Ketika aku turun dari angkutan, orang-orang yang mengantar jenazah Bido baru saja pulang dari kuburan. Sepintas aku melihat, di depan warung kopi Bido, masih ada tenda kecil dan jajaran kursi, juga ceceran bunga. Aku terus saja berjalan menuju rumah.
Sore ini, ibuku tidak banyak bicara. Ia hanya membuatkanku kopi, memasukkan tasku ke kamar, dan membiarkanku sendirian di teras samping. Ia tahu untuk apa aku pulang, tapi tidak bertanya mengapa aku terlambat mengikuti pemakaman. Aku juga tidak sempat bertanya, mengapa di dapur ada banyak orang, tikar tergelar di ruang tamu dan beranda depan. Mungkin akan ada arisan.
Aku bahkan tidak tahu persis apakah aku benar-benar kenal Bido dengan baik atau tidak. Aku jarang berbicara dengannya, semakin jarang ketika aku sudah tidak tinggal di kampung lagi. Tapi tidak bisa kumungkiri, ada beberapa peristiwa di masa laluku yang membuatku merasa mempunyai hubungan khusus dengannya.
Dua puluhan tahun yang lalu, untuk pertama kalinya aku merasa dikhianati teman-teman sepermainanku. Saat itu, aku baru duduk di kelas lima sekolah dasar. Jauh hari, aku dan teman-teman sebayaku merancang untuk menonton wayang kulit di kota lain yang jaraknya 60-an kilometer dari kampungku. Dalangnya, Ki Manteb Sudarsono. Semua rencana sudah matang. Tapi tepat di sore hari saat kami seharusnya berkumpul di pertigaan jalan besar untuk bersama mencegat angkutan, tidak ada seorang pun yang datang. Padahal aku telah membayar mahal rencana itu karena sore sebelumnya, aku merengek meminta izin orangtuaku untuk tidak ikut piknik bareng mereka ke Bali. Sore itu, aku bertekad untuk berangkat sendirian dengan rasa marah.
Tepat di saat aku hampir melambaikan tangan ke sebuah angkutan yang terlihat dari jauh, seseorang menyapaku. Aku menoleh. Orang itu bernama Bido. Umurnya jauh lebih tua dari umurku. Tahu kalau aku akan berangkat sendirian dan tahu kalau aku tidak mungkin membatalkan rencanaku, ia langsung ikut nangkring di atas angkutan. Saat aku tanya ia hendak ke mana, ia menjawab ingin menemaniku. Rasa ragu bepergian jauh dan sendirian, tidak punya famili dan teman di kota tujuan, mendadak rampung jadi pikiran begitu Bido menemaniku.
Malam itu akhirnya aku menonton sampai tuntas pagelaran wayang yang sudah kutunggu- tunggu. Malam itu pula, aku merasa seperti laki-laki yang sudah dewasa. Tidak jauh dari si dalang, aku kelepas-kelepus merokok, bahkan Bido memberiku segelas kopi yang sudah dicampur dengan sedikit arak, supaya aku tidak masuk angin karena pagelaran itu diadakan tepat di bibir pantai. Itulah kali pertama aku minum arak.
Tapi saat itu bukan kali pertama aku merasa ditolong oleh Bido. Beberapa tahun sebelumnya, Bido juga mengulurkan tangannya, memberi jalan kepadaku untuk melakukan sesuatu.
Saat itu ada lomba catur menjelang tujuh belasan di kampung. Malam itu aku masuk babak final. Musuhku bernama Anton, anak seorang mantri suntik yang baru saja pindah ke kampungku. Ia kelas enam dan aku baru kelas tiga kalau tidak kelas dua. Aku yakin aku pasti menang di pertandingan itu. Tapi malam itu, orang-orang berpihak kepada Anton. Mereka itu ada Pak Camat, Pak Lurah, beberapa polisi dan tentara, ada juga guru ngajiku, semua memihak Anton. Aku menduga karena bapak Anton juga menonton. Berkali-kali, Anton mengulang langkah. Kalau aku berpikir lama, mereka menyuruhku cepat-cepat melangkah, kalau Anton berpikir lama, mereka sibuk mengajarinya. Aku kalah. Aku hanya bisa membalas ketika di malam resepsi para pemenang diundang naik ke panggung, aku malah pergi. Ibu yang mengambilkan hadiahku. Begitu sampai di rumah, ketika hadiah itu diulungkan kepadaku, aku membantingnya. Ibuku hanya diam dan mengelus-elus rambutku, lalu membuatkanku mi goreng dan telor gulung kesukaanku.
