Aku dikagetkan oleh suara batu yang dilempar ke pinggir kolam, di samping tempatku duduk mencangkung mengamati ikan-ikan. Aku menoleh ke belakang, dan melihat Mas Burhan tersenyum lebar. Akhirnya, ia bangun juga dari tidurnya. Tanpa basa-basi, bahkan setelah lama tidak jumpa, dari mulutnya keluar kalimat tantangan, “Kamu mau berburu hiu atau berburu beruang?”
Aku diam sejenak, lalu menjawab, “Kita berburu beruang saja.”
“Ah, kalau gitu, tunggu apa lagi! Bikinlah tombak untuk dua orang, aku mau cuci muka dulu!”
Mas Burhan segera pergi ke belakang gubuk, tempat ia tadi terlelap tidur, menuju pancuran air untuk mencuci muka. Aku segera bangkit dengan agak malas, mengambil parang yang terselip di dinding gubuk, lalu mencari dua batang bambu, membuat dua tombak tajam. Begitu tombak jadi, kulempar satu tombak ke arah Mas Burhan. Segera, kami bergerak memasuki rimbun pohon pisang dan gerumbul bambu, berburu beruang.
Kaki kami pelan berjingkat, mata kami waspada. Daya penciumanku kupertajam, mencoba mengendus beruang. Tiba-tiba tangan Mas Burhan memberi isyarat, laki-laki berumur hampir enam puluh tahun itu menggerak-gerakkan tangan kirinya, memberi tahu kalau seekor beruang besar sedang akan lewat di balik gerumbul pohon pisang tidak jauh dari tempat kami berada.
Kami berdua segera melompat cepat ke arah gerumbul itu. Aku mengintip dari sela-sela batang- batang pisang, dan aku melihat seekor beruang besar sedang asyik makan. Tanganku segera memberi arahan bahwa kami harus berpencar dari arah yang berbeda. Laki-laki dengan rambut sebahu itu melompat dari satu tempat ke tempat lain dengan lincah.
Beruang besar itu membelakangi kami. Aku di sebelah belakang agak ke samping kiri, sedangkan Mas Burhan berada di sebelah belakang agak ke sisi kanan. Dadaku bertalu keras. Tangan Mas Burhan memberi isyarat, hitungan maju. Hatiku semakin deg-degan. Tepat di hitungan ketiga, kami melompat bersama dan menghunjamkan tombak-tombak kami ke tubuh beruang besar itu. Tepat di saat itu, kami berteriak keras-keras. Teriakan Mas Burhan keras, melengking, memekakkan telinga seperti ingin mengeluarkan semua beban yang disangganya.
Tombakku tepat mengenai lambung sebelah kiri beruang, sedangkan tombak Mas Burhan menancap di tengkuk binatang raksasa dan buas itu. Beruang itu melenguh keras. Tetapi beruang itu segera meliuk, Mas Burhan terpelanting sementara tombaknya tertancap kuat. Aku segera mencabut tombakku, bersiap menghadapi serangan balasan si beruang.
Benar, beruang itu segera berbalik dan menghadapiku. Sepasang matanya memerah. Binatang mengerikan itu membuka mulut, mempertontonkan barisan giginya yang tajam, dan sepasang kaki depannya terangkat, menunjukkan tajam deretan cakar. Lalu binatang itu mengeluarkan auman yang menggiriskan. Nyaliku segera ciut.
Tahu kalau aku gentar dan kalah mental menghadapi beruang itu, Mas Burhan melompat ke arahku sambil mencopot kausnya. Ia melambai-lambaikan kaus itu, seperti menggoda si binatang. Aku segera berlari menjauhi pantat Mas Burhan, lalu langkah kakiku kubuat sepelan mungkin, berjingkat, menjauh lewat gerumbul bambu, memutar, kemudian berada di belakang beruang besar yang siap menyerang Mas Burhan. Tepat di detik yang menentukan itu, aku melompat dan berteriak kencang, mendahului gerakan si beruang. Tusukanku tepat berada di lambung sebelah kanan, dan aku segera mencabut lagi tombakku. Tapi sayang, tusukan tombakku terlampau kuat, aku gagal mencabutnya, dan beruang itu kembali menggeliat dengan cepat. Aku terjatuh kena kibasan beruang.
