Post View:

Cerpen Islami Arief Jadi Pengantin

Pagi masih berkabut. Embun masih bergelayut manja di tepian rerumputan seolah enggan untuk turun membasuh tanah. Hunian serasa sepi ngelangut meski samar-samar terdengar suara beberapa ibu tadarus bergantian di sebuah mushola.

“Bu…Ibu…Assalamualaikum!”
Seorang pemuda nampak bersijingkat mendekati pintu. Tak ada jawaban.
“Bu…Ibu…Assalamualaikum!” ia mengulang sapa. Tetap tak ada jawaban tapi pintu berkerenyit separuh terbuka.
“Ya ampuuun Adeeen! Kemana saja selama ini Den. Ibu dan Bapak mencari kemana-mana lho! Kasihan mereka!”
“Ibu kemana Bi?” pemuda yang di panggil Aden itu tak menghiraukan pertanyaan perempuan paruh baya si pembuka pintu tetapi malah mengajukan pertanyaan lain.
“Ibu pergi tadarus di mushola, Bapak ada di dusun sebelah. Bibi mau nanya, Aden dari mana saja?”

Tanpa menjawab, pemuda tadi melenggang memasuki rumah. Sebenarnya ia sangat ingin bertemu dengan sang Ibu tapi rasa lelah begitu menguasai seluruh jiwa dan raga.

Arief tertidur dan ia tersenyum dalam tidurnya. Ia melihat Ibu tertawa gembira, menari-nari bersamanya. Arief sangat suka melihat cahaya di mata Ibu, cahaya kegembiraan yang tidak pernah ditemuinya di alam nyata. Sosok Ibu yang ia lihat, adalah sosok yang selalu menyembunyikan kesedihan. Ibu selalu tersenyum di depan Arief, bergembira, bercanda tapi dibelakang itu, ia memergoki Ibu melamun, bersedih.

Dulu Arief tak merasakan semua itu sebagai suatu siksaan batin, semakin ia beranjak dewasa, semakin tahu bahwa ibu menderita karena ayah. Ibu memang tak pernah mengeluhkan, dari pancaran mata ibu ia tahu bahwa ibu tak bahagia. Ibu merasa menjadi wanita yang tersisihkan, tak dihargai.

Ayahnya, seorang juragan yang paling kaya di dusun . Juragan kelapa dengan tanah berhektar-hektar. Sebelum Arief lahir ke dunia ini, ayahnya itu menikah lagi dengan Lastri, gadis dari dusun sebelah. Alasannya adalah karena Ibu tak dapat memberikan anak laki-laki, ke empat kakak Arief semuanya perempuan. Sebagai wanita kampung yang nerimo, ibu tak berani menentang. Ia pasrah. Tapi ayah semakin bertingkah. Apalagi ayah memiliki semua yang diinginkan wanita. Belum lagi Lastri memiliki anak, ayah menikah lagi dengan Weni, masih satu dusun dengan Ibunda Arief. Ibu tetap nerimo, meskipun gerah karena semua warga dusun memperbincangkan poligami suaminya.

Dulu Arief kecil sangat mendamba ayah. Apalagi saat-saat ramadhan tiba. Begitu ingin ia bisa shalat tarawih bersama ayah. Seperti layaknya anak laki-laki lain yang ada di dusun. Tarawih di samping ayah bersama jamaah lain. Arief kecil tak punya pengalaman itu. Kalau saja ibu tak membujuk, rasanya malas untuk ikut shalat tarawih. Ingin berada di depan, di shaf laki-laki, ia belum berani. Ia shalat di samping sang Ibu dan empat kakak perempuannya yang semuanya mengenakan mukena. Ia jengah. Tapi ia tak bisa mengeluhkan karena ibu akan menyuruhnya untuk mencoba ke shaf depan. Sendirian di shaf laki-laki. Arief tak berani. Dimatanya, semua anak laki-laki didampingi oleh ayah mereka. Karena ayah tak ada disampingnya, ia merasa takut.
Tak hanya itu yang dirasakan oleh Arief kecil, dalam segala hal ia merasakan timpang. Tak lengkap. Ia sering mendengar cerita kawan-kawannya tentang ayah yang galak, yang suka memukul karena kebandelan anaknya. Ada juga cerita tentang ayah yang baik, yang suka membawa anaknya bermain, berenang, memancing, memanjat, bahkan berburu. Arief tak memiliki pengalaman seperti itu, sosok ayah yang ia lihat adalah sosok laki-laki yang hanya datang untuk memberikan uang nafkah pada ibunya, lalu pergi lagi menemui istri lain yang lebih muda dan lebih memesona. Semakin dewasa Arief menjadi tahu kalau alasan ayahnya menikahi perempuan lain karena ingin mendapatkan anak laki-laki adalah bohong semata. Buktinya setelah ia lahir, ayah tetap bersama wanita-wanita lain. Menikahi banyak wanita merupakan prestasi bagi ayah. Arief tahu, ayah bangga karenanya.

