Tukang jahit itu selalu muncul setiap kali menjelang Lebaran. Seolah muncul begitu saja ke kota ini. Kata orang, ia tak hanya bisa menjahit pakaian. Ia juga bisa menjahit kebahagiaan. Tukang jahit itu punya jarum dan benang ajaib yang bisa menjahit hatimu yang sakit. Jarum dan benang, yang konon, diberikan Nabi Khidir dalam mimpinya.
Ibu pernah bercerita, betapa dulu, setiap menjelang Lebaran, kota ini selalu didatangi banyak sekali tukang jahit. Kemunculan mereka selalu menjadi pemandangan yang menakjubkan, Nak. Ketika cahaya matahari pagi yang masih lembut kekuningan menyepuh perbukitan dan halimun perlahan-lahan menyingkap, kau bisa menyaksikan serombongan tukang jahit yang masing-masing memikul dua kotak kayu berbaris muncul dari balik lekuk bukit. Kanak-kanak akan berlarian senang menyambut kemunculan mereka, “Tukang jahit datang! Asyiik! Lebaran jadi datang!” Seakan-akan bila para tukang jahit itu tak muncul, maka Lebaran tidak jadi datang ke kota ini.
Di hari-hari menjelang Lebaran itulah, Nak, kota akan terlihat penuh tukang jahit yang berkeliling menawarkan menjahitkan pakaian. Mereka menggelar dasaran di trotoar, di pojokan jalan, di keteduhan pepohonan, di emper pertokoan. Mereka mengeluarkan mesin jahit lipat dari dalam kotak yang dibawanya; menata bundelan-bundelan benang, jarum dondom dan jarum pentul, gunting, silet, mangkuk-mangkuk berisi kancing warna-warni, meletakkannya di atas kotak kayu yang digunakan sebagai meja. Para penduduk antre menjahitkan pakaian dan hiruk dalam keramaian menyambut Lebaran. Anak-anak berceloteh riang tentang baju baru yang akan mereka kenakan.
Selalu menyenangkan memperhatikan tukang jahit itu bekerja, Nak. Seperti menyaksikan tukang sulap, yang mampu mengubah kain-kain warna-warni menjadi baju-baju indah dalam sekejap. Mereka duduk bersila menggerakkan engkol mesin jahit dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya lincah dan cepat mengarahkan pola potongan kain yang dijahit. Kau akan mendengar gema mesin jahit yang terus bergemeretak hingga larut malam. Serasa ada gema burung pelatuk di mana-mana. Karena para tukang jahit itu mesti menyelesaikan semua jahitan sebelum hari Lebaran. Dan di malam takbiran, para tukang jahit itu tampak bergegas keluar kota. Seperti kemunculannya yang entah dari mana, para tukang jahit itu pun menghilang entah ke mana. Begitulah, Nak, selalu, dari tahun ke tahun, para tukang jahit itu muncul setiap kali menjelang Lebaran dan menghilang di malam takbiran.
Tapi semakin lama kian menyusut tukang jahit yang muncul ke kota ini. Entahlah, Nak. Mungkin banyak dari tukang jahit itu yang mati. Mungkin juga mereka memilih berhenti jadi tukang jahit. Atau mereka tak mau lagi datang, karena makin lama makin banyak warga yang malas menjahitkan pakaian pada tukang jahit-tukang jahit itu. Sejak banyak toko fashion, factory outlet, butik dan pusat perbelanjaan di kota ini, orang-orang lebih suka membeli pakaian jadi. Tak ada lagi keriuhan suara mesin jahit di kota ini setiap menjelang lebaran. Zaman, barangkali, memang mengubah selera, Nak. Maka, para tukang jahit yang masih muncul pun lebih banyak menghabiskan waktu mereka dengan melinting dan mengisap tembakau. Mereka hanya duduk-duduk tanpa mengerjakan jahitan, memandangi orang-orang yang lalu lalang keluar masuk pusat perbelanjaan menenteng tas-tas belanjaan berisi pakaian. Mungkin para tukang jahit itu merasa betapa kota ini tak lagi membutuhkan mereka, lalu mereka memilih mendatangi kota-kota lain yang masih mau menerima kedatangannya. Entahlah, Nak. Yang jelas sudah sejak lama, setiap menjelang Lebaran, tak ada lagi pemandangan menakjubkan arak-arakan serombongan tukang jahit yang muncul di kota ini.