Kemarahanku kepada Anton mereda ketika suatu saat, sepulang sekolah, Bido mencegatku. Ia membisiki sesuatu. Segera aku berlari ke rumah. Malamnya, aku tidak bisa tidur.
Pagi harinya, kampung kami geger. Di halaman depan rumah yang disewa keluarga Anton terdapat pohon nangka yang sedang berbuah. Dan di pohon itu ada buah nangka besar yang terpotong separuh. Di dekat buah yang terpotong itu, ada kertas tertempel dengan bunyi: Njaluk nangkamu separo, ya!
Bukan pencurian nangka yang membuat geger, tapi pencurian nangka dengan tulisan di pohonlah yang membuat geger. Peristiwa seperti itu baru terjadi pertama kali di kampungku. Aku semestinya merasa aman. Pohon itu terlalu tinggi untuk kunaiki. Buah yang hilang separuh itu juga terlalu besar untuk dibawa oleh anak seumuranku. Lagi pula, malam itu, ibu dan bapakku tahu aku berada di rumah. Tapi yang tidak pernah kupikirkan adalah, tulisan di kertas itu memakai spidol besar. Di kampungku saat itu, spidol besar tidak dijual di toko-toko. Tidak sembarang orang memilikinya. Aku baru sadar kalau aku melakukan kebodohan ketika siang sepulang sekolah, ibu merapikan spidol besar dari laci dan menyimpannya di lemari, lalu dikunci. Saat itu, ibu menatapku tajam sekali.
Aku bahkan lupa nama asli Bido. Ia tinggal dengan emaknya di pinggir kampung, dekat sungai. Rumahnya kecil dan reyot. Mbok Nah, emak Bido, menafkahi diri dengan mencari kayu bakar dan daun jati yang dicari di hutan.
Awalnya, aku tidak begitu tahu kenapa Bido terlihat begitu perhatian kepadaku. Barulah ketika aku beranjak besar, aku mengumpulkan kabar-kabar yang bisa menyusun alasan itu.
Dulu, ibuku adalah wali kelas Bido di sekolah dasar. Tiba-tiba suatu saat, ibuku diberi tahu kalau Bido ditangkap karena dituduh mencuri kayu dari hutan. Ibuku marah sekali. Ia lalu ngeluruk pergi seorang diri ke kantor Perhutani untuk mengeluarkan Bido. Ibuku sangat yakin, Bido tidak bersalah. Bido hanya membantu emaknya mencari rencek, kayu bakar yang dipunguti dari dahan-dahan yang sudah jatuh ke tanah. Konon terjadi pertengkaran hebat di kantor Perhutani. Mungkin karena ibuku menangis, mungkin juga karena ibuku perempuan dan seorang guru sehingga para petugas Perhutani merasa malu, atau mungkin karena saat itu ibuku sedang hamil, hari itu juga Bido dikeluarkan dari tahanan polisi hutan yang terletak di kompleks kantor Perhutani. Aku adalah bayi yang dikandung ibuku saat ia ngeluruk ke kantor Perhutani itu.
Selepas peristiwa itu, Bido tidak lagi mau meneruskan sekolah. Ia keluar. Dan semenjak itu, ia tumbuh nyaris menghabiskan waktu di hutan membantu emaknya. Konon nama Bido diberikan kepadanya karena suatu saat, ia menangis di sepanjang jalan kampung, melempari dua pemburu yang datang dari kota karena menembak seekor bido, sejenis elang kecil, yang kerap bertengger di atas pohon sukun di belakang rumahnya. Bido menangis, melempar kedua pemburu itu dengan batu sambil berteriak, “Bidoku! Bidoku! Bidoku!”