“Rief….Arief!” Arief merasa ada sentuhan dirambutnya. Pasti Ibu. Ingin sekali ia membuka mata namun masih terasa amat berat. Usapan lembut jemari Ibu malah membuat ia lena dan meneruskan mimpi. Ia melihat lagi Ibu yang tertawa-tawa gembira bersamanya menari-nari di nirwana. Ibu mendendangkan sesuatu. Arief semakin terlena dalam rengkuhan kasih sayang itu. Semakin lena, membuat matanya enggan terbuka. Arief merindukan sentuhan seperti ini.

***

“Arief tak lama berada disini Ibu. Arief hanya datang untuk mengucapkan salam perpisahan. Juga bakti terakhir sama Ibu!”
“Maksudnya apa nak? Bukankah kamu pergi hanya untuk sekolah? Kenapa bakti terakhir, dan salam perpisahan?”
“Ibuuu…berbahagialah Ibu, anakmu ini, menjadi laki-laki yang terpilih untuk menjadi pengantin!”
“Pengantin? Bukankah tujuanmu pergi ke luar dusun ini untuk sekolah yang lebih tinggi. Baru juga lulus SMA, belum bekerja, mau menikah?”
Arief menatap ibunya. Tersenyum. Ibunya ikut tersenyum.
“Kamu itu…le, kenal sama perempuan mana…kok langsung ingin menikah? Katanya mau sekolah, tak ingin mengandalkan harta ayah. Lha kalau menikah sebelum memiliki pekerjaan tertentu bukankah sama saja dengan mengharapkan bantuan ayahmu yang memiliki perkebunan berhektar-hektar itu?”

Arief tak menjawab. Ia hanya memeluk ibunya erat. Biarlah ia tak perlu menerangkan panjang lebar karena ia sangat yakin semua yang ia lakukan untuk kebahagiaan ibu. Ia akan menjadi pengantin bukan dengan wanita manapun. Ia akan menikahi syahid, menikahi maut. Dari sekian banyak lelaki, ia yang terpilih untuk menjadi pengantin. Waktunya tidak akan lama dari hari ini. Lokasi sudah ditentukan. Ia mendapat cuti satu minggu untuk mengucap salam perpisahan pada keluarga. Mata Arief menerawang, teringat seorang teman yang telah berpulang karena terpilih menjadi pengantin beberapa waktu yang lalu. Ia yakin, Dani temannya itu kini telah berada di syurga, seperti yang selalu dibicarakan dalam kajian mereka. Dani telah sukses, menjadi pengantin maut. Sebentar lagi ia akan menyusul.

Semua untukmu Ibu. Ibu akan memiliki anak yang mati syahid, yang akan membawa ibu bersama menuju syurga. Ibu tak akan menderita lagi. Ibu akan bahagia. Ustad Jabbar el Amin, amir (-pimpinan jamaah-) di tempat ia latihan pernah bilang bahwa ganjaran bagi seorang ibu yang memiliki anak mati syahid adalah syurga.

“Ya sudah le, nanti biar Ibu bicarakan dengan ayahmu mengenai keinginanmu itu. Biar kita bisa mempersiapkan lamarannya. Walaupun Ibu merasa kamu masih terlalu muda le, belum genap delapan belas tahun! Cukup umur sih untuk menikah, tapi belum cukup dewasa!”
Arief tersenyum, merenggangkan pelukan. Ia yakin, ibunya tak sepaham. Tapi ia yakin akan pemahamannya sekarang. Ia memang tak pernah memiliki ayah yang mengajarinya ilmu-ilmu agama, tak mengajarinya ilmu-ilmu kedewasaan. Ia beruntung telah di rekrut oleh Ustad Jabbar el Amin untuk menjadi santrinya. Hanya tiga bulan, tapi ia sudah banyak menguasai ilmu-ilmu ruhani. Bahkan Ustad Jabbar sendiri yang memberikan ilmu. Arief merasa memiliki seorang ayah, ia selalu pergi bersama-sama. Shalat, berburu, berlatih. Cerita-cerita kawan-kawan yang dulu hanya bisa ia dengar dan lamunkan kini bisa ia rasakan bersama Ustad agung itu. Arief seperti menemukan ayah. Dan ia menelan semua petuah dan ajaran yang diberikan. Arief tersanjung. Arief ingin seperti Dani, temannya yang sudah shahid setelah terpilih menjadi pengantin. Dan saat itu akan segera tiba. Ustad Jabbar memenuhi janjinya untuk menjadikan Arief sebagai pengantin.

“Tapi ayahmu baru berkunjung kesini minggu depan, le. Jadi sebaiknya pernikahanmu itu di undur, bagaimana?”
Sekali lagi Arief tak menjawab. Ia hanya tersenyum dan memeluk ibunya lebih erat. Memang, ia akan menjadi pengantin, tapi tentu saja bukan menjadi pengantin seperti yang ibunya bayangkan. Sudahlah, tak perlu membicarakan panjang lebar dengan ibu karena ia yakin, ibu tak bisa memahami.

