Aku menutup kembali pintu lemari pakaian. Isak tangis tertahan masih terdengar dari luar kamar. Tanganku meraih daun pintu, menutup pintu kamar yang terbuka sejengkal. Suara tangisan tinggal lamat-lamat.
Aku berjalan pelan menuju jendela, membukanya, lalu duduk di atas kursi. Pagi ini, langit berwarna kelabu. Sejujurnya, sempat melintas pertanyaan di kepalaku, kenapa aku tidak menangis? Kemudian pikiranku mengembara, menyusuri tiap jengkal peristiwa yang terjadi tiga pekan lalu.
”Kamu belum pernah punya anak. Menikah pun belum. Kalaupun toh punya anak, kamu tidak akan pernah punya pengalaman melahirkan. Kamu, laki-laki.”
Aku menatap wajah di depanku, wajah perempuan yang sangat kukenal.
”Aku, ibunya. Aku yang mengandung dan melahirkannya. Kelak kalau kamu punya anak, kamu akan tahu bagaimana rasanya khawatir yang sesungguhnya.”
Pelayan datang. Ia meletakkan dua buah poci, menuangkan poci berisi kopi di gelasku, beralih kemudian menuangkan poci teh di gelas perempuan di depanku. Pelayan itu lalu pergi setelah mempersilakan kami menikmati hidangannya.
”Apa yang dia lakukan selama seminggu berada di tempatmu?”
”Kami banyak jalan-jalan berdua, menonton film, ke toko buku, ke pantai. Kebetulan aku sedang tidak sibuk. Aku pikir, ia sedang liburan sekolah.”
”Sekolah tidak sedang libur, dan ia tidak pamit kepadaku.”
”Mana aku tahu?”
”Dan kamu tidak memberitahuku.”
”Aku pikir ia pergi dengan seizinmu.”
”Kamu bohong. Kamu tahu kalau ia minggat dari rumah.”
Aku diam. Tidak mau memperpanjang urusan pada bagian ini. Aku datang tidak untuk berdebat. Tiga perempuan masuk ke ruangan ini. Bau harum menebar ke seluruh penjuru ruangan.
Perempuan di depanku mendesah. Tangannya meraih tas, mengeluarkan sebungkus rokok, menyulutnya.
”Ia kacau sekali…”
”Ia boleh kacau, tetapi tidak boleh minggat. Ia masih duduk di bangku kelas satu SMA!”
Aku tertawa. ”Kamu tahu, aku minggat pertama kali dari rumah saat kelas satu SMP…”
”Itu kamu. Setiap keluarga punya tata tertib yang tidak boleh dilanggar.”
”Minggat itu memang melanggar tata tertib keluarga. Dan itu pasti ada maksudnya. Tapi aku tidak mau bertengkar. Aku datang jauh-jauh ke sini, hanya untuk mengatakan sesuatu yang kupikir penting menyangkut dia.”
”Apa?”
”Jangan terlalu memaksanya untuk melakukan hal-hal yang tidak disukainya.”
”Hey, kamu hanyalah pamannya. Aku, ibunya!”
”Aku tahu, dan aku tidak sedang ingin merebut apa pun darimu.”
”Tapi kamu seperti sedang menceramahiku tentang bagaimana menjadi seorang ibu yang baik!”
Suaranya terdengar memekik. Orang-orang menoleh ke arah kami. Kami diam untuk beberapa saat. Sama-sama merasa kikuk menjadi perhatian beberapa orang.
”Jendra, anak yang manis. Tidak sepertimu…” desisnya kemudian.
Aku mulai merasa darahku naik.
”Ia penurut, dan tidak pernah menyusahkan orangtua. Tidak sepertimu.”
Darahku semakin terasa naik.
”Aku tahu persis karena aku ini ibunya, ibu kandungnya!”
Dengan suara menahan marah, aku bertanya, ”Lalu kenapa dia minggat dari rumah?”
Perempuan di depanku diam. Ia mematikan rokok di asbak dengan cara yang agak kasar. Aku gantian menyulut rokok.
”Risa, aku akan membuka sedikit rahasia yang kusimpan selama ini. Hanya sekali saja aku akan menceritakan ini untukmu… Aku selalu bermimpi buruk, sampai sekarang. Dan mimpi buruk yang paling sering kualami, aku tidak lulus sekolah. Kadang aku bermimpi tidak lulus SMP, SMA dan tidak lulus kuliah.”