Jauh di dalam hatiku, aku ingin sekali membalas pertolongan Bido. Dan itu terjadi ketika aku duduk di bangku sekolah menengah atas. Saat itu, aku harus sekolah di luar kampung, dan setiap akhir pekan aku pulang. Suatu saat, aku membawa pulang beberapa kaset film biru. Aku menontonnya dengan beberapa orang di kampung, termasuk Bido. Setelah itu, Bido sering bertanya kepadaku kapan lagi aku membawa film ohyes, begitu Bido menyebut film biru karena ada banyak kata ’oh yes’ di film itu. Beberapa kali aku menyewa film-film ohyes agar Bido senang.
Tetapi balas budi kepada Bido kurasa impas ketika suatu saat ia tertimpa masalah. Aku mendengar Bido digelandang ke kantor polisi karena dilaporkan oleh Haji Munawir. Bido dituduh mencuri rokok di toko kelontong Haji Munawir. Orang-orang kampung kemudian bisa meyakinkan pihak kepolisian kalau Bido tidak melakukannya sebab di malam kejadian, Bido tengah berjudi di desa sebelah. Tapi pengakuan dari orang-orang itu terlambat, Bido sudah telanjur dimasukkan ke sel berhari-hari, dan ia sudah telanjur malu. Begitu keluar dari sel, Bido mengasah parang, hampir melabrak Haji Munawir, tapi untunglah ada banyak orang yang melarang dan menghentikannya di tengah jalan. Yang membuatku tersentuh dan tiba-tiba merasa ikut terlibat adalah, ketika tengah mabuk arak di warung, Bido mengatakan betapa menderita emaknya yang sudah tua karena tuduhan itu.
Berminggu-minggu aku berpikir keras, sering pulang ke kampung walaupun tidak akhir pekan, mengamati sesuatu, membuat perhitungan di secarik kertas, dan menunggu. Hingga kemudian suatu malam, kupaparkan rencanaku kepada Bido.
Aku bilang, baru saja Haji Munawir menebar benih di kolam ikannya. Jika habis magrib Bido menutup saluran air yang menuju ke kolam, lalu membobol tanggulnya dengan lubang dua kepal tangan, maka tepat di tengah malam, kolam itu akan asat. Dan kalau ia menutup lubang itu lalu membuka lagi saluran air, maka menjelang pagi, kolam itu akan kembali tergenang air seperti sedia kala. Tapi kolam itu sudah kosong, tidak ada benih ikan lagi.
Hanya selang beberapa hari, Bido melakukan aksi itu dengan sukses. Butuh waktu lebih dari sebulan bagi Haji Munawir untuk menyadari bahwa kolamnya sudah tidak berisi ikan lagi. Tiap sore ia masih ke kolam menebarkan pakan ikan. Baru sebulan lebih kemudian, seluruh orang kampung melihat Haji Munawir meraung di sepanjang jalan, menangis, mengumpat dan berdoa.
Setelah kejadian itu, setiap aku bertemu Bido kami saling tersenyum penuh arti. Tetapi lagi-lagi aku melakukan kesalahan. Saat aku duduk di meja kamarku, ibu melempar kertas yang berisi coretan-coretan strategi menguras kolam itu. Coretan itu kusimpan di saku tas sekolahku, dan kali itu aku melemparkan tas itu di bak pakaian kotor. Seperti biasa, sebelum dicuci, ibu selalu memeriksa ulang adakah sesuatu yang tertinggal di pakaian-pakaian kotor. Kali itu, ibu bukan hanya memandangku tajam sekali, tetapi ada air yang berlinang di kedua pelupuk matanya.
Setelah aku kuliah dan bekerja, hanya sesekali saja aku bertemu Bido, terutama saat pulang kampung menjelang Lebaran. Beginilah kisah yang kudengar dan kuamati sepintas, terutama saat aku pulang.