Mampus ini, batinku. Beruang itu segera menghadap ke arahku lagi. Mas Burhan segera melompat di depanku lagi, sambil terus memutar-mutar kausnya. “Goblok! Mampus kita!”
“Terus bagaimana, Mas?!” tanyaku.
“Lari, kamu! Bikin tombak lagi! Beruang itu akan mengejarku, dan aku akan naik ke pohon ketapang. Sebelum ia merobohkan ketapang itu atau berhasil menyusulku naik, kamu tombak lehernya. Tepat di lehernya! Jelas kamu?!”
“Jelas, Mas!” usai mengucapkan kalimat itu, aku langsung melompat, lari menjauh dari tempat pertempuran itu dengan cepat membuat lagi sebuah tombak. Saat aku balik lagi ke tempat pertempuran itu, Mas Burhan sudah berada di atas pohon ketapang. Sementara itu, si beruang sedang berusaha memanjat pohon itu. Tetapi tampaknya binatang itu tidak berhasil. Namun kemudian binatang yang marah dan terluka itu menemukan cara yang jitu, pohon ketapang yang belum begitu besar itu, ditabraknya berkali-kali, sehingga pohon itu terancam rubuh.
“Mati aku!” begitu selalu ucapan yang kudengar, setiap kali tubuh beruang itu menggetarkan pohon ketapang. Mungkin hanya butuh tiga kali benturan lagi, pohon itu pasti tumbang.
Dengan agak ragu, aku mendekati pohon ketapang itu, bersembunyi dari balik pohon pisang yang satu ke pohon pisang yang lain.
Tepat di saat beruang itu mundur, mengambil ancang-ancang, aku segera berlari menuju pohon ketapang sambil mengacungkan tombakku. Tubuhku gemetar. Tombak yang kupasang juga gemetar. Tahu kalau aku grogi dan pucat berhadapan dengan binatang itu, Mas Burhan berteriak, “Kamu jangan sok pahlawan! Kalau kamu gemetar, kamu pasti kalah! Kamu pasti mati!”
“Jadi bagaimana solusinya?” tanyaku semakin panik.
“Kamu ingat dan perhatikan nasihatku,” suara Mas Burhan terdengar berbisik, “taruh tombakmu di tanah. Tatap mata binatang itu! Kuatkan hatimu, kamu bisa mengalahkannya. Begitu jahanam itu marah, saat kedua kaki depannya hendak mengerkahmu, saat itulah kamu hunjamkan tombakmu ke lehernya. Jelas?”
Aku mengangguk. Tetapi hatiku tetap kacau. Lalu aku mengambil napas dalam-dalam, dan segera melakukan segala sesuatu seperti yang dibilang Mas Burhan. Tombak kuletakkan di atas tanah.
Sepasang mata bintang itu menatapku dengan tajam. Sepasang mataku berusaha membalas tajam tatapan beruang itu. Di dalam hati, aku mengatakan kalau aku bisa mengalahkan binatang ini. Beruang itu mengaum. Dengan segera, ia melabrakku.
Aku mencoba tidak grogi ketika binatang itu semakin mendekatiku. Dan tetap berusaha tidak grogi ketika beruang itu mulai mengangkat kedua kaki depannya. Di saat yang kupikir tepat, aku membungkuk, menyahut tombakku, kuhunjamkan keras-keras ke arah lehernya.
Semua serba cepat. Hunjamanku tepat. Aku segera menyandarkan tombakku ke pohon ketapang. Semakin beruang itu berusaha menjamahku, semakin dalam ujung tombakku menghunjam lehernya. Tahu kalau aku berhasil, Mas Burhan turun cepat. Ia lalu mencabut tombak yang berada di punggung binatang itu, lalu menghunjamkan ke arah leher beruang.