Tinggal tukang jahit itu, satu-satunya tukang jahit, yang masih muncul di kota ini. Ia seperti laskar terakhir prajurit yang terusir. Berjalan keliling kota menawarkan jahitan. Tapi ia lebih sering terlihat di sudut dekat gang kecil agak di pinggiran kota. Menisik dan menjahit. Perawakannya kurus, kulitnya seperti kulit mahoni yang menua, tak banyak bicara, dan wajahnya seperti rahasia yang tak mau dibuka. Memang tak banyak lagi orang yang mau menjahitkan pakaian padanya, Nak, tapi kau lihat, selalu saja ada orang yang datang padanya. Dan itu karena ia tak hanya pintar menjahit pakaian, tetapi juga kebahagiaan. Orang tak hanya menginginkan baju baru saat Lebaran, Nak. Tapi juga ingin bahagia di saat Lebaran. Bila ada orang sedih yang datang padanya, maka tukang jahit itu akan menjahit hati orang yang lagi sedih itu. Kau tahu, Nak, di tangan tukang jahit itu, kebahagiaan yang robek dan koyak menjadi seperti selembar kain lembut yang bisa dijahit kembali. Ia menjahitnya dengan rapi, halus, dan membuat orang-orang itu merasa tenteram.
Ibu pernah menggendongmu datang ke tukang jahit itu, Nak. Delapan Lebaran lampau. Kau masih empat tahun saat itu. Mungkin kau tak ingat. Saat itu Ayahmu baru meninggal, tiga bulan sebelum Lebaran. Ibu merasa kesepian dan sedih membayangkan Lebaran tanpa Ayahmu. Lalu diantar Pamanmu, Ibu mendatangi tukang jahit itu. Ia sempat mengelus rambutmu. Ia menjahit luka hati ibu, Nak. Di dada sebelah sini. Rabalah, begitu halus. Tak bertilas. Tak berbekas.
Lalu Ibu bercerita tentang jarum dan benang yang dimiliki tukang jahit itu. Kau tahu, Nak, Nabi Khidir muncul dalam mimpinya suatu kali. Memberi tukang jahit itu segulung benang dan jarum. Benang itu tipis dan bening, seperti senar, tetapi lebih lembut dan halus. Kau bisa melihatnya, tetapi tak bisa menyentuhnya. Benang yang tak akan habis bila dipakai untuk menjahit seluruh pakaian yang ada di dunia ini. Dan jarum itu, Nak, kadang tampak memancarkan cahaya lembut ketika dipegangi tukang jahit itu. Dengan jarum dan benang itulah tukang jahit itu menjahit kembali kebahagiaan orang-orang….
Begitulah, dari tahun ke tahun, selalu kulihat tukang jahit itu muncul di kota ini setiap kali menjelang lebaran. Cerita Ibu hanyalah salah satu cerita dari banyak cerita yang kudengar tentang tukang jahit itu. Ada yang mengatakan, ia sebenarnya tinggal di balik bukit itu. Tapi cerita lain membantahnya. Kisah tentang kampung para penjahit juga pernah aku dengar. Sebuah kampung, yang seluruh penghuninya adalah tukang jahit. Di kampung itulah ia tinggal. Namun sudah berpuluh tahun lalu kampung itu lenyap. Seluruh tukang jahit yang tinggal di kampung itu mati oleh wabah yang tak pernah diketahui apa. Hanya ia, tukang jahit itu, satu-satunya yang selamat. Itulah sebabnya, kini ia satu-satunya tukang jahit yang masih muncul ke kota ini. Yang lain bilang kalau ia memang sempat bertemu Nabi Khidir dan menjadi muridnya. Ia tinggal di sebalik cakrawala, di sebuah perbatasan antara hidup dan kematian. Ia tinggal di sana, sepanjang hari memintal benang kesabaran. Benang yang dipintal dari bulu-bulu sayap malaikat. Dengan benang itulah ia ditugaskan oleh Nabi Khidir untuk menjahit hati orang-orang yang sedih menjelang Lebaran.