Ia tertawa. ”Wajar kalau kamu mimpi seperti itu, kamu kan agak bodoh dalam hal sekolah…”
”Bukan itu poinnya!” suaraku, mungkin terdengar marah. Risa seketika menghentikan tawanya.
”Aku tidak suka sekolah, dan aku harus menjalani itu semua. Memakan hampir sebagian besar waktu yang kumiliki… Aku masih bisa merasakan sampai sekarang, gedung-gedung kaku itu, lonceng masuk, upacara bendera, tugas-tugas, seragam, suara tak tok tak tok sepatu para guru…”
”Kamu memintaku agar Jendra tidak sekolah?”
”Dengarkan dulu… Dan apa gunanya itu semua bagiku sekarang ini? Tidak ada. Ini kehidupan yang gila, aku tersiksa berbelas tahun melakoni sesuatu yang menyiksaku, yang kelak kemudian tidak berguna.”
”Bagimu. Bagiku, sekolahku berguna. Juga bagi Jendra.”
”Tapi kamu bukan aku.”
”Kamu juga bukan Jendra. Ingat itu!”
”Aku hanya sedang menceritakan diriku!”
”Kupikir kamu datang jauh-jauh untuk menceritakan soal Jendra yang minggat dari rumah dan tinggal di tempatmu! Bukan untuk menceritakan sesuatu tentang dirimu yang jelas aku tahu…”
”Itulah kesalahanmu sejak dulu, merasa tahu persoalan orang!” Aku menatap kakak perempuanku. Mungkin sudah ratusan kali, sejak aku kecil untuk menempeleng wajahnya. Tapi belum pernah kesampaian.
”Tahukah kamu, kalau sejak kecil kamu selalu menyusahkan orangtua kita?”
Aku menarik napas panjang. Aku memandang cangkir kopi di depanku, dan ingin sekali melemparkan benda itu di mulut pedasnya.
”Dan tahukah kamu kalau sifat itu bisa menular?”
Kali ini, kupikir Risa sudah keterlaluan. ”Kamu pikir aku menularkan sifat burukku kepada Jendra?”
”Aku tidak bilang seperti itu. Kamu yang mengatakannya sendiri. Yang aku tahu, semenjak ia minggat dan tinggal di tempatmu, ia semakin berani kepadaku, semakin sering bolos sekolah dan tidak mau lagi mengikuti berbagai kursus!”
”Jadi kamu menuduhku sebagai biangnya!”
Risa hanya mengangkat bahunya. Dan tersenyum sinis. Aku benar-benar nyaris kehilangan kontrol. Untuk meredakan semua yang kurasakan, aku menuang kopi, menyeruput, dan menyulut lagi sebatang rokok.
”Jadi menurutmu, kenapa dia bisa minggat?”
”Mungkin dia ada masalah… Itu biasa saja. Kesalahannya yang paling fatal adalah… Ia minggat ke tempatmu!”
Begitu mendengar kesimpulan itu, aku merasa bahwa pertemuan ini akan berakhir dengan buruk. Rasa marah sudah benar-benar menjalar di dadaku. Tetapi aku sadar, sebelum keadaan ini bertambah semakin buruk, aku ingin mengatakan sesuatu yang harus kukatakan berhubungan dengan Jendra kepada Risa.
”Rif, kamu menikah saja belum.”
”Ris, tidak ada hubungannya hal itu dengan obrolan kita hari ini!”
”Ada! Mengambil beban tanggung jawab yang sesederhana itu saja kamu tidak sanggup, dan kamu ingin menceramahiku soal bagaimana mendidik anak…”
”Aku datang hanya untuk menyampaikan apa yang dikeluhkan Jendra kepada orang yang merasa bisa mendidiknya!”
”Apa yang dia katakan?”
”Dia ingin pindah sekolah.”
”Itu sekolah paling favorit.”
”Favorit menurutmu, tetapi tidak menurutnya.”
”Dia masih anak-anak… Dia belum tahu apa pentingnya ilmu.”
”Itu kesalahanmu…”
”Dia butuh jaringan untuk masa depannya, dan itu ada di sekolahnya!”
”Itu menurutmu…”
”Ya jelas menurutku, karena aku lebih banyak makan asam garam hidup ini. Dan punya tugas untuk memastikan dan menjamin masa depannya!”
”Ia ingin kursus bahasa Perancis.”
”Boleh. Tetapi dia tidak boleh meninggalkan kursus bahasa Mandarin.”
”Dia ingin kursus main drum.”
”Boleh! Tapi dia tidak boleh meninggalkan kursus belajar piano.”