Ketika emak Bido meninggal dunia, Bido menjual tanah dan rumah warisannya, lalu mendirikan warung kopi di dekat lapangan sepak bola. Ia menyekat warung kopinya menjadi dua, satu ruang untuk jualan kopi, satu ruang untuk berjudi. Segera warung kopi itu menjadi warung paling ramai di kampungku. Semua orang datang ke sana, juga para aparat keamanan. Dan beginilah yang khas dari Bido, ia duduk-duduk di atas lincak yang terletak di depan warungnya, dengan tenang menemui polisi atau tentara yang datang. Sementara itu, dua pekerja meladeni para pengunjung warung kopi dan mereka yang sedang berjudi. Saat itu, Bido selalu mengenakan sarung, berkopiah, dan memakai pakaian Korpri lengan panjang yang sudah mangkak, entah lungsuran dari siapa.
Tidak lama kemudian, di warung Bido tersedia arak. Warung itu semakin ramai saja oleh pembeli dan para penjudi. Bido tetap seperti biasa, menunggu warung dengan duduk-duduk di depan, tapi saat itu ia sudah mengganti ’seragamnya’ dengan kaus kepolisian berlengan panjang. Dan satu lagi, sebuah jam tangan melingkar di pergelangan tangannya. Hanya yang aneh, jam yang dikenakannya tidak jalan lagi alias mati.
Tak lama kemudian, desas-desus berkecamuk. Seusai reformasi, konon Bido ikut terlibat dalam pencurian kayu di hutan. Ketika nama-nama yang sering disebut berada di belakang aksi itu membangun rumah mewah dan membeli mobil, tidak ada yang berubah di diri Bido. Dan saat banyak pencuri tertangkap, para makelar kayu kehilangan rumah dan mobil mereka, para aparat yang terlibat dipecat dan dipindah, Bido masih tetap tenang di warung kopinya.
Bido juga disebut-sebut berada di belakang maraknya bisnis judi togel. Tapi ketika orang-orang penjaga togel berseliweran dengan memakai sepeda motor baru dan memegang telepon genggam, Bido masih anteng saja, tetap menunggu warung dan duduk tenang di atas lincak. Hanya lagi-lagi ’seragamnya’ yang berubah, ia memakai jaket doreng ala tentara. Saat para penjaga togel lari ketakutan karena operasi judi besar-besaran terjadi, Bido hanya cukup menutup bilik judinya.
Selentingan terakhir yang kudengar tentang Bido adalah saat ia diduga terlibat mensponsori seorang calon bupati dalam pemilihan langsung di daerahku. Siapa pun yang tidak mengikuti Bido secara langsung, mungkin akan menepis tudingan itu, termasuk aku. Bagaimana mungkin seorang yang hanya memiliki warung kopi dan arak bisa ikut mensponsori pencalonan seorang bupati? Tapi banyak orang yang bilang, bahwa tandonan uang Bido sejak terlibat pencurian kayu sampai togel menumpuk, dan semua dipakai untuk urusan pencalonan itu.
Jago Bido kalah. Konon karena kekalahan itulah Bido gampang uring-uringan. Warung kopinya mulai sepi, dua orang yang membantunya di warung kopi keluar karena tidak tahan diomeli Bido. Warung kopi Bido semakin sepi ketika bermunculan warung-warung kopi lain yang memadukan antara warung kopi dengan meja biliar dan playstation. Bido kemudian jatuh sakit lalu meninggal dunia.
Menjelang magrib, ibu menghampiriku. Ia menyorongkan handuk dan kain sarung, sambil berpesan singkat, “Cepat mandi. Nanti kamu ya yang mimpin tahlilan untuk Bido….”
Aku terkejut. Tapi kemudian aku teringat sesuatu. Bido tidak punya istri dan kerabat. Aku melupakan rasa terkejutku dan segera bertanya ke ibu, di mana tahlilan akan dilaksanakan?