Kami menunggu beruang itu sesaat. Ketika sudah tidak ada tenaganya lagi, kami dorong tubuh binatang itu dari arah samping. Rubuhlah tubuh besar beruang itu. Segera tubuh beruang itu kami kuliti, dagingnya kami potong-potong, lalu kami talikan potongan-potongan daging segar itu di tombak kami. Kami keluar dari hutan itu dengan langkah tegap.
Begitu keluar dari gerumbul pohon bambu dan pisang, kami disambut oleh Pak Bari dengan tertawa. “Dikubur saja!” kata Pak Bari.
“Jangan, untuk makan malam,” tukas Mas Burhan.
“Ada cakalang bakar dan ikan asin keropa untuk makan malam,” jawab Pak Bari enteng.
“Kamu yang bawa?” tanya Mas Burhan sambil menoleh ke arahku. Aku mengangguk.
“Kalau begitu, kita kubur saja binatang ini.” Sambil berkata begitu, Mas Burhan meletakkan pikulannya. Aku mengikuti perkataannya. Lalu ia mengambil cangkul yang berada di dekat gubuk, dan ia mencangkul, kemudian kami berdua menanam potongan- potongan tubuh beruang.
Sesungguhnya, yang kami tanam adalah potongan-potongan pohon pisang. Wajah Mas Burhan tampak puas setelah kami usai bermain-main imajinasi ‘berburu beruang’. Keringat berleleran di wajahnya yang memerah.
Selesai mengubur ‘daging beruang’ itu, kami melangkah pergi. Sepasang mataku melirik ke arah kolam ikan, dan sebuah rakit kecil yang terbuat dari batangan-batangan bambu. Kalau tadi aku memilih ‘berburu hiu’, kami akan berada di kolam itu. Rakit itu akan kami anggap perahu, dan kolam itu kami anggap samudra. Kami berdua pasti akan basah kuyup. Aku sedang enggan berbasah-basah.
Kami langsung menuju gubuk yang lebih besar lagi. Pak Bari segera menata piring. Segera, kami bertiga makan dengan lahap. Aku merasa lega. Misi kedatanganku berhasil dengan memuaskan: Mas Burhan mau makan lagi.
Tiga hari yang lalu, aku masih berada di sebuah pulau yang indah untuk mengikuti sebuah kegiatan. Lalu telepon datang dari Mbak Narni, istri Mas Burhan. Ia mengatakan kalau Mas Burhan sedang kumat lagi. Berhari-hari, ia tidak mau pulang dari ladang, dan menurut laporan Pak Bari, Mas Burhan tidak mau makan. “Kalau selesai tugasmu, jenguklah dia,” singkat pesan Mbak Narni.
Banyak orang yang melihat Mas Burhan hanya dari satu sisi. Begitu selalu yang kudengar setiap kali ada orang membicarakan Mas Burhan. Ia selalu disemati oleh julukan-julukan yang aduhai, mulai dari dicap sebagai ‘pembangkang sepanjang umur’ sampai dijuluki sebagai ‘pendekar subversif’. Memang julukan itu bukan tanpa alasan. Dari mulai menginjakkan kuliah, ia sudah mencicipi ikut ontran-ontran Malari. Dan semenjak itu, kakinya sudah tertanam kuat di lahan yang disebut sebagai dunia pergerakan.
Di belantara dunia aktivis, jarang ada yang tahan uji lebih dari 30 tahun untuk terus melawan. Salah satunya, Mas Burhan. Model perlawanannya pun tidak pernah berubah. Tidak pernah masuk ke dalam sistem, tidak pernah dekat-dekat dengan kekuasaan. Ia berada di banyak tempat, berkeliling, mengajar dan menemani banyak sektor masyarakat. “Aja cedhak kebo gupak…” begitu pesan yang selalu dikatakan kepada orang-orang yang lebih muda, berhubungan dengan kekuasaan. Nyalinya luar biasa, dan staminanya mencengangkan. Ia punya daya hidup yang terus memancar, seperti halnya para pembangkang yang tidak pernah takluk.