Semua cerita itu sesungguhnya tak pernah menjelaskan tentang tukang jahit itu, malah makin menyelimutinya dengan misteri. Ia sendiri tak pernah mau bercerita tentang dirinya. Kemunculannya selalu dalam diam. Nyaris tanpa suara berkeliling memikul dua kotak kayu yang membuat jalanya jadi agak membungkuk. Aku ingat, sewaktu kanak, aku dan kawan-kawan sepermainan kerap mengikuti di belakangnya sambil berteriak-teriak, seakan meledek tukang topeng monyet keliling. Dan tukang jahit itu tetap saja diam.
Agak di pinggiran kota ada gang buntu kecil yang letaknya di tikungan jalan. Gang yang rindang dan lengang meski ada juga beberapa lapak penjual barang loakan. Di pojokan gang itulah tukang jahit itu selalu menggelar dasaran dan istirahat. Menjahit dan tidur di situ selama hari-hari menjelang Lebaran. Tak pernah bercakap ia dengan para penjual loakan di situ. Tak banyak juga orang yang mendatanginya.
Tapi dari Lebaran ke Lebaran semakin banyak saja orang-orang yang datang ke tukang jahit itu. Cerita tentang jarum dan benang ajaib itu mungkin membuat banyak orang penasaran. Tapi barangkali pula karena dari Lebaran ke Lebaran memang semakin banyak orang yang kian tenggelam dalam kekecewaan. Mereka ingin menjahitkan kekecewaan mereka pada tukang jahit itu. Mereka antre agar bisa menikmati kebahagiaan Lebaran.
Menjelang Lebaran ini, kulihat antrean itu sudah sedemikian mengular panjang memacetkan jalanan. Rasanya, inilah antrean terpanjang yang pernah kulihat di kota ini. Padahal tukang jahit itu belum lagi muncul! Mereka tampak sudah tak sabar menunggu kemunculan tukang jahit itu. Mereka sudah menunggu sejak dini hari, bahkan ada yang sudah menunggu berhari-hari.
Saat melintas sepulang belanja kue penganan dan pakaian buat Lebaran, anakku memandang heran antrean itu. Karena banyaknya antrean yang meluber hingga ke tengah jalan, aku menjalankan mobil pelan-pelan. Dari radio terdengar nyanyian riang: Lebaran sebentar lagi….
“Sedang antre apakah orang-orang itu, Ayah?”
“Mau menjahitkan…”
“Menjahitkan pakaian?”
“Bukan. Menjahitkan kebahagiaan.”
“Kok kayak mau ngantre minyak tanah?”
Barangkali, sekarang ini kebahagiaan memang seperti minyak tanah. Tidak semua orang dengan gampang mendapatkannya. Bahkan untuk sekadar bisa menikmati kebahagiaan di hari Lebaran pun kini orang mesti antre berdesak-desakan.
“Kenapa menjelang Lebaran begini mereka kok tidak bahagia, Ayah?”
“Mungkin mereka tak punya uang buat pulang kampung. Tak bisa membelikan baju baru. Bingung karena masih nganggur. Pusing karena semuanya makin mahal. Mungkin juga mereka hanya merasa makin sedih saja….”
Lalu kuceritakan apa yang dulu pernah diceritakan Ibu padaku. Kuceritakan tentang tukang jahit itu. Tentang jarum dan benang yang bisa menjahit kesedihan.
“Jadi mereka menunggu tukang jahit itu, Ayah?”
“Ya.”
“Bagaimana kalau tukang jahit itu tak muncul, Ayah?”