“Di sini,” jawab ibu singkat. Sepasang mata ibu menatapku, tapi kali ini tidak tajam lagi….
Sore ini, ibuku tidak banyak bicara. Ia hanya membuatkanku kopi, memasukkan tasku ke kamar, dan membiarkanku sendirian di teras samping. Ia tahu untuk apa aku pulang, tapi tidak bertanya mengapa aku terlambat mengikuti pemakaman. Aku juga tidak sempat bertanya, mengapa di dapur ada banyak orang, tikar tergelar di ruang tamu dan beranda depan. Mungkin akan ada arisan.
Aku bahkan tidak tahu persis apakah aku benar-benar kenal Bido dengan baik atau tidak. Aku jarang berbicara dengannya, semakin jarang ketika aku sudah tidak tinggal di kampung lagi. Tapi tidak bisa kumungkiri, ada beberapa peristiwa di masa laluku yang membuatku merasa mempunyai hubungan khusus dengannya.
Dua puluhan tahun yang lalu, untuk pertama kalinya aku merasa dikhianati teman-teman sepermainanku. Saat itu, aku baru duduk di kelas lima sekolah dasar. Jauh hari, aku dan teman-teman sebayaku merancang untuk menonton wayang kulit di kota lain yang jaraknya 60-an kilometer dari kampungku. Dalangnya, Ki Manteb Sudarsono. Semua rencana sudah matang. Tapi tepat di sore hari saat kami seharusnya berkumpul di pertigaan jalan besar untuk bersama mencegat angkutan, tidak ada seorang pun yang datang. Padahal aku telah membayar mahal rencana itu karena sore sebelumnya, aku merengek meminta izin orangtuaku untuk tidak ikut piknik bareng mereka ke Bali. Sore itu, aku bertekad untuk berangkat sendirian dengan rasa marah.
Tepat di saat aku hampir melambaikan tangan ke sebuah angkutan yang terlihat dari jauh, seseorang menyapaku. Aku menoleh. Orang itu bernama Bido. Umurnya jauh lebih tua dari umurku. Tahu kalau aku akan berangkat sendirian dan tahu kalau aku tidak mungkin membatalkan rencanaku, ia langsung ikut nangkring di atas angkutan. Saat aku tanya ia hendak ke mana, ia menjawab ingin menemaniku. Rasa ragu bepergian jauh dan sendirian, tidak punya famili dan teman di kota tujuan, mendadak rampung jadi pikiran begitu Bido menemaniku.
Malam itu akhirnya aku menonton sampai tuntas pagelaran wayang yang sudah kutunggu- tunggu. Malam itu pula, aku merasa seperti laki-laki yang sudah dewasa. Tidak jauh dari si dalang, aku kelepas-kelepus merokok, bahkan Bido memberiku segelas kopi yang sudah dicampur dengan sedikit arak, supaya aku tidak masuk angin karena pagelaran itu diadakan tepat di bibir pantai. Itulah kali pertama aku minum arak.
Tapi saat itu bukan kali pertama aku merasa ditolong oleh Bido. Beberapa tahun sebelumnya, Bido juga mengulurkan tangannya, memberi jalan kepadaku untuk melakukan sesuatu.
Saat itu ada lomba catur menjelang tujuh belasan di kampung. Malam itu aku masuk babak final. Musuhku bernama Anton, anak seorang mantri suntik yang baru saja pindah ke kampungku. Ia kelas enam dan aku baru kelas tiga kalau tidak kelas dua. Aku yakin aku pasti menang di pertandingan itu. Tapi malam itu, orang-orang berpihak kepada Anton. Mereka itu ada Pak Camat, Pak Lurah, beberapa polisi dan tentara, ada juga guru ngajiku, semua memihak Anton. Aku menduga karena bapak Anton juga menonton. Berkali-kali, Anton mengulang langkah. Kalau aku berpikir lama, mereka menyuruhku cepat-cepat melangkah, kalau Anton berpikir lama, mereka sibuk mengajarinya. Aku kalah. Aku hanya bisa membalas ketika di malam resepsi para pemenang diundang naik ke panggung, aku malah pergi. Ibu yang mengambilkan hadiahku. Begitu sampai di rumah, ketika hadiah itu diulungkan kepadaku, aku membantingnya. Ibuku hanya diam dan mengelus-elus rambutku, lalu membuatkanku mi goreng dan telor gulung kesukaanku.