Banyak orang yang memujinya, dan cenderung memitoskannya. Semua yang berhubungan dengan Mas Burhan, selalu penuh dengan gula-gula. Ia mengidap malaria karena pernah lama di tanah Papua, banyak orang melihat hal itu sebagai sesuatu yang seksi. Ia selalu kekurangan uang karena jika punya uang selalu dipakai untuk kegiatan sosial, orang-orang selalu menyebut hal itu keren. Ia tidak punya rumah dan keluarganya selalu berpindah-pindah kontrakan, dan orang berdecak mengatakan hebat.
Hingga kira-kira lima tahun yang lalu, ia memanggil beberapa orang termasuk aku, untuk mendengar keluh kesahnya: ia merasa berdosa dengan keluarganya yang sejak lama jarang ditemaninya.
Mendengar keluhan itu, aku hanya punya komentar pendek dan langsung kuutarakan, “Wis wayahe mesanggrah, madeg pandhita, Mas.”
Akhirnya Mas Burhan memutuskan untuk mesanggrah dan madeg pandhita beneran. Dengan dibantu teman-teman dekatnya, ia membeli tanah di sebuah kampung, mengelola pertanian. Tidak jauh dari tanahnya yang cukup luas itu, ia mendirikan rumah sederhana. Semenjak itu, ia tidak pernah bepergian lagi. Ia mendampingi warga kampung untuk melakukan pertanian organik.
Tetapi setiap kali ada peristiwa yang mengganggu pikirannya, ia kumat lagi. Seperti saat terjadi kenaikan BBM pada tahun 2005. Ia tidak mau makan berhari-hari. Juga ketika terjadi kenaikan BBM di tahun ini. Berhari-hari ia berada di ladang, tidak mau makan dan emoh pulang.
Seperti halnya tiga tahun lalu, setelah akhirnya senja ini ia mau makan, sambil duduk-duduk, ia mengeluarkan semua unek- uneknya. Ia nyerocos soal pangan, air, dan BBM. Dan dari dulu, ia selalu menekankan tiga hal: imajinasi, daya hidup, dan daya cipta. “Latihlah terus imajinasimu, perkuat daya hidupmu, dan terus asahlah daya ciptamu. Kamu boleh terdesak, boleh mundur, tapi kalau kamu punya tiga hal itu, kamu tidak akan mudah ditaklukkan!”
Suaranya terus bergema, seakan tidak pernah lelah dan tidak butuh jeda. Begitu terus sampai larut, sampai ia terlihat lega. Aku berharap, seperti beberapa tahun yang lalu, ia kemudian tertidur dan keesokan harinya mengajak pulang ke rumah.
Tetapi kali ini sepertinya tidak. Karena tiba-tiba ia terdiam, menajamkan telinganya, dan berkata, “Kekasih beruang itu marah dan merusak kampung….”
Mampus, batinku. Bakal ada olahraga malam….
“Pak Bari…,” Mas Burhan memanggil nama orang yang menjaga ladangnya.
Tetapi dengan cepat Pak Bari menyahut, “Harus dikejar, Pak! Kalau tidak, kasihan orang-orang kampung. Aku akan menanak nasi lagi supaya nanti saat selesai berburu, makanan sudah siap.”
Pak Bari melirik dan tersenyum kepadaku. Aku tersenyum kecut, orang tua itu sudah segera mencari posisi aman.
“Bagaimana?” tanya Mas Burhan ke arahku.
“Harus kita kejar, Mas!” aku tidak punya dalih.
“Bagus! Kenapa tidak segera bangkit dan menyiapkan dua tombak yang panjang dan tajam?”
Aku segera bangkit, keluar, sambil terus merutuk di dalam hati. Malam itu, seperti dua orang anak kecil, kami menembus malam, mendekati gerumbul bambu dan pisang. Kembali berlarian, berteriak di dalam ladang. Memburu seekor beruang.
