Pagi itu langit hitam kelam. Angin membelai masuk melewati jendela kosan 3x4m, Matahari malas keluar, dia terus bersembunyi di balik awan gelap. Seperti halnya aku yang masih bersembunyi di balik selimut tebal peninggalan nenek yang sangat bau yang aku sangat suka. Hari ini adalah hari Kamis, hari terakhir dalam seminggu aku berkuliah. Sungguh malas kuliah pagi ini, ditambah “tamu” yang setiap bulan datang membuat perutku merasa tidak nyaman dan menambah semangatku untuk tidak kuliah. Dan setiap aku teingat raut muka kedua orang tuaku perasaan itu sedikit hilang, ya, hanya sedikit.
Berjalan menyusuri gang-gang sempit yang setiap hari aku lalui ini sungguh memuakkan, ditambah dengan keringat orang-orang pasar yang membuat aku semakin muak dengan keadaanku sendiri. Sengaja aku lewat gang pasar karena hanya gang pasar akses tercepat yang menghubungkan kosanku dengan kampus. Bertemu dengan orangorang apatis yang sangat tidak peduli dengan orang lain. Masyarakat kota yang individualis. Berbeda sekali dengan kampungku, kampung cinta damai. Dimana hanya ada satu dua orang yang sedikit individualis dan itupun bukan penduduk asli kampung, orang kota yang punya segudang bisinis di desa. Benar kata Frankie, petani mencari kerja di kota, orang kota mencari kekayaan di desa. Sesaat menerawang jauh ke kampungku tiba-tiba saja ada sepeda motor yang hendak menubrukku dari depan yang kemudian menyadarkanku bahwa inilah kota.
“Goblok, jalan gak liat-liat, pake mata dong”, bapak berkumis tebal itu memarahiku. Sepertinya dia tergesa-gesa sekali hendak mengantarkan barang dagangannya. Hanya mampu menghela nafas panjang, terlalu banyak umpatan yang ditujukan kepadaku, tapi kali ini adalah murni salahku. Dengan wajah memelas aku hendak meminta maaf dan sebelum kuucapkan kata maafku orang tua itu sudah enyah dari hadapanku. Mungkin sudah peringaiku untuk selalu berlaku lemah lembut akan tetapi di sini, di kota yang belum pernah aku kunjungi sebelum aku dinyatakan lolos SNMPTN, mereka selalu menyebutnya dengan lelet. Sakit hati iya, tapi lama kelamaan aku sudah bebal dengan ejekan tersebut.
Kursi depan selalu penuh setiap kali aku datang, entah jalanku terlalu lambat atau mereka yang datang terlalu dini. Aku selalu menempati bangku paling belakang di kelas. Ada sesuatu yang tidak membuat aku nyaman berada di antara mahasiswa baru ini. Aku jarang sekali mengerti kuliah yang diberikan dosen, dan aku benci ini. Dengan belajar keras pun IP ku hanya mencapai 2,89. Dosen menurutku layaknya sales yang menawarkan produknya yang aku sama sekali tidak berminat dengan produk yang ditawarkannya. Jujur, tidak ada niatan sedikitpun berkuliah jurusan teknik. Dulu aku bercita-cita ingin jadi sastra, tapi Tuhan berkata lain. Katanya Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan. Dan faktanya sampai saat ini semester 2 aku masih belum bisa menerima keadaan ini.
“I’, nanti kita ngerjain tugas kelompok di rumah Gita ya, awas kalau sampai pulang”, ancam Vina salah seorang temanku yang sangat membenci keleletanku. Mereka memanggilku Ai’, nama lengkapku Aina Fitri. Entah apa filosofi dari namaku, setiap kali aku tanya orang tuaku, mereka menjawab dulu waktu lahir bapakku lihat ada model pakaian yang cantik bernama Aina dan karena aku lahir pada hari raya Idul Fitri makanya mereka menambahkan kata Fitri di belakang.
“Emangnya tugas dikumpulin kapan? bukannya masih 2 minggu lagi ya? gimana kalau besok Senin aja? aku pengen pulang kampung, hampir tiga bulan aku belum pulang”, tawarku dengan lagi-lagi wajah memelas. Wajah memelasku sering membuat luluh orang dan inilah andalanku.