Aku menatap matanya yang menunggu jawaban, kemudian memandang gamang ke arah orang-orang yang antre itu. Kulihat antrean itu sudah sedemikian panjangnya, hingga menyentuh ujung terjauh cakrawala yang mulai menggelap.
Brisbane-Yogyakarta,
Ibu pernah bercerita, betapa dulu, setiap menjelang Lebaran, kota ini selalu didatangi banyak sekali tukang jahit. Kemunculan mereka selalu menjadi pemandangan yang menakjubkan, Nak. Ketika cahaya matahari pagi yang masih lembut kekuningan menyepuh perbukitan dan halimun perlahan-lahan menyingkap, kau bisa menyaksikan serombongan tukang jahit yang masing-masing memikul dua kotak kayu berbaris muncul dari balik lekuk bukit. Kanak-kanak akan berlarian senang menyambut kemunculan mereka, “Tukang jahit datang! Asyiik! Lebaran jadi datang!” Seakan-akan bila para tukang jahit itu tak muncul, maka Lebaran tidak jadi datang ke kota ini.
Di hari-hari menjelang Lebaran itulah, Nak, kota akan terlihat penuh tukang jahit yang berkeliling menawarkan menjahitkan pakaian. Mereka menggelar dasaran di trotoar, di pojokan jalan, di keteduhan pepohonan, di emper pertokoan. Mereka mengeluarkan mesin jahit lipat dari dalam kotak yang dibawanya; menata bundelan-bundelan benang, jarum dondom dan jarum pentul, gunting, silet, mangkuk-mangkuk berisi kancing warna-warni, meletakkannya di atas kotak kayu yang digunakan sebagai meja. Para penduduk antre menjahitkan pakaian dan hiruk dalam keramaian menyambut Lebaran. Anak-anak berceloteh riang tentang baju baru yang akan mereka kenakan.
Selalu menyenangkan memperhatikan tukang jahit itu bekerja, Nak. Seperti menyaksikan tukang sulap, yang mampu mengubah kain-kain warna-warni menjadi baju-baju indah dalam sekejap. Mereka duduk bersila menggerakkan engkol mesin jahit dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya lincah dan cepat mengarahkan pola potongan kain yang dijahit. Kau akan mendengar gema mesin jahit yang terus bergemeretak hingga larut malam. Serasa ada gema burung pelatuk di mana-mana. Karena para tukang jahit itu mesti menyelesaikan semua jahitan sebelum hari Lebaran. Dan di malam takbiran, para tukang jahit itu tampak bergegas keluar kota. Seperti kemunculannya yang entah dari mana, para tukang jahit itu pun menghilang entah ke mana. Begitulah, Nak, selalu, dari tahun ke tahun, para tukang jahit itu muncul setiap kali menjelang Lebaran dan menghilang di malam takbiran.
Tapi semakin lama kian menyusut tukang jahit yang muncul ke kota ini. Entahlah, Nak. Mungkin banyak dari tukang jahit itu yang mati. Mungkin juga mereka memilih berhenti jadi tukang jahit. Atau mereka tak mau lagi datang, karena makin lama makin banyak warga yang malas menjahitkan pakaian pada tukang jahit-tukang jahit itu. Sejak banyak toko fashion, factory outlet, butik dan pusat perbelanjaan di kota ini, orang-orang lebih suka membeli pakaian jadi. Tak ada lagi keriuhan suara mesin jahit di kota ini setiap menjelang lebaran. Zaman, barangkali, memang mengubah selera, Nak. Maka, para tukang jahit yang masih muncul pun lebih banyak menghabiskan waktu mereka dengan melinting dan mengisap tembakau. Mereka hanya duduk-duduk tanpa mengerjakan jahitan, memandangi orang-orang yang lalu lalang keluar masuk pusat perbelanjaan menenteng tas-tas belanjaan berisi pakaian. Mungkin para tukang jahit itu merasa betapa kota ini tak lagi membutuhkan mereka, lalu mereka memilih mendatangi kota-kota lain yang masih mau menerima kedatangannya. Entahlah, Nak. Yang jelas sudah sejak lama, setiap menjelang Lebaran, tak ada lagi pemandangan menakjubkan arak-arakan serombongan tukang jahit yang muncul di kota ini.