Malam itu, setiap kali tombak Mas Burhan menancap kuat di tubuh beruang, maksudku batang pisang, ia berteriak keras. Seperti mengeluarkan dendam. Seperti menancapkan serangan maut ke jantung kekuasaan….
Aku diam sejenak, lalu menjawab, “Kita berburu beruang saja.”
“Ah, kalau gitu, tunggu apa lagi! Bikinlah tombak untuk dua orang, aku mau cuci muka dulu!”
Mas Burhan segera pergi ke belakang gubuk, tempat ia tadi terlelap tidur, menuju pancuran air untuk mencuci muka. Aku segera bangkit dengan agak malas, mengambil parang yang terselip di dinding gubuk, lalu mencari dua batang bambu, membuat dua tombak tajam. Begitu tombak jadi, kulempar satu tombak ke arah Mas Burhan. Segera, kami bergerak memasuki rimbun pohon pisang dan gerumbul bambu, berburu beruang.
Kaki kami pelan berjingkat, mata kami waspada. Daya penciumanku kupertajam, mencoba mengendus beruang. Tiba-tiba tangan Mas Burhan memberi isyarat, laki-laki berumur hampir enam puluh tahun itu menggerak-gerakkan tangan kirinya, memberi tahu kalau seekor beruang besar sedang akan lewat di balik gerumbul pohon pisang tidak jauh dari tempat kami berada.
Kami berdua segera melompat cepat ke arah gerumbul itu. Aku mengintip dari sela-sela batang- batang pisang, dan aku melihat seekor beruang besar sedang asyik makan. Tanganku segera memberi arahan bahwa kami harus berpencar dari arah yang berbeda. Laki-laki dengan rambut sebahu itu melompat dari satu tempat ke tempat lain dengan lincah.
Beruang besar itu membelakangi kami. Aku di sebelah belakang agak ke samping kiri, sedangkan Mas Burhan berada di sebelah belakang agak ke sisi kanan. Dadaku bertalu keras. Tangan Mas Burhan memberi isyarat, hitungan maju. Hatiku semakin deg-degan. Tepat di hitungan ketiga, kami melompat bersama dan menghunjamkan tombak-tombak kami ke tubuh beruang besar itu. Tepat di saat itu, kami berteriak keras-keras. Teriakan Mas Burhan keras, melengking, memekakkan telinga seperti ingin mengeluarkan semua beban yang disangganya.
Tombakku tepat mengenai lambung sebelah kiri beruang, sedangkan tombak Mas Burhan menancap di tengkuk binatang raksasa dan buas itu. Beruang itu melenguh keras. Tetapi beruang itu segera meliuk, Mas Burhan terpelanting sementara tombaknya tertancap kuat. Aku segera mencabut tombakku, bersiap menghadapi serangan balasan si beruang.
Benar, beruang itu segera berbalik dan menghadapiku. Sepasang matanya memerah. Binatang mengerikan itu membuka mulut, mempertontonkan barisan giginya yang tajam, dan sepasang kaki depannya terangkat, menunjukkan tajam deretan cakar. Lalu binatang itu mengeluarkan auman yang menggiriskan. Nyaliku segera ciut.
Tahu kalau aku gentar dan kalah mental menghadapi beruang itu, Mas Burhan melompat ke arahku sambil mencopot kausnya. Ia melambai-lambaikan kaus itu, seperti menggoda si binatang. Aku segera berlari menjauhi pantat Mas Burhan, lalu langkah kakiku kubuat sepelan mungkin, berjingkat, menjauh lewat gerumbul bambu, memutar, kemudian berada di belakang beruang besar yang siap menyerang Mas Burhan. Tepat di detik yang menentukan itu, aku melompat dan berteriak kencang, mendahului gerakan si beruang. Tusukanku tepat berada di lambung sebelah kanan, dan aku segera mencabut lagi tombakku. Tapi sayang, tusukan tombakku terlampau kuat, aku gagal mencabutnya, dan beruang itu kembali menggeliat dengan cepat. Aku terjatuh kena kibasan beruang.