“Yahh, padahal aku pengen cepet selese, ya udah lah aku juga mau main, salam buat orang rumah ya”, meski kadang benci padaku tapi Vina adalah teman yang baik. Dia kadang merasa kasihan dengan keadaanku. Aku juga heran kenapa dia kasihan padaku. Alasannya cukup simpel, katanya aku lugu, mudah dibohongi juga, kalau semua orang ingin memanfaatkan keluguanku setidaknya ada satu orang yang tidak akan memanfaatkan keluguanku dan dia bilang orangnya adalah dia sendiri.
Kereta berangkat pukul 14.00. Kereta ekonomi yang baunya nggak karuan adalah transportasi yang biasa aku gunakan untuk mengobati rasa rinduku untuk pulang ke kampung halaman. Alhamdulillah aku berada di samping ibu-ibu dan depanku bapak-bapak. Sepertinya mereka orang-orang baik. Ketika tahu bahwa aku adalah seorang mahasiswa, bapak-bapak di depanku terus menasehatiku,”Sekolah yang bener, Nak, kasihan orang tua yang membiayai, gak usah pacaran-pacaran dulu, nanti kalau sudah jodoh pasti Tuhan akan mempertemukan kamu dengan pasangan yang tepat”. Aku hanya mengangguk-angguk sambil sesekali mengiyakan. “Tuhan itu Maha Adil, laki-laki baik-baik hanya untuk wanita yang baik-baik, begitu juga sebaliknya, jadi kamu tidak usah takut kamu besok dapat lelaki yang tidak baik, kalau kamu adalah wanita baik insya Allah kamu pasti dapat lelaki yang baik pula”, lanjut pak tua yang tepat duduk di depanku. Walaupun agamaku masih sangat cetek, tapi aku tahu dalam Islam tidak ada yang namanya pacaran. Sangat disayangkan remaja sekarang banyak yang melakukan aktivitas pacaran. Dan yang lebih sangat disayangkan, aku sering melihat mahasiswa perempuan dengan kain yang menutupi kepalanya bergandengan tangan dengan lawan jenis yang jelas-jelas bukan mahramnya. Tak tahulah apa yang ada dipikiran mereka. Mungkin mereka tidak kasihan dengan orang tua yang membiayai sekolah mereka. Mungkin juga orang tua mereka kaya raya jadi tak perlu lah merasa kasihan kepada orang tua. Tapi bukankah kedua orang tua akan lebih senang seandainya anak yang mereka bangga-banggakan itu berada pada jalan yang diridhoi Allah. Sebenarnya aku tidak berhak berbicara seperti ini, agamaku saja masih awut-awutan. Lihat kerudungku, layak dibilang kelambu. Rambutku terlihat dari luar, sempat aku berpikir untuk membenahi cara berkerudungku tapi ibuku bilang ibu tidak suka anaknya terlalu fanatik dengan agama. Padahal jelas-jelas aku tahu bahwa fanatik itu perlu. Aku memang bukan lahir dari keluarga yang agamis, ibuku pun jarang menutupi auratnya seperti apa yang diperintahkan Allah untuk membalut tubuh dengan pakaian taqwa. Jika ada pengajian atau berita lelayu saja ibu memakai kerudung. Sedang bapakku adalah sesosok bapak yang otoriter yang ilmu agamanya sangat minim sekali. Lahir dari keluarga militer membuat bapakku dididik layaknya seorang prajurit. Setelah kakek nenekku meninggal, bapakku menjadi orang yang paling disegani di keluarga meski bapak adalah anak bungsu dari keluarganya tapi anak-anak budhe paling takut sama bapakku.
Tak terasa 6 jam sudah berlalu, akhirnya sampai juga aku di stasiun Tugu Yogyakarta, aku lahir di Kali Kotak, sebuah desa terpencil di daerah Sleman. Bapak sudah menjemputku lengkap dengan atribut layaknya tukang ojek kebanyakan. Bapakku memang lahir dari keluarga berada tapi naasnya kakekku suka main perempuan, tak teruruslah keluarga bapakku. Meski kakek seorang tentara berpangkat kapten tapi anaknya tak ada yang meneruskan sekolah hingga ke bangku SMA, hanya budheku saja yang hampir menamatkan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) sayangnya kakekku keburu tergoda wanita lain dan hancurlah rumah tangga kakek nenekku.