Tinggal tukang jahit itu, satu-satunya tukang jahit, yang masih muncul di kota ini. Ia seperti laskar terakhir prajurit yang terusir. Berjalan keliling kota menawarkan jahitan. Tapi ia lebih sering terlihat di sudut dekat gang kecil agak di pinggiran kota. Menisik dan menjahit. Perawakannya kurus, kulitnya seperti kulit mahoni yang menua, tak banyak bicara, dan wajahnya seperti rahasia yang tak mau dibuka. Memang tak banyak lagi orang yang mau menjahitkan pakaian padanya, Nak, tapi kau lihat, selalu saja ada orang yang datang padanya. Dan itu karena ia tak hanya pintar menjahit pakaian, tetapi juga kebahagiaan. Orang tak hanya menginginkan baju baru saat Lebaran, Nak. Tapi juga ingin bahagia di saat Lebaran. Bila ada orang sedih yang datang padanya, maka tukang jahit itu akan menjahit hati orang yang lagi sedih itu. Kau tahu, Nak, di tangan tukang jahit itu, kebahagiaan yang robek dan koyak menjadi seperti selembar kain lembut yang bisa dijahit kembali. Ia menjahitnya dengan rapi, halus, dan membuat orang-orang itu merasa tenteram.
Ibu pernah menggendongmu datang ke tukang jahit itu, Nak. Delapan Lebaran lampau. Kau masih empat tahun saat itu. Mungkin kau tak ingat. Saat itu Ayahmu baru meninggal, tiga bulan sebelum Lebaran. Ibu merasa kesepian dan sedih membayangkan Lebaran tanpa Ayahmu. Lalu diantar Pamanmu, Ibu mendatangi tukang jahit itu. Ia sempat mengelus rambutmu. Ia menjahit luka hati ibu, Nak. Di dada sebelah sini. Rabalah, begitu halus. Tak bertilas. Tak berbekas.
Lalu Ibu bercerita tentang jarum dan benang yang dimiliki tukang jahit itu. Kau tahu, Nak, Nabi Khidir muncul dalam mimpinya suatu kali. Memberi tukang jahit itu segulung benang dan jarum. Benang itu tipis dan bening, seperti senar, tetapi lebih lembut dan halus. Kau bisa melihatnya, tetapi tak bisa menyentuhnya. Benang yang tak akan habis bila dipakai untuk menjahit seluruh pakaian yang ada di dunia ini. Dan jarum itu, Nak, kadang tampak memancarkan cahaya lembut ketika dipegangi tukang jahit itu. Dengan jarum dan benang itulah tukang jahit itu menjahit kembali kebahagiaan orang-orang….
Begitulah, dari tahun ke tahun, selalu kulihat tukang jahit itu muncul di kota ini setiap kali menjelang lebaran. Cerita Ibu hanyalah salah satu cerita dari banyak cerita yang kudengar tentang tukang jahit itu. Ada yang mengatakan, ia sebenarnya tinggal di balik bukit itu. Tapi cerita lain membantahnya. Kisah tentang kampung para penjahit juga pernah aku dengar. Sebuah kampung, yang seluruh penghuninya adalah tukang jahit. Di kampung itulah ia tinggal. Namun sudah berpuluh tahun lalu kampung itu lenyap. Seluruh tukang jahit yang tinggal di kampung itu mati oleh wabah yang tak pernah diketahui apa. Hanya ia, tukang jahit itu, satu-satunya yang selamat. Itulah sebabnya, kini ia satu-satunya tukang jahit yang masih muncul ke kota ini. Yang lain bilang kalau ia memang sempat bertemu Nabi Khidir dan menjadi muridnya. Ia tinggal di sebalik cakrawala, di sebuah perbatasan antara hidup dan kematian. Ia tinggal di sana, sepanjang hari memintal benang kesabaran. Benang yang dipintal dari bulu-bulu sayap malaikat. Dengan benang itulah ia ditugaskan oleh Nabi Khidir untuk menjahit hati orang-orang yang sedih menjelang Lebaran.