”Kenapa dia tidak boleh memilih?”
”Karena dia belum bisa memilih.”
”Dia terlalu capek dengan itu semua…”
”Dia harus belajar bekerja keras dari sejak kecil. Disiplin. Itu yang akan menyelamatkannya dari persaingan di masa depan.”
”Kenapa kamu menyuruhnya memutuskan pacarnya?”
”Dia masih kelas satu SMA!”
”Kamu dulu pacaran ketika masih kelas tiga SMP.”
”Itu aku, bukan dia! Jendra itu, makan saja kalau tidak disuruh, tidak makan!”
”Kamu merasa lebih baik dan lebih hebat dari Jendra, hah?”
”Aku, ibunya! Rif, sudahlah… Kalau kamu punya anak, kamu baru bisa merasakan apa arti anak bagi orangtua. Rif, aku hanya minta, kalau dia datang lagi ke tempatmu, segera hubungi aku!”
”Ris, aku bawakan hasil penelitian seorang psikolog tentang tingkat stres para pelajar di kota ini…”
”Aku tidak butuh informasi itu.”
Kali ini, darahku benar-benar mendidih.
”Aku khawatir kelak kamu akan menyesal…” ucapku dengan nada mengancam.
”Kamu urus saja kehidupanmu. Jendra adalah urusan keluargaku.”
Pembicaraan terkunci. Dadaku bergolak. Kemarahanku sudah sampai pada pangkal leher. Aku hanya menekan-nekan dahi dengan tanganku. Aku ingin mengatakan apa yang sempat dikatakan Jendra kepadaku. Tetapi jika mulutku terbuka, aku khawatir gelegak itu akan membeludak.
”Kamu langsung pulang atau menginap?”
Aku diam.
”Aku masih ada urusan kantor.”
Aku memberi isyarat dengan kepalaku, ia boleh pergi.
Ia bangkit, lalu melangkah pergi.
”Risa…”
Ia menoleh. ”Sudahlah, Rif. Aku bisa mengurusnya.”
Ia kembali berjalan menuju pintu.
Aku bisa saja mengejarnya, dan mengatakan apa yang seharusnya aku katakan. Tetapi aku sudah terlalu marah. Dan aku juga membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar apa yang seharusnya kukatakan. Ia mungkin hanya akan tertawa. Ia mungkin hanya akan semakin membuatku marah.
Perasaanku kacau. Aku keluar, menyetop taksi, pergi menuju ke bandara.
Aku bangkit, berjalan, membuka pintu kamar. Kudapati, Mita masih menangis si atas sofa. Ia melihat ke arahku. Aku berjalan, lalu duduk di sampingnya.
”Kenapa belum bersiap?” dalam isak, Mita bertanya.
Aku hanya diam. Mita memegang tanganku.
”Kita bisa ketinggalan pesawat…”
Aku hanya bisa menarik-narik rambutku ke arah belakang. ”Kupikir kamu saja yang berangkat.”
”Kenapa bisa begitu?”
Aku menatap wajah pacarku. ”Aku tidak sanggup datang.”
”Kamu tidak boleh begitu. Apa yang harus kukatakan kepada keluargamu?”
”Mereka tahu sifatku, jadi tidak usah khawatir.”
”Kamu yakin?”
Aku menganggukkan kepala.
Mita bangkit dari sofa, perlahan menuju kamarku, merapikan diri. Sesaat kemudian dia keluar, meraih tasnya.
”Aku berangkat ya…”
Aku mengangguk.
”Rif… Kenapa Jendra bisa melakukan ini semua?”
Aku diam. Lalu menggelengkan kepalaku. ”Sudahlah, nanti kamu terlambat datang ke pemakamannya.”
Mita melangkah pergi keluar.
Beberapa saat kemudian, aku membuka laptop di atas meja. Membuka berkas foto yang tersimpan di sana. Melihat kembali gambar-gambar Jendra terakhir di pantai bersamaku, sebelum keesokan harinya ia pulang kembali ke rumah orangtuanya.
Di malam sebelum pergi, sepulang dari pantai, ia sempat mengatakan apa yang ingin dilakukannya. Omongan yang seharusnya kusampaikan kepada Risa. Tetapi aku terlalu marah, dan takut semakin marah membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar omonganku.
Kini, aku tidak berani membayangkan bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, begitu aku sampaikan apa yang sempat terlontar dari mulut Jendra kepadaku. Bagaimana jika kemudian Risa peduli pada omongan itu dan mengubah sikapnya kepada Jendra?