“Kamu belum makan to? ini bapak beliin bakmi goreng Pak Yanto”, kami memang dari keluarga sederhana tapi bapak selalu menomorsatukan anak, apalagi masalah makanan. Tak ayal tubuhku tambun.
“Emang ibu ndak masak, Pak? kan sayang buang-buang uang”, aku mencoba untuk menyadarkan bapak kalau kami adalah keluarga pas-pasan.
“Sudahlah, kamu cuma bapak suruh makan aja susah”, bapak memang selalu tak memberiku ruang untuk berpendapat. Dari keempat anak bapak, akulah yang paling disayang dan aku juga yang paling sering membuat bapak murka.
Rumah sepi kala aku membuka pintu seraya mengucapkan salam. Rupanya ibu sedang pengajian di Mushola kampung. Mandi kemudian makan bakmi goreng kesukaanku. Dengan mulut penuh dengan makanan dari tepung itu aku bercerita tentang kuliahku yang membosankan, teman-teman yang selalu menertawakanku seolah-olah aku adalah bahan lelucon mereka, dan cerita tentang ospek yang tak kunjung usai.
Seharian penuh aku lalui dengan melepas rindu pada rumah dan seluruh isinya. Sore hari biasanya kami sekeluarga kumpul di ruang tengah, mendiskusikan apa saja yang ringan-ringan hingga waktu maghrib tiba kami mengantri kamar mandi untuk berwudlu kecuali bapakku. Tidak lupa aku mengingatkan bapak untuk sholat walaupun aku tahu kalau bapak pasti tidak akan mau. Ini yang membuat aku pilu, selalu pilu. Berbagai macam cara aku ajak bapakku untuk sholat tapi masih saja beliau enggan. Mulai dari sindiran halus sampai tidak halus sekalipun tak mempan. Sampai pernah suatu hari bapak marah padaku karena aku terlalu memaksa untuk sholat. Setiap tahajud aku selalu berdoa kepada Allah supaya Allah mau membuka hati bapakku.
***
“Bu, aku pengen merubah penampilanku, aku pengen pakai kerudung besar tapi aku malu orang-orang menertawakanku. Nanti dikiranya aku sok alim”,rengekku pada ibu yang tengah menjahit kain.
Ibu menghentikan jahitannya,”Kenapa harus malu untuk menjadi lebih baik? Ibu juga ingin sehari-hari menutup kepala ibu seperti yang kamu inginkan, Nduk”. Kaget bercampur haru, aku memeluk ibu erat. Air mataku menetes, langsung kuseka, aku tidak ingin ibu tahu kalau anak perempuannya sudah pandai menangis lagi. Karena dewasa ini aku memang jarang menangis kecuali menonton film India. Ibu melepaskan pelukanku, pergi ke kamarnya dan memanggilku,”Kamu pengen paki rok kan, Nduk? Ibu punya banyak, bawalah dua dulu. Nanti kalau kamu pulang kampung lagi ibu belikan rok lagi”, sekali lagi kupeluk ibu.
***
Malam sepertinya cepat sekali, ternyata tadi siang ibu menjahit kerudung untukku, kerudung yang tidak seperti kelambu. Kerudung yang menutupi mahkotaku. Dengan rok hitam milik ibu dan setelan putih milik kakakku nomer satu yang sekarang sudah bekerja di pabrik rokok. Kucium pipi dan tangan ibu, seperti enggan untuk melepaskannya tapi waktulah yang mengharuskan semuanya berjalan dengan cepat. Ternyata bapak tidak jadi mengantarku dengan alasan yang rumit daan sulit aku cerna. Setelah kucium tangan bapakku aku diantar Lek Karyo menggunakan motor bututnya. Malam ini aku berjanji aku harus menjadi diri yang baru, aku tidak mampu untuk menyia-nyiakan tanggung jawab yang diberikan orang tuaku. Aku terlalu sayang kepada kedua orang tuaku. Akan kukubur dalam-dalam mimpiku untuk menjadi sastrawan. Jika belajar keras pun tak akan mengubah IP ku maka aku akan belajar dengan temanku yang pandai. Setidaknya aku akan membuka sedikit diriku, aku yakin mereka adalah orang baik, hanya logat bicaranya saja yang “sedikit” kasar bagiku. Perjalanan pulang penuh dengan wajah teduh ibu,”Tuhan, jaga wanita itu. Sungguh, aku rela jika harus menumpahkan darahku untuk kebahagiaan wanita itu”, doaku dalam hati yang kemudian aku amini sendiri. Bagaimana dengan bapakku? Entahlah, aku hanya terus berdoa semoga Allah membukakan hati bapakku. Benci iya, tapi sayang sangat. Dan rasa benciku tertutupi oleh sayangku yang teramat dalam.
