Post View:

Cerpen Islami Keikhlasan Cinta

Siang ini langit cukup mendung, matahari telah sedari tadi menyembunyikan diri di balik hitamnya awan tebal. Sekalipun begitu, hujan tak juga turun menyiram bumi. Angin bertiup sepoi-sepoi, sejuk nian terasa. Mengusap wajah-wajah lelah panitia bedah buku yang sejak beberapa minggu lalu mengurus segala sesuatu guna berjalannya acara ini.

Kini wajah-wajah itu terlihat kembali ceria, menyambut para peserta bedah buku, yang mengalir berdatangan. Dengan senyum mengembang. Dan salam terucap.

“Ukhti Fiya, tolong ambilkan sertifikat peserta bagian akhwat yang di bawa Akhi Firman!” Pinta Mbak Fitri padaku. Aku mengangguk, lalu mulai berjalan mencari di mana Akhi Firman sekarang berada.

“Hafidz, antum melihat Akhi Firman?” tanyaku saat melihat Hafidz melintas. Ditangannya tergenggam sebundel tali rafia.

“Mas Firman? Dia ada di meja daftar ulang sama Akhi Rosyid.”

“Waduh…” desisku.

“Ada apa Ukh?” tanya Hafidz melihat responku.
“A… bisa minta tolong, mintakan sertifikat peserta akhwat padanya, ya… saya kan tidak mungkin ke meja daftar ulang ikhwan…” ujarku sambil memohon.

“Waduh, Afwan jiddan Ukh, ini saya lagi di tunggu Ustadz Muhsin, mau benerin hijab di pintu utara.”

“Tapi… ah ya sudahlah… Jazakalloh khoir, biar saya kesana sendiri…”

“Baiklah saya menemui Ustadz Muhsin dulu, Afwan sebelumnya.” Hafidz pun berlalu. Aku hanya mengangguk menjawab pamit Hafidz. Yah… mau bagaimana lagi, aku sendiri yang harus kesana. Cepat kulangkahkan kakiku menuju meja daftar ulang bagian ikhwan sebelum peserta yang datang semakin banyak, dan akhirnya nanti justru akan menyulitkanku sendiri.

Sesampainya di pintu masuk area ikhwan, tiba-tiba saja langkahku terhenti, dadaku serasa bergemuruh, bergejolak demikian hebat, tubuhku terasa panas dingin, tangan dan kakiku bergetar, sudah sejak lama aku tak merasakan perasaan ini, kini, setelah 6 tahun berlalu, perasaan ini kembali ku rasakan.

Kutajamkan pandangan mataku menatap sosok tegap yang kini tengah berbincang dengan Akhi Firman, dan detik itu pulalah ku putuskan, ku urungkan niatku mengambil sertifikat peserta akhwat pada Akhi Firman, akan ku gantikan tugas ini pada yang lain. Aku tak pernah menyangka akan kembali bertemu dengan lelaki yang sempat mengaduk-aduk perasaanku kini tengah berbincang dengan Akhi Firman.

Tanpa sadar, sebuah nama terucap dari bibirku. “Hawari…”

***
Entah setan darimana yang membujukku, hingga aku berani menulis sebuah surat pernyataan cinta pada adik kelasku. Sungguh, aku sendiri tak tahu, dengan kesadaran penuh kutulis sebuah surat yang menyatakan perasaan cintaku pada adik kelasku, Hawari. Padahal dulunya aku sungguh sangat membencinya. Mungkin benar pepatah jawa yang menyatakan “Gething nyanding” dan “Roso tresno jalaran soko kulino”, dan mungkin saat itu aku sedang terkena karma itu.

Pertemuan pertamaku dengannya, saat aku sedang mengikuti lomba pidato bahasa arab antar kelas di sekolahku.

Suatu hari saat aku sedang duduk menunggu giliranku di panggil, seorang anak laki-laki adik kelasku mendekatiku, ia bertanya padaku.

“Namanya siapa Mbak?”

“Aufiya’ kenapa?” sambil terus fokus mengulang teks pidato ku jawab pertanyaan itu.

