak perempuanku seperti biasa sedang tidak ada di rumah. Ia sedang ikut pelatihan.
Aku menuju ke posko kampung. Di sana penuh dengan pemuda kampung yang sedang bernyanyi. Semakin mendekati posko itu, aku langsung mual dengan bau menyengat, seperti bau bensin. Begitu kakak laki-lakiku tahu aku datang bersama Maisaroh, ia segera berteriak menyuruhku pergi. Matanya merah, suaranya serak.
Aku pergi ke posko anak. Di sana sepi sekali. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur di sana. Tetapi baru saja mendekati posko anak itu, aku mendengar suara-suara aneh. Suara dengus napas, rintihan dan kecipak mulut. Pelan aku mengintip ke dalam ruangan. Dalam temaram malam, aku melihat dua orang, sedang bertengkar dan saling menggigit. Aku takut sekali. Mbak Dane dan Mas Gandung sedang bertengkar dan saling menggigit. Aku lalu berlari menjauhi posko anak.
Akhirnya aku berlari ke arah sawah. Maisaroh tetap diam. Sesampai di pinggir sungai kecil, aku berhenti. Meletakkan Maisaroh ke tanah. Maisaroh diam. Dalam temaram cahaya bulan, aku melihat mata Maisaroh berkedip-kedip pelan. Ia memandangku, aku memandangnya. Tiba-tiba aku ingin menangis. Lalu aku memeluk Maisaroh. Tubuhnya dingin. Tubuhku juga terasa dingin. Semua terasa dingin. Ini kali pertama aku menangis tanpa mengeluarkan suara.
Puthut EA
0 komentar:
Posting Komentar