Pagi buta aku sampai di Surabaya, kota tempat yang indah ketika aku merasakan bahwa disinilah aku akan mendeklarasikan diri menjadi anak yang berbakti dan bertanggung jawab kepada kedua orang tuaku. Kosan masih sepi, anak-anak sepertinya belum semua yang balik ke kosan. Setelah mandi kubaringkan sejenak badanku sebelum harus berangkat untuk mengejar harapan. Ganti pakaian dengan baju “baru” kebanggaanku. Melangkah dengan gontai diiringi senyuman setiap melewati orang yang melihat ke arahku. Gang pasar itu berubah layaknya red carpet yang dengan bangganya aku berjalan melewati gang itu. Ternyata bukan kebahagiaan yang membuat kita bersyukur tapi bersyukurlah yang membuat kita bahagia.
Kutunaikan maghribku di mushola dekat kos yang berjarak tak lebih dari satu jengkal, kosanku memang bersebelahan dengan mushola. Sesudah sholat kuputuskan untuk pulang. Belum sempat kulepas mukenaku ponsel monochrome ku bordering.
“Assalamu’alaikum, Nduk” suara yang selalu aku rindukan .
“Wa’alaikumsalam, apa apa Bu?”
“Sampai Surabaya jam berapa? Kok ndak kasih kabar rumah?”
“Pukul 05.00, aku kira Ibu sudah tahu kalau aku sampai sini puku 05.00”
“Ya sudah, itu ndak penting, Ibu punya berita bagus. Bapakmu mau sholat, Nduk”
Kaget bercampur haru membuat tangisku pecah seketika. Lama aku tak bicara membuat ibu kebingungan.
“Nduk…Nduk…kamu kenapa? Jangan-jangan kamu tidur ya?”, ibu terus kebingungan,”Owalah, ditelepon orang tua kok malah ditinggal tidur, yowes jangan lupa belajar, jangan tidur terus, ndak maju-maju nanti kamu, Nduk”
Nut..nut..nut..nut..
Berjalan menyusuri gang-gang sempit yang setiap hari aku lalui ini sungguh memuakkan, ditambah dengan keringat orang-orang pasar yang membuat aku semakin muak dengan keadaanku sendiri. Sengaja aku lewat gang pasar karena hanya gang pasar akses tercepat yang menghubungkan kosanku dengan kampus. Bertemu dengan orangorang apatis yang sangat tidak peduli dengan orang lain. Masyarakat kota yang individualis. Berbeda sekali dengan kampungku, kampung cinta damai. Dimana hanya ada satu dua orang yang sedikit individualis dan itupun bukan penduduk asli kampung, orang kota yang punya segudang bisinis di desa. Benar kata Frankie, petani mencari kerja di kota, orang kota mencari kekayaan di desa. Sesaat menerawang jauh ke kampungku tiba-tiba saja ada sepeda motor yang hendak menubrukku dari depan yang kemudian menyadarkanku bahwa inilah kota.
“Goblok, jalan gak liat-liat, pake mata dong”, bapak berkumis tebal itu memarahiku. Sepertinya dia tergesa-gesa sekali hendak mengantarkan barang dagangannya. Hanya mampu menghela nafas panjang, terlalu banyak umpatan yang ditujukan kepadaku, tapi kali ini adalah murni salahku. Dengan wajah memelas aku hendak meminta maaf dan sebelum kuucapkan kata maafku orang tua itu sudah enyah dari hadapanku. Mungkin sudah peringaiku untuk selalu berlaku lemah lembut akan tetapi di sini, di kota yang belum pernah aku kunjungi sebelum aku dinyatakan lolos SNMPTN, mereka selalu menyebutnya dengan lelet. Sakit hati iya, tapi lama kelamaan aku sudah bebal dengan ejekan tersebut.