Mampus ini, batinku. Beruang itu segera menghadap ke arahku lagi. Mas Burhan segera melompat di depanku lagi, sambil terus memutar-mutar kausnya. “Goblok! Mampus kita!”
“Terus bagaimana, Mas?!” tanyaku.
“Lari, kamu! Bikin tombak lagi! Beruang itu akan mengejarku, dan aku akan naik ke pohon ketapang. Sebelum ia merobohkan ketapang itu atau berhasil menyusulku naik, kamu tombak lehernya. Tepat di lehernya! Jelas kamu?!”
“Jelas, Mas!” usai mengucapkan kalimat itu, aku langsung melompat, lari menjauh dari tempat pertempuran itu dengan cepat membuat lagi sebuah tombak. Saat aku balik lagi ke tempat pertempuran itu, Mas Burhan sudah berada di atas pohon ketapang. Sementara itu, si beruang sedang berusaha memanjat pohon itu. Tetapi tampaknya binatang itu tidak berhasil. Namun kemudian binatang yang marah dan terluka itu menemukan cara yang jitu, pohon ketapang yang belum begitu besar itu, ditabraknya berkali-kali, sehingga pohon itu terancam rubuh.
“Mati aku!” begitu selalu ucapan yang kudengar, setiap kali tubuh beruang itu menggetarkan pohon ketapang. Mungkin hanya butuh tiga kali benturan lagi, pohon itu pasti tumbang.
Dengan agak ragu, aku mendekati pohon ketapang itu, bersembunyi dari balik pohon pisang yang satu ke pohon pisang yang lain.
Tepat di saat beruang itu mundur, mengambil ancang-ancang, aku segera berlari menuju pohon ketapang sambil mengacungkan tombakku. Tubuhku gemetar. Tombak yang kupasang juga gemetar. Tahu kalau aku grogi dan pucat berhadapan dengan binatang itu, Mas Burhan berteriak, “Kamu jangan sok pahlawan! Kalau kamu gemetar, kamu pasti kalah! Kamu pasti mati!”
“Jadi bagaimana solusinya?” tanyaku semakin panik.
“Kamu ingat dan perhatikan nasihatku,” suara Mas Burhan terdengar berbisik, “taruh tombakmu di tanah. Tatap mata binatang itu! Kuatkan hatimu, kamu bisa mengalahkannya. Begitu jahanam itu marah, saat kedua kaki depannya hendak mengerkahmu, saat itulah kamu hunjamkan tombakmu ke lehernya. Jelas?”
Aku mengangguk. Tetapi hatiku tetap kacau. Lalu aku mengambil napas dalam-dalam, dan segera melakukan segala sesuatu seperti yang dibilang Mas Burhan. Tombak kuletakkan di atas tanah.
Sepasang mata bintang itu menatapku dengan tajam. Sepasang mataku berusaha membalas tajam tatapan beruang itu. Di dalam hati, aku mengatakan kalau aku bisa mengalahkan binatang ini. Beruang itu mengaum. Dengan segera, ia melabrakku.
Aku mencoba tidak grogi ketika binatang itu semakin mendekatiku. Dan tetap berusaha tidak grogi ketika beruang itu mulai mengangkat kedua kaki depannya. Di saat yang kupikir tepat, aku membungkuk, menyahut tombakku, kuhunjamkan keras-keras ke arah lehernya.
Semua serba cepat. Hunjamanku tepat. Aku segera menyandarkan tombakku ke pohon ketapang. Semakin beruang itu berusaha menjamahku, semakin dalam ujung tombakku menghunjam lehernya. Tahu kalau aku berhasil, Mas Burhan turun cepat. Ia lalu mencabut tombak yang berada di punggung binatang itu, lalu menghunjamkan ke arah leher beruang.
Kami menunggu beruang itu sesaat. Ketika sudah tidak ada tenaganya lagi, kami dorong tubuh binatang itu dari arah samping. Rubuhlah tubuh besar beruang itu. Segera tubuh beruang itu kami kuliti, dagingnya kami potong-potong, lalu kami talikan potongan-potongan daging segar itu di tombak kami. Kami keluar dari hutan itu dengan langkah tegap.