“O… jadi ini tho yang namanya Mbak Aufiya, eh Mbak kan yang selalu menang lomba pidato bahasa arab itu, wuih… wah, aku mau liat deh nanti pas Mbak Aufiya maju…” ujarnya sambil nyengir. Tentu saja responnya itu membuatku mengerutkan kening.

“Eh, biasa aja kalii…” sahutku. Ia pun kembali nyengir. Tak berapa lama giliranku pun tiba, seperti biasa, dengan kepercayaan diri yang penuh, kata demi kata meluncur dari bibirku, dengan semangat menggebu-gebu, ku tuturkan ayat-ayat Alloh, sesekali mataku menangkap si adik kelasku itu menatapku penuh kagum, ah… sebenarnya sungguh, aku sangat risih jika ada orang yang sangat terkagum-kagum dengan prestasiku, aku merasa sangat risih jika ada orang yang mengelu-elukanku, bahkan tak jarang teman-teman menjauhiku hanya karena iri dengan guru-guru yang kasih sayangnya berbeda, antara memperlakukanku dengan yang lain.

Beberapa saat kemudian hasil dari lomba-lomba yang diselenggarakan hari itupun di umumkan, dan seperti yang ku duga, juara 1 kembali ku duduki. Bukan bermaksud sombong, sungguh, tapi itulah yang terjadi.

“Mbak Aufiya’, aku sudah menduga, Mbak pasti menang. Gila ternyata keren banget, ga salah deh kalo juri milih Mbak jadi pemenangnya. Traktirannya dong Mbak…” seru si adik kelasku itu, aku mengerutkan kening, melihat perilakunya padaku,
Sok kenal banget sih ni anak… baru juga ketemu dan tau namaku beberapa jam yang lalu, udah minta traktir. Batinku kala itu. Aku pun tak menanggapinya, sekali lagi bukannya aku sombong atau apa, beberapa alasan yang membuatku lebih memilih tak menanggapinya, pertama, karena memang aku tidak suka di puji-puji seperti itu, ke dua, sebenarnya selama ini aku sangat anti dengan yang namanya laki-laki yang bukan siapa-siapaku, ke tiga aku memang tak pernah menanggapi laki-laki manapun yang hanya bermain-main saja denganku. Karena prinsip bukan muhrim yang ku pegang teguh sebagai pedomanku berbaur di sekolah umum seperti ini akan selalu menjadi prinsip hidupku.

Terserah siapapun mau mengatakanku apa, prinsip yang kupegang memang seperti itu, sebaliknya dengan teman-teman perempuan, aku tak pernah memilih-milih, siapapun itu, dengan berbagai latar belakang, aku tetap berteman dengan mereka.

Kembali pada permasalahan awal. Si adik kelas yang belakangan ku ketahui namanya Hawari itu, terus saja mendekatiku, di setiap perkumpulanku dengan teman-temanku, pasti selalu ia sempatkan mampir di antara kami, apa lagi ia cukup akrab dengan teman-temanku yang lain. Tak ada masalah baginya jika ingin bergabung dengan teman-temanku. Apalagi ia tipe laki-laki yang imut, dan menggemaskan buat teman-temanku. Tapi aku tetap pada prinsipku, ia bukanlah mahramku, dan aku tak boleh begitu dekat dengannya.

Hari-hari berlalu, sikapnya padaku semakin menjadi, tak pernah sekalipun ia absen menyapaku di sekolah, menggodaku dengan mengungkit-ungkit prestasiku, dan yang membuatku sangat risih dan kebencianku memuncak, pada suatu hari ia mengungkapkan perasaannya padaku,

“Kenapa sih kamu tuh selalu aja gangguin aku, aku risih tau nggak?!!” seruku kala itu, tanpa ku duga, respon akan gertakkanku, ia mengatakan perasaannya yang membuatku semakin benci padanya.

“Karna aku suka sama Mbak Aufiya!” serunya lalu meninggalkanku. Aku terdiam,
Ah… dasar anak kecil, sudah mikir cinta. Baru juga kelas dua SMP, udah nembak kakak kelas.
Aku tak begitu memikirkan perkataannya itu, hari-hari berlalu, sejak kejadian itu, aku jarang sekali melihatnya, ia tak lagi bergabung dengan teman-temanku, ketika bertemu pun ia tak lagi menggodaku, boro-boro menggoda, menyapa saja tidak. Dan aku pun mulai merasa tenang dengan kehidupanku.