Semua cerita itu sesungguhnya tak pernah menjelaskan tentang tukang jahit itu, malah makin menyelimutinya dengan misteri. Ia sendiri tak pernah mau bercerita tentang dirinya. Kemunculannya selalu dalam diam. Nyaris tanpa suara berkeliling memikul dua kotak kayu yang membuat jalanya jadi agak membungkuk. Aku ingat, sewaktu kanak, aku dan kawan-kawan sepermainan kerap mengikuti di belakangnya sambil berteriak-teriak, seakan meledek tukang topeng monyet keliling. Dan tukang jahit itu tetap saja diam.
Agak di pinggiran kota ada gang buntu kecil yang letaknya di tikungan jalan. Gang yang rindang dan lengang meski ada juga beberapa lapak penjual barang loakan. Di pojokan gang itulah tukang jahit itu selalu menggelar dasaran dan istirahat. Menjahit dan tidur di situ selama hari-hari menjelang Lebaran. Tak pernah bercakap ia dengan para penjual loakan di situ. Tak banyak juga orang yang mendatanginya.
Tapi dari Lebaran ke Lebaran semakin banyak saja orang-orang yang datang ke tukang jahit itu. Cerita tentang jarum dan benang ajaib itu mungkin membuat banyak orang penasaran. Tapi barangkali pula karena dari Lebaran ke Lebaran memang semakin banyak orang yang kian tenggelam dalam kekecewaan. Mereka ingin menjahitkan kekecewaan mereka pada tukang jahit itu. Mereka antre agar bisa menikmati kebahagiaan Lebaran.
Menjelang Lebaran ini, kulihat antrean itu sudah sedemikian mengular panjang memacetkan jalanan. Rasanya, inilah antrean terpanjang yang pernah kulihat di kota ini. Padahal tukang jahit itu belum lagi muncul! Mereka tampak sudah tak sabar menunggu kemunculan tukang jahit itu. Mereka sudah menunggu sejak dini hari, bahkan ada yang sudah menunggu berhari-hari.
Saat melintas sepulang belanja kue penganan dan pakaian buat Lebaran, anakku memandang heran antrean itu. Karena banyaknya antrean yang meluber hingga ke tengah jalan, aku menjalankan mobil pelan-pelan. Dari radio terdengar nyanyian riang: Lebaran sebentar lagi….
“Sedang antre apakah orang-orang itu, Ayah?”
“Mau menjahitkan…”
“Menjahitkan pakaian?”
“Bukan. Menjahitkan kebahagiaan.”
“Kok kayak mau ngantre minyak tanah?”
Barangkali, sekarang ini kebahagiaan memang seperti minyak tanah. Tidak semua orang dengan gampang mendapatkannya. Bahkan untuk sekadar bisa menikmati kebahagiaan di hari Lebaran pun kini orang mesti antre berdesak-desakan.
“Kenapa menjelang Lebaran begini mereka kok tidak bahagia, Ayah?”
“Mungkin mereka tak punya uang buat pulang kampung. Tak bisa membelikan baju baru. Bingung karena masih nganggur. Pusing karena semuanya makin mahal. Mungkin juga mereka hanya merasa makin sedih saja….”
Lalu kuceritakan apa yang dulu pernah diceritakan Ibu padaku. Kuceritakan tentang tukang jahit itu. Tentang jarum dan benang yang bisa menjahit kesedihan.
“Jadi mereka menunggu tukang jahit itu, Ayah?”
“Ya.”
“Bagaimana kalau tukang jahit itu tak muncul, Ayah?”
Aku menatap matanya yang menunggu jawaban, kemudian memandang gamang ke arah orang-orang yang antre itu. Kulihat antrean itu sudah sedemikian panjangnya, hingga menyentuh ujung terjauh cakrawala yang mulai menggelap.
Brisbane-Yogyakarta,
Agus Noor
0 komentar:
Posting Komentar