Kemarahanku kepada Anton mereda ketika suatu saat, sepulang sekolah, Bido mencegatku. Ia membisiki sesuatu. Segera aku berlari ke rumah. Malamnya, aku tidak bisa tidur.
Pagi harinya, kampung kami geger. Di halaman depan rumah yang disewa keluarga Anton terdapat pohon nangka yang sedang berbuah. Dan di pohon itu ada buah nangka besar yang terpotong separuh. Di dekat buah yang terpotong itu, ada kertas tertempel dengan bunyi: Njaluk nangkamu separo, ya!
Bukan pencurian nangka yang membuat geger, tapi pencurian nangka dengan tulisan di pohonlah yang membuat geger. Peristiwa seperti itu baru terjadi pertama kali di kampungku. Aku semestinya merasa aman. Pohon itu terlalu tinggi untuk kunaiki. Buah yang hilang separuh itu juga terlalu besar untuk dibawa oleh anak seumuranku. Lagi pula, malam itu, ibu dan bapakku tahu aku berada di rumah. Tapi yang tidak pernah kupikirkan adalah, tulisan di kertas itu memakai spidol besar. Di kampungku saat itu, spidol besar tidak dijual di toko-toko. Tidak sembarang orang memilikinya. Aku baru sadar kalau aku melakukan kebodohan ketika siang sepulang sekolah, ibu merapikan spidol besar dari laci dan menyimpannya di lemari, lalu dikunci. Saat itu, ibu menatapku tajam sekali.
Aku bahkan lupa nama asli Bido. Ia tinggal dengan emaknya di pinggir kampung, dekat sungai. Rumahnya kecil dan reyot. Mbok Nah, emak Bido, menafkahi diri dengan mencari kayu bakar dan daun jati yang dicari di hutan.
Awalnya, aku tidak begitu tahu kenapa Bido terlihat begitu perhatian kepadaku. Barulah ketika aku beranjak besar, aku mengumpulkan kabar-kabar yang bisa menyusun alasan itu.
Dulu, ibuku adalah wali kelas Bido di sekolah dasar. Tiba-tiba suatu saat, ibuku diberi tahu kalau Bido ditangkap karena dituduh mencuri kayu dari hutan. Ibuku marah sekali. Ia lalu ngeluruk pergi seorang diri ke kantor Perhutani untuk mengeluarkan Bido. Ibuku sangat yakin, Bido tidak bersalah. Bido hanya membantu emaknya mencari rencek, kayu bakar yang dipunguti dari dahan-dahan yang sudah jatuh ke tanah. Konon terjadi pertengkaran hebat di kantor Perhutani. Mungkin karena ibuku menangis, mungkin juga karena ibuku perempuan dan seorang guru sehingga para petugas Perhutani merasa malu, atau mungkin karena saat itu ibuku sedang hamil, hari itu juga Bido dikeluarkan dari tahanan polisi hutan yang terletak di kompleks kantor Perhutani. Aku adalah bayi yang dikandung ibuku saat ia ngeluruk ke kantor Perhutani itu.
Selepas peristiwa itu, Bido tidak lagi mau meneruskan sekolah. Ia keluar. Dan semenjak itu, ia tumbuh nyaris menghabiskan waktu di hutan membantu emaknya. Konon nama Bido diberikan kepadanya karena suatu saat, ia menangis di sepanjang jalan kampung, melempari dua pemburu yang datang dari kota karena menembak seekor bido, sejenis elang kecil, yang kerap bertengger di atas pohon sukun di belakang rumahnya. Bido menangis, melempar kedua pemburu itu dengan batu sambil berteriak, “Bidoku! Bidoku! Bidoku!”