Kini, aku menangis keras-keras di dalam kamar. Sendirian.***
Aku berjalan pelan menuju jendela, membukanya, lalu duduk di atas kursi. Pagi ini, langit berwarna kelabu. Sejujurnya, sempat melintas pertanyaan di kepalaku, kenapa aku tidak menangis? Kemudian pikiranku mengembara, menyusuri tiap jengkal peristiwa yang terjadi tiga pekan lalu.
”Kamu belum pernah punya anak. Menikah pun belum. Kalaupun toh punya anak, kamu tidak akan pernah punya pengalaman melahirkan. Kamu, laki-laki.”
Aku menatap wajah di depanku, wajah perempuan yang sangat kukenal.
”Aku, ibunya. Aku yang mengandung dan melahirkannya. Kelak kalau kamu punya anak, kamu akan tahu bagaimana rasanya khawatir yang sesungguhnya.”
Pelayan datang. Ia meletakkan dua buah poci, menuangkan poci berisi kopi di gelasku, beralih kemudian menuangkan poci teh di gelas perempuan di depanku. Pelayan itu lalu pergi setelah mempersilakan kami menikmati hidangannya.
”Apa yang dia lakukan selama seminggu berada di tempatmu?”
”Kami banyak jalan-jalan berdua, menonton film, ke toko buku, ke pantai. Kebetulan aku sedang tidak sibuk. Aku pikir, ia sedang liburan sekolah.”
”Sekolah tidak sedang libur, dan ia tidak pamit kepadaku.”
”Mana aku tahu?”
”Dan kamu tidak memberitahuku.”
”Aku pikir ia pergi dengan seizinmu.”
”Kamu bohong. Kamu tahu kalau ia minggat dari rumah.”
Aku diam. Tidak mau memperpanjang urusan pada bagian ini. Aku datang tidak untuk berdebat. Tiga perempuan masuk ke ruangan ini. Bau harum menebar ke seluruh penjuru ruangan.
Perempuan di depanku mendesah. Tangannya meraih tas, mengeluarkan sebungkus rokok, menyulutnya.
”Ia kacau sekali…”
”Ia boleh kacau, tetapi tidak boleh minggat. Ia masih duduk di bangku kelas satu SMA!”
Aku tertawa. ”Kamu tahu, aku minggat pertama kali dari rumah saat kelas satu SMP…”
”Itu kamu. Setiap keluarga punya tata tertib yang tidak boleh dilanggar.”
”Minggat itu memang melanggar tata tertib keluarga. Dan itu pasti ada maksudnya. Tapi aku tidak mau bertengkar. Aku datang jauh-jauh ke sini, hanya untuk mengatakan sesuatu yang kupikir penting menyangkut dia.”
”Apa?”
”Jangan terlalu memaksanya untuk melakukan hal-hal yang tidak disukainya.”
”Hey, kamu hanyalah pamannya. Aku, ibunya!”
”Aku tahu, dan aku tidak sedang ingin merebut apa pun darimu.”
”Tapi kamu seperti sedang menceramahiku tentang bagaimana menjadi seorang ibu yang baik!”
Suaranya terdengar memekik. Orang-orang menoleh ke arah kami. Kami diam untuk beberapa saat. Sama-sama merasa kikuk menjadi perhatian beberapa orang.
”Jendra, anak yang manis. Tidak sepertimu…” desisnya kemudian.
Aku mulai merasa darahku naik.
”Ia penurut, dan tidak pernah menyusahkan orangtua. Tidak sepertimu.”
Darahku semakin terasa naik.
”Aku tahu persis karena aku ini ibunya, ibu kandungnya!”
Dengan suara menahan marah, aku bertanya, ”Lalu kenapa dia minggat dari rumah?”
Perempuan di depanku diam. Ia mematikan rokok di asbak dengan cara yang agak kasar. Aku gantian menyulut rokok.
”Risa, aku akan membuka sedikit rahasia yang kusimpan selama ini. Hanya sekali saja aku akan menceritakan ini untukmu… Aku selalu bermimpi buruk, sampai sekarang. Dan mimpi buruk yang paling sering kualami, aku tidak lulus sekolah. Kadang aku bermimpi tidak lulus SMP, SMA dan tidak lulus kuliah.”
Ia tertawa. ”Wajar kalau kamu mimpi seperti itu, kamu kan agak bodoh dalam hal sekolah…”
”Bukan itu poinnya!” suaraku, mungkin terdengar marah. Risa seketika menghentikan tawanya.