Begitu keluar dari gerumbul pohon bambu dan pisang, kami disambut oleh Pak Bari dengan tertawa. “Dikubur saja!” kata Pak Bari.
“Jangan, untuk makan malam,” tukas Mas Burhan.
“Ada cakalang bakar dan ikan asin keropa untuk makan malam,” jawab Pak Bari enteng.
“Kamu yang bawa?” tanya Mas Burhan sambil menoleh ke arahku. Aku mengangguk.
“Kalau begitu, kita kubur saja binatang ini.” Sambil berkata begitu, Mas Burhan meletakkan pikulannya. Aku mengikuti perkataannya. Lalu ia mengambil cangkul yang berada di dekat gubuk, dan ia mencangkul, kemudian kami berdua menanam potongan- potongan tubuh beruang.
Sesungguhnya, yang kami tanam adalah potongan-potongan pohon pisang. Wajah Mas Burhan tampak puas setelah kami usai bermain-main imajinasi ‘berburu beruang’. Keringat berleleran di wajahnya yang memerah.
Selesai mengubur ‘daging beruang’ itu, kami melangkah pergi. Sepasang mataku melirik ke arah kolam ikan, dan sebuah rakit kecil yang terbuat dari batangan-batangan bambu. Kalau tadi aku memilih ‘berburu hiu’, kami akan berada di kolam itu. Rakit itu akan kami anggap perahu, dan kolam itu kami anggap samudra. Kami berdua pasti akan basah kuyup. Aku sedang enggan berbasah-basah.
Kami langsung menuju gubuk yang lebih besar lagi. Pak Bari segera menata piring. Segera, kami bertiga makan dengan lahap. Aku merasa lega. Misi kedatanganku berhasil dengan memuaskan: Mas Burhan mau makan lagi.
Tiga hari yang lalu, aku masih berada di sebuah pulau yang indah untuk mengikuti sebuah kegiatan. Lalu telepon datang dari Mbak Narni, istri Mas Burhan. Ia mengatakan kalau Mas Burhan sedang kumat lagi. Berhari-hari, ia tidak mau pulang dari ladang, dan menurut laporan Pak Bari, Mas Burhan tidak mau makan. “Kalau selesai tugasmu, jenguklah dia,” singkat pesan Mbak Narni.
Banyak orang yang melihat Mas Burhan hanya dari satu sisi. Begitu selalu yang kudengar setiap kali ada orang membicarakan Mas Burhan. Ia selalu disemati oleh julukan-julukan yang aduhai, mulai dari dicap sebagai ‘pembangkang sepanjang umur’ sampai dijuluki sebagai ‘pendekar subversif’. Memang julukan itu bukan tanpa alasan. Dari mulai menginjakkan kuliah, ia sudah mencicipi ikut ontran-ontran Malari. Dan semenjak itu, kakinya sudah tertanam kuat di lahan yang disebut sebagai dunia pergerakan.
Di belantara dunia aktivis, jarang ada yang tahan uji lebih dari 30 tahun untuk terus melawan. Salah satunya, Mas Burhan. Model perlawanannya pun tidak pernah berubah. Tidak pernah masuk ke dalam sistem, tidak pernah dekat-dekat dengan kekuasaan. Ia berada di banyak tempat, berkeliling, mengajar dan menemani banyak sektor masyarakat. “Aja cedhak kebo gupak…” begitu pesan yang selalu dikatakan kepada orang-orang yang lebih muda, berhubungan dengan kekuasaan. Nyalinya luar biasa, dan staminanya mencengangkan. Ia punya daya hidup yang terus memancar, seperti halnya para pembangkang yang tidak pernah takluk.