Kursi depan selalu penuh setiap kali aku datang, entah jalanku terlalu lambat atau mereka yang datang terlalu dini. Aku selalu menempati bangku paling belakang di kelas. Ada sesuatu yang tidak membuat aku nyaman berada di antara mahasiswa baru ini. Aku jarang sekali mengerti kuliah yang diberikan dosen, dan aku benci ini. Dengan belajar keras pun IP ku hanya mencapai 2,89. Dosen menurutku layaknya sales yang menawarkan produknya yang aku sama sekali tidak berminat dengan produk yang ditawarkannya. Jujur, tidak ada niatan sedikitpun berkuliah jurusan teknik. Dulu aku bercita-cita ingin jadi sastra, tapi Tuhan berkata lain. Katanya Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan. Dan faktanya sampai saat ini semester 2 aku masih belum bisa menerima keadaan ini.
“I’, nanti kita ngerjain tugas kelompok di rumah Gita ya, awas kalau sampai pulang”, ancam Vina salah seorang temanku yang sangat membenci keleletanku. Mereka memanggilku Ai’, nama lengkapku Aina Fitri. Entah apa filosofi dari namaku, setiap kali aku tanya orang tuaku, mereka menjawab dulu waktu lahir bapakku lihat ada model pakaian yang cantik bernama Aina dan karena aku lahir pada hari raya Idul Fitri makanya mereka menambahkan kata Fitri di belakang.
“Emangnya tugas dikumpulin kapan? bukannya masih 2 minggu lagi ya? gimana kalau besok Senin aja? aku pengen pulang kampung, hampir tiga bulan aku belum pulang”, tawarku dengan lagi-lagi wajah memelas. Wajah memelasku sering membuat luluh orang dan inilah andalanku.
“Yahh, padahal aku pengen cepet selese, ya udah lah aku juga mau main, salam buat orang rumah ya”, meski kadang benci padaku tapi Vina adalah teman yang baik. Dia kadang merasa kasihan dengan keadaanku. Aku juga heran kenapa dia kasihan padaku. Alasannya cukup simpel, katanya aku lugu, mudah dibohongi juga, kalau semua orang ingin memanfaatkan keluguanku setidaknya ada satu orang yang tidak akan memanfaatkan keluguanku dan dia bilang orangnya adalah dia sendiri.
Kereta berangkat pukul 14.00. Kereta ekonomi yang baunya nggak karuan adalah transportasi yang biasa aku gunakan untuk mengobati rasa rinduku untuk pulang ke kampung halaman. Alhamdulillah aku berada di samping ibu-ibu dan depanku bapak-bapak. Sepertinya mereka orang-orang baik. Ketika tahu bahwa aku adalah seorang mahasiswa, bapak-bapak di depanku terus menasehatiku,”Sekolah yang bener, Nak, kasihan orang tua yang membiayai, gak usah pacaran-pacaran dulu, nanti kalau sudah jodoh pasti Tuhan akan mempertemukan kamu dengan pasangan yang tepat”. Aku hanya mengangguk-angguk sambil sesekali mengiyakan. “Tuhan itu Maha Adil, laki-laki baik-baik hanya untuk wanita yang baik-baik, begitu juga sebaliknya, jadi kamu tidak usah takut kamu besok dapat lelaki yang tidak baik, kalau kamu adalah wanita baik insya Allah kamu pasti dapat lelaki yang baik pula”, lanjut pak tua yang tepat duduk di depanku. Walaupun agamaku masih sangat cetek, tapi aku tahu dalam Islam tidak ada yang namanya pacaran. Sangat disayangkan remaja sekarang banyak yang melakukan aktivitas pacaran. Dan yang lebih sangat disayangkan, aku sering melihat mahasiswa perempuan dengan kain yang menutupi kepalanya bergandengan tangan dengan lawan jenis yang jelas-jelas bukan mahramnya. Tak tahulah apa yang ada dipikiran mereka. Mungkin mereka tidak kasihan dengan orang tua yang membiayai sekolah mereka. Mungkin juga orang tua mereka kaya raya jadi tak perlu lah merasa kasihan kepada orang tua. Tapi bukankah kedua orang tua akan lebih senang seandainya anak yang mereka bangga-banggakan itu berada pada jalan yang diridhoi Allah. Sebenarnya aku tidak berhak berbicara seperti ini, agamaku saja masih awut-awutan. Lihat kerudungku, layak dibilang kelambu. Rambutku terlihat dari luar, sempat aku berpikir untuk membenahi cara berkerudungku tapi ibuku bilang ibu tidak suka anaknya terlalu fanatik dengan agama. Padahal jelas-jelas aku tahu bahwa fanatik itu perlu. Aku memang bukan lahir dari keluarga yang agamis, ibuku pun jarang menutupi auratnya seperti apa yang diperintahkan Allah untuk membalut tubuh dengan pakaian taqwa. Jika ada pengajian atau berita lelayu saja ibu memakai kerudung. Sedang bapakku adalah sesosok bapak yang otoriter yang ilmu agamanya sangat minim sekali. Lahir dari keluarga militer membuat bapakku dididik layaknya seorang prajurit. Setelah kakek nenekku meninggal, bapakku menjadi orang yang paling disegani di keluarga meski bapak adalah anak bungsu dari keluarganya tapi anak-anak budhe paling takut sama bapakku.