Tapi selang beberapa lama, justru aku merasakan sebuah rasa kehilangan, aku merasa ada yang hilang dari hari-hariku, dan aku sadar, ternyata aku merindukan sapaan Hawari, aku merindukan celoteh-celoteh menyebalkan Hawari, aku merindukan suaranya, aku merindukan senyum liciknya ketika menggodaku. Aku baru sadar, bahwa aku pun mulai menyukainya.

Di saat yang sama, ku rasakan, Hawari seolah sengaja menjauhiku. Lama kelamaan aku mulai tak tahan, itulah, entah setan dari mana, malam itu kutulis sebuah surat kaleng yang isinya tentang ungkapan perasaan cinta yang ditujukan untuk Hawari tapi dalam surat itu juga ku tulis, aku tak ingin berpacaran dengannya, dan itu tak akan pernah ku lakukan. Aku menulis surat itu bukan bermaksud apa-apa, aku hanya ingin mengungkapkan rasa yang selama ini terpendam menyesakkan dada , pagi-pagi sekali aku berangkat kesekolah, dan tanpa pikir panjang aku masuk kekelas Hawari dan meletakkan surat itu di laci mejanya.

Tanpa ku ketahui, ternyata hari itu kelas Hawari di adakan rolling tempat duduk, tentu saja surat yang kuletakkan di laci Hawari di temukan oleh penghuni baru kursi itu.
Sontak kelas Hawari ricuh, berita tentang di temukannya surat kaleng itu menyebar ke seluruh pelosok sekolah.

Keesokan harinya, Sari menemuiku,
“Fiya, yang naruh surat di mejanya Hawari itu kamu?” tanyanya.

“Emmm…” aku tak bisa berkata apa-apa,

“Fiya, Hawari maluu banget, kenapa kamu nggak titipin aja ke aku sih? Kan aman jadinya?” ujar Sari padaku. Aku masih terdiam.

“Sari, tolong, jangan sampai ada yang tahu kalau aku yang nulis surat itu, aku… aku nyesel banget, entah setan dari mana yang membujukku hingga aku berani nulis surat itu, nggak seharusnya aku nulis surat itu. padahal aku tahu itu bisa saja mendekati zina, aku tahu itu dosa, ya Alloh… aku .. aku nyesel banget Saa…”

“Tapi Hawari udah tau kalo itu kamu yang nulis….”

“Kok bisa tau?” sambil menyeka air mata, ku dongakkan kepalaku.

“Dia udah ngrasa, kalau itu dari kamu, dia hafal tulisan kamu,”

“Trus responnya gimana? Dia marah?” Tanyaku, Sari diam, tanpa ia menjawabpun, aku tahu jawabannya. Aku mendesah. Tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan, rasa malu, bersalah takut campur menadi satu. Aku sangat malu, apa lagi jika nanti bertemu dengan Hawari. terserah dia akan mengiraku perempun murahan, berani mengungkapkan perasaanya pada laki-laki, ia tak tahu! Aku sangat menyesal melakukan itu. Aku hilaf, benar-benar khilaf.

***

“Ukhti, mana sertifikatnya?” Seru sebuah suara membuyarkan lamunan masa laluku. Aku tergagap, mataku masih tertuju pada sosok Hawari, kini ia tumbuh menjadi seorang ikhwan yang sungguh menawan.

“A… Afwan Mbak Fit, Mbak Fitri saja yang mengambil ya… saya tidak bisa.. sekali lagi afwan…” Kataku sambil berlalu meninggalkan Mbak Fitri yang masih terheran-heran dengan sikapku. Aku tak sanggup jika harus bertemu dan bertatap muka dengan Hawari, sungguh tak sanggup. Bayangan masa lalu yang memalukan, akan kembali menari di pelupuk mataku.

Jika memang hawari bukan jodohku. Biarlah hati ini terbuka untuk yang lain jika sudah saatnya nanti. Ya Alloh, jauhkan hati ini dari hal-hal yang membuatMu murka.

Hidayati Watsaaqoh

0 komentar:

Posting Komentar

 

http://cerita-cerita-di.blogspot.com Copyright © 2012-2013 | Powered by Blogger