Jauh di dalam hatiku, aku ingin sekali membalas pertolongan Bido. Dan itu terjadi ketika aku duduk di bangku sekolah menengah atas. Saat itu, aku harus sekolah di luar kampung, dan setiap akhir pekan aku pulang. Suatu saat, aku membawa pulang beberapa kaset film biru. Aku menontonnya dengan beberapa orang di kampung, termasuk Bido. Setelah itu, Bido sering bertanya kepadaku kapan lagi aku membawa film ohyes, begitu Bido menyebut film biru karena ada banyak kata ’oh yes’ di film itu. Beberapa kali aku menyewa film-film ohyes agar Bido senang.
Tetapi balas budi kepada Bido kurasa impas ketika suatu saat ia tertimpa masalah. Aku mendengar Bido digelandang ke kantor polisi karena dilaporkan oleh Haji Munawir. Bido dituduh mencuri rokok di toko kelontong Haji Munawir. Orang-orang kampung kemudian bisa meyakinkan pihak kepolisian kalau Bido tidak melakukannya sebab di malam kejadian, Bido tengah berjudi di desa sebelah. Tapi pengakuan dari orang-orang itu terlambat, Bido sudah telanjur dimasukkan ke sel berhari-hari, dan ia sudah telanjur malu. Begitu keluar dari sel, Bido mengasah parang, hampir melabrak Haji Munawir, tapi untunglah ada banyak orang yang melarang dan menghentikannya di tengah jalan. Yang membuatku tersentuh dan tiba-tiba merasa ikut terlibat adalah, ketika tengah mabuk arak di warung, Bido mengatakan betapa menderita emaknya yang sudah tua karena tuduhan itu.
Berminggu-minggu aku berpikir keras, sering pulang ke kampung walaupun tidak akhir pekan, mengamati sesuatu, membuat perhitungan di secarik kertas, dan menunggu. Hingga kemudian suatu malam, kupaparkan rencanaku kepada Bido.
Aku bilang, baru saja Haji Munawir menebar benih di kolam ikannya. Jika habis magrib Bido menutup saluran air yang menuju ke kolam, lalu membobol tanggulnya dengan lubang dua kepal tangan, maka tepat di tengah malam, kolam itu akan asat. Dan kalau ia menutup lubang itu lalu membuka lagi saluran air, maka menjelang pagi, kolam itu akan kembali tergenang air seperti sedia kala. Tapi kolam itu sudah kosong, tidak ada benih ikan lagi.
Hanya selang beberapa hari, Bido melakukan aksi itu dengan sukses. Butuh waktu lebih dari sebulan bagi Haji Munawir untuk menyadari bahwa kolamnya sudah tidak berisi ikan lagi. Tiap sore ia masih ke kolam menebarkan pakan ikan. Baru sebulan lebih kemudian, seluruh orang kampung melihat Haji Munawir meraung di sepanjang jalan, menangis, mengumpat dan berdoa.
Setelah kejadian itu, setiap aku bertemu Bido kami saling tersenyum penuh arti. Tetapi lagi-lagi aku melakukan kesalahan. Saat aku duduk di meja kamarku, ibu melempar kertas yang berisi coretan-coretan strategi menguras kolam itu. Coretan itu kusimpan di saku tas sekolahku, dan kali itu aku melemparkan tas itu di bak pakaian kotor. Seperti biasa, sebelum dicuci, ibu selalu memeriksa ulang adakah sesuatu yang tertinggal di pakaian-pakaian kotor. Kali itu, ibu bukan hanya memandangku tajam sekali, tetapi ada air yang berlinang di kedua pelupuk matanya.
Setelah aku kuliah dan bekerja, hanya sesekali saja aku bertemu Bido, terutama saat pulang kampung menjelang Lebaran. Beginilah kisah yang kudengar dan kuamati sepintas, terutama saat aku pulang.