Tak terasa 6 jam sudah berlalu, akhirnya sampai juga aku di stasiun Tugu Yogyakarta, aku lahir di Kali Kotak, sebuah desa terpencil di daerah Sleman. Bapak sudah menjemputku lengkap dengan atribut layaknya tukang ojek kebanyakan. Bapakku memang lahir dari keluarga berada tapi naasnya kakekku suka main perempuan, tak teruruslah keluarga bapakku. Meski kakek seorang tentara berpangkat kapten tapi anaknya tak ada yang meneruskan sekolah hingga ke bangku SMA, hanya budheku saja yang hampir menamatkan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) sayangnya kakekku keburu tergoda wanita lain dan hancurlah rumah tangga kakek nenekku.
“Kamu belum makan to? ini bapak beliin bakmi goreng Pak Yanto”, kami memang dari keluarga sederhana tapi bapak selalu menomorsatukan anak, apalagi masalah makanan. Tak ayal tubuhku tambun.
“Emang ibu ndak masak, Pak? kan sayang buang-buang uang”, aku mencoba untuk menyadarkan bapak kalau kami adalah keluarga pas-pasan.
“Sudahlah, kamu cuma bapak suruh makan aja susah”, bapak memang selalu tak memberiku ruang untuk berpendapat. Dari keempat anak bapak, akulah yang paling disayang dan aku juga yang paling sering membuat bapak murka.
Rumah sepi kala aku membuka pintu seraya mengucapkan salam. Rupanya ibu sedang pengajian di Mushola kampung. Mandi kemudian makan bakmi goreng kesukaanku. Dengan mulut penuh dengan makanan dari tepung itu aku bercerita tentang kuliahku yang membosankan, teman-teman yang selalu menertawakanku seolah-olah aku adalah bahan lelucon mereka, dan cerita tentang ospek yang tak kunjung usai.
Seharian penuh aku lalui dengan melepas rindu pada rumah dan seluruh isinya. Sore hari biasanya kami sekeluarga kumpul di ruang tengah, mendiskusikan apa saja yang ringan-ringan hingga waktu maghrib tiba kami mengantri kamar mandi untuk berwudlu kecuali bapakku. Tidak lupa aku mengingatkan bapak untuk sholat walaupun aku tahu kalau bapak pasti tidak akan mau. Ini yang membuat aku pilu, selalu pilu. Berbagai macam cara aku ajak bapakku untuk sholat tapi masih saja beliau enggan. Mulai dari sindiran halus sampai tidak halus sekalipun tak mempan. Sampai pernah suatu hari bapak marah padaku karena aku terlalu memaksa untuk sholat. Setiap tahajud aku selalu berdoa kepada Allah supaya Allah mau membuka hati bapakku.
***
“Bu, aku pengen merubah penampilanku, aku pengen pakai kerudung besar tapi aku malu orang-orang menertawakanku. Nanti dikiranya aku sok alim”,rengekku pada ibu yang tengah menjahit kain.