Banyak orang yang memujinya, dan cenderung memitoskannya. Semua yang berhubungan dengan Mas Burhan, selalu penuh dengan gula-gula. Ia mengidap malaria karena pernah lama di tanah Papua, banyak orang melihat hal itu sebagai sesuatu yang seksi. Ia selalu kekurangan uang karena jika punya uang selalu dipakai untuk kegiatan sosial, orang-orang selalu menyebut hal itu keren. Ia tidak punya rumah dan keluarganya selalu berpindah-pindah kontrakan, dan orang berdecak mengatakan hebat.
Hingga kira-kira lima tahun yang lalu, ia memanggil beberapa orang termasuk aku, untuk mendengar keluh kesahnya: ia merasa berdosa dengan keluarganya yang sejak lama jarang ditemaninya.
Mendengar keluhan itu, aku hanya punya komentar pendek dan langsung kuutarakan, “Wis wayahe mesanggrah, madeg pandhita, Mas.”
Akhirnya Mas Burhan memutuskan untuk mesanggrah dan madeg pandhita beneran. Dengan dibantu teman-teman dekatnya, ia membeli tanah di sebuah kampung, mengelola pertanian. Tidak jauh dari tanahnya yang cukup luas itu, ia mendirikan rumah sederhana. Semenjak itu, ia tidak pernah bepergian lagi. Ia mendampingi warga kampung untuk melakukan pertanian organik.
Tetapi setiap kali ada peristiwa yang mengganggu pikirannya, ia kumat lagi. Seperti saat terjadi kenaikan BBM pada tahun 2005. Ia tidak mau makan berhari-hari. Juga ketika terjadi kenaikan BBM di tahun ini. Berhari-hari ia berada di ladang, tidak mau makan dan emoh pulang.
Seperti halnya tiga tahun lalu, setelah akhirnya senja ini ia mau makan, sambil duduk-duduk, ia mengeluarkan semua unek- uneknya. Ia nyerocos soal pangan, air, dan BBM. Dan dari dulu, ia selalu menekankan tiga hal: imajinasi, daya hidup, dan daya cipta. “Latihlah terus imajinasimu, perkuat daya hidupmu, dan terus asahlah daya ciptamu. Kamu boleh terdesak, boleh mundur, tapi kalau kamu punya tiga hal itu, kamu tidak akan mudah ditaklukkan!”
Suaranya terus bergema, seakan tidak pernah lelah dan tidak butuh jeda. Begitu terus sampai larut, sampai ia terlihat lega. Aku berharap, seperti beberapa tahun yang lalu, ia kemudian tertidur dan keesokan harinya mengajak pulang ke rumah.
Tetapi kali ini sepertinya tidak. Karena tiba-tiba ia terdiam, menajamkan telinganya, dan berkata, “Kekasih beruang itu marah dan merusak kampung….”
Mampus, batinku. Bakal ada olahraga malam….
“Pak Bari…,” Mas Burhan memanggil nama orang yang menjaga ladangnya.
Tetapi dengan cepat Pak Bari menyahut, “Harus dikejar, Pak! Kalau tidak, kasihan orang-orang kampung. Aku akan menanak nasi lagi supaya nanti saat selesai berburu, makanan sudah siap.”
Pak Bari melirik dan tersenyum kepadaku. Aku tersenyum kecut, orang tua itu sudah segera mencari posisi aman.
“Bagaimana?” tanya Mas Burhan ke arahku.
“Harus kita kejar, Mas!” aku tidak punya dalih.
“Bagus! Kenapa tidak segera bangkit dan menyiapkan dua tombak yang panjang dan tajam?”
Aku segera bangkit, keluar, sambil terus merutuk di dalam hati. Malam itu, seperti dua orang anak kecil, kami menembus malam, mendekati gerumbul bambu dan pisang. Kembali berlarian, berteriak di dalam ladang. Memburu seekor beruang.
Malam itu, setiap kali tombak Mas Burhan menancap kuat di tubuh beruang, maksudku batang pisang, ia berteriak keras. Seperti mengeluarkan dendam. Seperti menancapkan serangan maut ke jantung kekuasaan….
Puthut EA
0 komentar:
Posting Komentar