Ketika emak Bido meninggal dunia, Bido menjual tanah dan rumah warisannya, lalu mendirikan warung kopi di dekat lapangan sepak bola. Ia menyekat warung kopinya menjadi dua, satu ruang untuk jualan kopi, satu ruang untuk berjudi. Segera warung kopi itu menjadi warung paling ramai di kampungku. Semua orang datang ke sana, juga para aparat keamanan. Dan beginilah yang khas dari Bido, ia duduk-duduk di atas lincak yang terletak di depan warungnya, dengan tenang menemui polisi atau tentara yang datang. Sementara itu, dua pekerja meladeni para pengunjung warung kopi dan mereka yang sedang berjudi. Saat itu, Bido selalu mengenakan sarung, berkopiah, dan memakai pakaian Korpri lengan panjang yang sudah mangkak, entah lungsuran dari siapa.
Tidak lama kemudian, di warung Bido tersedia arak. Warung itu semakin ramai saja oleh pembeli dan para penjudi. Bido tetap seperti biasa, menunggu warung dengan duduk-duduk di depan, tapi saat itu ia sudah mengganti ’seragamnya’ dengan kaus kepolisian berlengan panjang. Dan satu lagi, sebuah jam tangan melingkar di pergelangan tangannya. Hanya yang aneh, jam yang dikenakannya tidak jalan lagi alias mati.
Tak lama kemudian, desas-desus berkecamuk. Seusai reformasi, konon Bido ikut terlibat dalam pencurian kayu di hutan. Ketika nama-nama yang sering disebut berada di belakang aksi itu membangun rumah mewah dan membeli mobil, tidak ada yang berubah di diri Bido. Dan saat banyak pencuri tertangkap, para makelar kayu kehilangan rumah dan mobil mereka, para aparat yang terlibat dipecat dan dipindah, Bido masih tetap tenang di warung kopinya.
Bido juga disebut-sebut berada di belakang maraknya bisnis judi togel. Tapi ketika orang-orang penjaga togel berseliweran dengan memakai sepeda motor baru dan memegang telepon genggam, Bido masih anteng saja, tetap menunggu warung dan duduk tenang di atas lincak. Hanya lagi-lagi ’seragamnya’ yang berubah, ia memakai jaket doreng ala tentara. Saat para penjaga togel lari ketakutan karena operasi judi besar-besaran terjadi, Bido hanya cukup menutup bilik judinya.
Selentingan terakhir yang kudengar tentang Bido adalah saat ia diduga terlibat mensponsori seorang calon bupati dalam pemilihan langsung di daerahku. Siapa pun yang tidak mengikuti Bido secara langsung, mungkin akan menepis tudingan itu, termasuk aku. Bagaimana mungkin seorang yang hanya memiliki warung kopi dan arak bisa ikut mensponsori pencalonan seorang bupati? Tapi banyak orang yang bilang, bahwa tandonan uang Bido sejak terlibat pencurian kayu sampai togel menumpuk, dan semua dipakai untuk urusan pencalonan itu.
Jago Bido kalah. Konon karena kekalahan itulah Bido gampang uring-uringan. Warung kopinya mulai sepi, dua orang yang membantunya di warung kopi keluar karena tidak tahan diomeli Bido. Warung kopi Bido semakin sepi ketika bermunculan warung-warung kopi lain yang memadukan antara warung kopi dengan meja biliar dan playstation. Bido kemudian jatuh sakit lalu meninggal dunia.
Menjelang magrib, ibu menghampiriku. Ia menyorongkan handuk dan kain sarung, sambil berpesan singkat, “Cepat mandi. Nanti kamu ya yang mimpin tahlilan untuk Bido….”
Aku terkejut. Tapi kemudian aku teringat sesuatu. Bido tidak punya istri dan kerabat. Aku melupakan rasa terkejutku dan segera bertanya ke ibu, di mana tahlilan akan dilaksanakan?
“Di sini,” jawab ibu singkat. Sepasang mata ibu menatapku, tapi kali ini tidak tajam lagi….
Puthut EA
0 komentar:
Posting Komentar