Ibu menghentikan jahitannya,”Kenapa harus malu untuk menjadi lebih baik? Ibu juga ingin sehari-hari menutup kepala ibu seperti yang kamu inginkan, Nduk”. Kaget bercampur haru, aku memeluk ibu erat. Air mataku menetes, langsung kuseka, aku tidak ingin ibu tahu kalau anak perempuannya sudah pandai menangis lagi. Karena dewasa ini aku memang jarang menangis kecuali menonton film India. Ibu melepaskan pelukanku, pergi ke kamarnya dan memanggilku,”Kamu pengen paki rok kan, Nduk? Ibu punya banyak, bawalah dua dulu. Nanti kalau kamu pulang kampung lagi ibu belikan rok lagi”, sekali lagi kupeluk ibu.
***
Malam sepertinya cepat sekali, ternyata tadi siang ibu menjahit kerudung untukku, kerudung yang tidak seperti kelambu. Kerudung yang menutupi mahkotaku. Dengan rok hitam milik ibu dan setelan putih milik kakakku nomer satu yang sekarang sudah bekerja di pabrik rokok. Kucium pipi dan tangan ibu, seperti enggan untuk melepaskannya tapi waktulah yang mengharuskan semuanya berjalan dengan cepat. Ternyata bapak tidak jadi mengantarku dengan alasan yang rumit daan sulit aku cerna. Setelah kucium tangan bapakku aku diantar Lek Karyo menggunakan motor bututnya. Malam ini aku berjanji aku harus menjadi diri yang baru, aku tidak mampu untuk menyia-nyiakan tanggung jawab yang diberikan orang tuaku. Aku terlalu sayang kepada kedua orang tuaku. Akan kukubur dalam-dalam mimpiku untuk menjadi sastrawan. Jika belajar keras pun tak akan mengubah IP ku maka aku akan belajar dengan temanku yang pandai. Setidaknya aku akan membuka sedikit diriku, aku yakin mereka adalah orang baik, hanya logat bicaranya saja yang “sedikit” kasar bagiku. Perjalanan pulang penuh dengan wajah teduh ibu,”Tuhan, jaga wanita itu. Sungguh, aku rela jika harus menumpahkan darahku untuk kebahagiaan wanita itu”, doaku dalam hati yang kemudian aku amini sendiri. Bagaimana dengan bapakku? Entahlah, aku hanya terus berdoa semoga Allah membukakan hati bapakku. Benci iya, tapi sayang sangat. Dan rasa benciku tertutupi oleh sayangku yang teramat dalam.
Pagi buta aku sampai di Surabaya, kota tempat yang indah ketika aku merasakan bahwa disinilah aku akan mendeklarasikan diri menjadi anak yang berbakti dan bertanggung jawab kepada kedua orang tuaku. Kosan masih sepi, anak-anak sepertinya belum semua yang balik ke kosan. Setelah mandi kubaringkan sejenak badanku sebelum harus berangkat untuk mengejar harapan. Ganti pakaian dengan baju “baru” kebanggaanku. Melangkah dengan gontai diiringi senyuman setiap melewati orang yang melihat ke arahku. Gang pasar itu berubah layaknya red carpet yang dengan bangganya aku berjalan melewati gang itu. Ternyata bukan kebahagiaan yang membuat kita bersyukur tapi bersyukurlah yang membuat kita bahagia.
Kutunaikan maghribku di mushola dekat kos yang berjarak tak lebih dari satu jengkal, kosanku memang bersebelahan dengan mushola. Sesudah sholat kuputuskan untuk pulang. Belum sempat kulepas mukenaku ponsel monochrome ku bordering.
“Assalamu’alaikum, Nduk” suara yang selalu aku rindukan .
“Wa’alaikumsalam, apa apa Bu?”
“Sampai Surabaya jam berapa? Kok ndak kasih kabar rumah?”
“Pukul 05.00, aku kira Ibu sudah tahu kalau aku sampai sini puku 05.00”
“Ya sudah, itu ndak penting, Ibu punya berita bagus. Bapakmu mau sholat, Nduk”
Kaget bercampur haru membuat tangisku pecah seketika. Lama aku tak bicara membuat ibu kebingungan.
“Nduk…Nduk…kamu kenapa? Jangan-jangan kamu tidur ya?”, ibu terus kebingungan,”Owalah, ditelepon orang tua kok malah ditinggal tidur, yowes jangan lupa belajar, jangan tidur terus, ndak maju-maju nanti kamu, Nduk”
Nut..nut..nut..nut..
Tiara Widodo
0 komentar:
Posting Komentar