”Aku tidak suka sekolah, dan aku harus menjalani itu semua. Memakan hampir sebagian besar waktu yang kumiliki… Aku masih bisa merasakan sampai sekarang, gedung-gedung kaku itu, lonceng masuk, upacara bendera, tugas-tugas, seragam, suara tak tok tak tok sepatu para guru…”
”Kamu memintaku agar Jendra tidak sekolah?”
”Dengarkan dulu… Dan apa gunanya itu semua bagiku sekarang ini? Tidak ada. Ini kehidupan yang gila, aku tersiksa berbelas tahun melakoni sesuatu yang menyiksaku, yang kelak kemudian tidak berguna.”
”Bagimu. Bagiku, sekolahku berguna. Juga bagi Jendra.”
”Tapi kamu bukan aku.”
”Kamu juga bukan Jendra. Ingat itu!”
”Aku hanya sedang menceritakan diriku!”
”Kupikir kamu datang jauh-jauh untuk menceritakan soal Jendra yang minggat dari rumah dan tinggal di tempatmu! Bukan untuk menceritakan sesuatu tentang dirimu yang jelas aku tahu…”
”Itulah kesalahanmu sejak dulu, merasa tahu persoalan orang!” Aku menatap kakak perempuanku. Mungkin sudah ratusan kali, sejak aku kecil untuk menempeleng wajahnya. Tapi belum pernah kesampaian.
”Tahukah kamu, kalau sejak kecil kamu selalu menyusahkan orangtua kita?”
Aku menarik napas panjang. Aku memandang cangkir kopi di depanku, dan ingin sekali melemparkan benda itu di mulut pedasnya.
”Dan tahukah kamu kalau sifat itu bisa menular?”
Kali ini, kupikir Risa sudah keterlaluan. ”Kamu pikir aku menularkan sifat burukku kepada Jendra?”
”Aku tidak bilang seperti itu. Kamu yang mengatakannya sendiri. Yang aku tahu, semenjak ia minggat dan tinggal di tempatmu, ia semakin berani kepadaku, semakin sering bolos sekolah dan tidak mau lagi mengikuti berbagai kursus!”
”Jadi kamu menuduhku sebagai biangnya!”
Risa hanya mengangkat bahunya. Dan tersenyum sinis. Aku benar-benar nyaris kehilangan kontrol. Untuk meredakan semua yang kurasakan, aku menuang kopi, menyeruput, dan menyulut lagi sebatang rokok.
”Jadi menurutmu, kenapa dia bisa minggat?”
”Mungkin dia ada masalah… Itu biasa saja. Kesalahannya yang paling fatal adalah… Ia minggat ke tempatmu!”
Begitu mendengar kesimpulan itu, aku merasa bahwa pertemuan ini akan berakhir dengan buruk. Rasa marah sudah benar-benar menjalar di dadaku. Tetapi aku sadar, sebelum keadaan ini bertambah semakin buruk, aku ingin mengatakan sesuatu yang harus kukatakan berhubungan dengan Jendra kepada Risa.
”Rif, kamu menikah saja belum.”
”Ris, tidak ada hubungannya hal itu dengan obrolan kita hari ini!”
”Ada! Mengambil beban tanggung jawab yang sesederhana itu saja kamu tidak sanggup, dan kamu ingin menceramahiku soal bagaimana mendidik anak…”
”Aku datang hanya untuk menyampaikan apa yang dikeluhkan Jendra kepada orang yang merasa bisa mendidiknya!”
”Apa yang dia katakan?”
”Dia ingin pindah sekolah.”
”Itu sekolah paling favorit.”
”Favorit menurutmu, tetapi tidak menurutnya.”
”Dia masih anak-anak… Dia belum tahu apa pentingnya ilmu.”
”Itu kesalahanmu…”
”Dia butuh jaringan untuk masa depannya, dan itu ada di sekolahnya!”
”Itu menurutmu…”
”Ya jelas menurutku, karena aku lebih banyak makan asam garam hidup ini. Dan punya tugas untuk memastikan dan menjamin masa depannya!”
”Ia ingin kursus bahasa Perancis.”
”Boleh. Tetapi dia tidak boleh meninggalkan kursus bahasa Mandarin.”
”Dia ingin kursus main drum.”
”Boleh! Tapi dia tidak boleh meninggalkan kursus belajar piano.”
”Kenapa dia tidak boleh memilih?”
”Karena dia belum bisa memilih.”