***

Hari-hari berlalu. Ibu bimbang, ayah tak kunjung datang! Ingin mendatangi rumah Lastri, ia takut suaminya tidak berada disana. Pun ketika ingin mencari suaminya di rumah Weni, meski masih satu dusun, ia malas bertemu dengan madunya. Lagipula ia juga takut kalau suaminya itu tak berada di rumah Weni! Sungguh benar-benar membingungkan. Padahal ia ingin segera membicarakan atau lebih tepatnya meminta pertimbangan atas permintaan Arief. Semakin hari ia semakin tak faham. Yang dibicarakan oleh Arief setiap harinya hanya tentang pengantin…pengantin..dan syahid. Ibu tak paham. Apa hubungannya pengantin dan mati syahid? Arief selalu membicarakan itu. Berpesan supaya ibu menjaga diri baik-baik, mendoakannya. Berpesan supaya Ibu tak terlalu mengingat kesedihan karena dimadu. Ada kebahagiaan lain yang lebih hakiki. Lebih abadi daripada kebahagiaan disisi seorang suami. Kebahagiaan di sisi Tuhan. Kebahagiaan di alam akhirat. Karena sesungguhnya hanya Tuhanlah pemilik cinta sejati semua manusia. Begitu selalu yang dibicarakan Arief Mau jadi pengantin tapi tak pernah mengusahakan atau setidaknya menyuruh ibunya bersibuk untuk mempersiapkan sesuatunya seperti barang-barang hantaran, mahar, atau uang. Arief….Arief…anak itu memang selalu penuh teka-teki.

Penuh teka-teki atau ngelantur? Semakin hari semakin tidak bisa dipahami oleh Ibu. Apalagi setelah ramai dibicarakan orang tentang tewasnya gembong teroris bernama Jabbar el Amin. Arief seperti orang gila. Setiap hari kerjaannya membeli surat kabar. Melahap setiap berita-berita.

“Ibu…aku bagaimana ibu? Aku bagaimana?” tangisnya meledak suatu ketika, membuat ibu serasa ingin tertawa. Kontradiktif dengan penampilan dan kesan yang secara cepat ingin ditampilkan oleh anaknya itu. Meski masih terlihat belia, Arief memelihara kumis dan janggot yang terlihat mulai melebat.
“Tenang nak! Ayah pasti akan datang, ia pasti setuju dengan pernikahanmu itu. Pasti!”
“Bukan..bukan itu Bu! Bukan!” Arief tergugu di pangkuan Ibu. Tingkahnya berbanding terbalik dengan saat kedatangannya beberapa minggu yang lalu. Ibu seolah baru bertemu dengan Arief yang benar-benar anaknya. Bukan Arief yang sok dewasa, sok bicara pernikahan, sok berdakwah, sok lebih tahu tentang agama.
“Ibu lihat gambar ini Bu? Dia pimpinan Arief, dia yang akan menjadikan Arief sebagai pengantin, dia yang menuntun Arief..tapi dia telah tiada.. Dia di tembak, Bu! Sialan…sial…sial…!” Arief menendang apa saja yang ada di depannya.
“Arief…Arief..! Tenang dong! Tenang!” meski tak terlalu mengetahui tentang politik, tentang kisruh perterorisan, ibu selalu mengikuti berita itu. Apalagi ketika Arief pulang dengan penampilan yang tak disangka-sangka. Ibu takut Arief anaknya mengikuti jejak seorang Dani yang ia ketahui lewat berita. Yang dinyatakan sebagai pelaku bom bunuh diri. Ah…akhirnya ia bisa menarik benang merah dari pengantin yang sering dibicarakan oleh anaknya itu.
“Arief bener-bener ingin mati syahid, Ibu. Arief ingin jadi pengantin berikutnya!” Arief kembali terduduk, semakin membenamkan kepala dalam pangkuan Ibu . Ada air mata yang mengalir dari sudut mata Arief. Mengalir perlahan. Ibu yakin ada alasan mengapa Arief terlihat begitu kecewa. Sampai-sampai berita tertembaknya seorang gembong teroris yang membuat seluruh rakyat Indonesia bergembira justru membuat Arief anaknya menangis tersedu sedan. Pasti ada alasan.
“Ibu…ibu. Maafkan Arief…Sorga itu…sorga itu..ah..ah..sialan…sialan…!” teriaknya lebih keras.

Arief kembali mengamuk, menendang apa saja yang ada dihadapannya. Ibu yakin, selama ini otak Arief anaknya telah di cuci oleh seseorang di luar sana. Dan ia mempunyai kewajiban untuk mengembalikannya seperti semula. Menjadikan Arief kembali menjadi sebenar-benarnya Arief, anaknya.

Cirebon, 28 mei 2012

Eliyana Zbd

0 komentar:

Posting Komentar

 

http://cerita-cerita-di.blogspot.com Copyright © 2012-2013 | Powered by Blogger