”Dia terlalu capek dengan itu semua…”
”Dia harus belajar bekerja keras dari sejak kecil. Disiplin. Itu yang akan menyelamatkannya dari persaingan di masa depan.”
”Kenapa kamu menyuruhnya memutuskan pacarnya?”
”Dia masih kelas satu SMA!”
”Kamu dulu pacaran ketika masih kelas tiga SMP.”
”Itu aku, bukan dia! Jendra itu, makan saja kalau tidak disuruh, tidak makan!”
”Kamu merasa lebih baik dan lebih hebat dari Jendra, hah?”
”Aku, ibunya! Rif, sudahlah… Kalau kamu punya anak, kamu baru bisa merasakan apa arti anak bagi orangtua. Rif, aku hanya minta, kalau dia datang lagi ke tempatmu, segera hubungi aku!”
”Ris, aku bawakan hasil penelitian seorang psikolog tentang tingkat stres para pelajar di kota ini…”
”Aku tidak butuh informasi itu.”
Kali ini, darahku benar-benar mendidih.
”Aku khawatir kelak kamu akan menyesal…” ucapku dengan nada mengancam.
”Kamu urus saja kehidupanmu. Jendra adalah urusan keluargaku.”
Pembicaraan terkunci. Dadaku bergolak. Kemarahanku sudah sampai pada pangkal leher. Aku hanya menekan-nekan dahi dengan tanganku. Aku ingin mengatakan apa yang sempat dikatakan Jendra kepadaku. Tetapi jika mulutku terbuka, aku khawatir gelegak itu akan membeludak.
”Kamu langsung pulang atau menginap?”
Aku diam.
”Aku masih ada urusan kantor.”
Aku memberi isyarat dengan kepalaku, ia boleh pergi.
Ia bangkit, lalu melangkah pergi.
”Risa…”
Ia menoleh. ”Sudahlah, Rif. Aku bisa mengurusnya.”
Ia kembali berjalan menuju pintu.
Aku bisa saja mengejarnya, dan mengatakan apa yang seharusnya aku katakan. Tetapi aku sudah terlalu marah. Dan aku juga membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar apa yang seharusnya kukatakan. Ia mungkin hanya akan tertawa. Ia mungkin hanya akan semakin membuatku marah.
Perasaanku kacau. Aku keluar, menyetop taksi, pergi menuju ke bandara.
Aku bangkit, berjalan, membuka pintu kamar. Kudapati, Mita masih menangis si atas sofa. Ia melihat ke arahku. Aku berjalan, lalu duduk di sampingnya.
”Kenapa belum bersiap?” dalam isak, Mita bertanya.
Aku hanya diam. Mita memegang tanganku.
”Kita bisa ketinggalan pesawat…”
Aku hanya bisa menarik-narik rambutku ke arah belakang. ”Kupikir kamu saja yang berangkat.”
”Kenapa bisa begitu?”
Aku menatap wajah pacarku. ”Aku tidak sanggup datang.”
”Kamu tidak boleh begitu. Apa yang harus kukatakan kepada keluargamu?”
”Mereka tahu sifatku, jadi tidak usah khawatir.”
”Kamu yakin?”
Aku menganggukkan kepala.
Mita bangkit dari sofa, perlahan menuju kamarku, merapikan diri. Sesaat kemudian dia keluar, meraih tasnya.
”Aku berangkat ya…”
Aku mengangguk.
”Rif… Kenapa Jendra bisa melakukan ini semua?”
Aku diam. Lalu menggelengkan kepalaku. ”Sudahlah, nanti kamu terlambat datang ke pemakamannya.”
Mita melangkah pergi keluar.
Beberapa saat kemudian, aku membuka laptop di atas meja. Membuka berkas foto yang tersimpan di sana. Melihat kembali gambar-gambar Jendra terakhir di pantai bersamaku, sebelum keesokan harinya ia pulang kembali ke rumah orangtuanya.
Di malam sebelum pergi, sepulang dari pantai, ia sempat mengatakan apa yang ingin dilakukannya. Omongan yang seharusnya kusampaikan kepada Risa. Tetapi aku terlalu marah, dan takut semakin marah membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar omonganku.
Kini, aku tidak berani membayangkan bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, begitu aku sampaikan apa yang sempat terlontar dari mulut Jendra kepadaku. Bagaimana jika kemudian Risa peduli pada omongan itu dan mengubah sikapnya kepada Jendra?
Kini, aku menangis keras-keras di dalam kamar. Sendirian.***
Puthut EA
0 komentar:
Posting Komentar