“Mbah tolong saya, lancarkanlah usaha saya kali ini. Saya janji kalau kali ini berhasil, saya akan memotongkan ayam cemani untuk Mbah dan membawakan makanan yang lebih banyak dari yang sekarang. Tolong ya Mbah, tolong saya,” ucap seorang wanita setengah baya sambil merapatkan kedua tangannya didepan dada serta mata terpejam.
Dihadapan wanita tadi tampak sebuah tampah berisi makanan-makanan dari mulai nasi, ayam goreng, tempe tahu, kue-kue, hingga telur rebus. Tak lupa kopi hitam dan rokok lisong juga terselip diantaranya. Merasa cukup dengan ‘permohonannya’ wanita itu pergi.
Itulah keseharianku yang selalu didatangi orang-orang. Bawaan mereka hampir semuanya sama, membawa makanan yang tidak bisa aku jamah. Aku letih dengan kehidupanku, yang semakin tua bukannya semakin berguna tapi malah dipergunakan untuk hal yang tidak-tidak. Ingin rasanya aku berlari dan meninggalkan tempat ini, tapi hal itu tidak mungkin, tubuhku tertanam begitu jauh didalam bumi.
***
Gerombolan orang terlihat mendekat penuh kehidmatan tak lupa beragam makanan mereka bawa dalam beberapa tempat. Asap kemenyan dan dupa menyebar di udara menambah kesan angker daerah itu.
Melihat kedatangan mereka, aku hanya bisa menyambut dengan kesedihan dan sakit tak terperi, aku tahu apa yang akan mereka lakukan, tahu dengan pasti dan jelas. Namun, aku tidak bisa berlari menjauhi mereka, aku tak berdaya.
Terkadang aku benci, mengapa aku harus dilahirkan dalam bentuk seperti ini? Mengapa aku tidak dilahirkan sebagai mahluk yang bisa menolak dan berkata TIDAK pada orang-orang itu? Dan bisa melarikan diri dari keadaan ini? Tapi sesaat kemudian nuraniku berbisik bahwa aku tidak boleh menyalahkan-Nya.
Satu persatu mereka meletakkan bawaan dan mulai berdoa dengan dipimpin seseorang yang terlihat tua dan renta diantara mereka untuk mengharap sesuatu, ntah apa, bisa keselamatan, rejeki, jodoh atau apalah, aku tidak tahu dan tidak mau tahu.
“Ya Allah, bukakanlah hati dan pikiran mereka agar mereka dapat melihat keagungan dan kebenaran-Mu,” doaku lirih.
“Tapi siapa pemuda yang berdiri jauh disana itu? Setiap kali orang-orang ini datang, dia selalu ada, namun ia berdiri terpaku dikejauhan. Dia hanya memandangiku dan orang-orang ini dengan tatapan……. Ntahlah, mungkin kasihan. Tapi apa gunanya rasa kasihan itu jika ia hanya berdiam diri,”
Aku heran mengapa mahluk pandai dan sempurna seperti manusia tidak pernah menggunakan otaknya bahwa aku bukanlah seperti yang mereka pikirkan selama ini. Aku hanyalah mahluk-Nya yang lemah sama seperti mereka yang tidak punya hak apa pun untuk memberikan ‘sesuatu’ dalam hidup ini.
***
Mereka datang lagi dengan membawa lebih banyak pengikut dan beberapa orang dukun yang mereka anggap hebat. “Aku jenuh….. jenuh dengan semua hal ini, aku ingin hidup sebagai mahluk-Mu yang biasa saja tanpa ada embel-embel HEBAT, agar mereka tidak meminta sesuatu padaku yang bukan siapa-siapa ini,”
“Ya Allah, maafkanlah aku, tapi aku benar-benar tidak kuat lagi dengan hidupku saat ini. Jika aku boleh meminta, aku ingin kehidupanku ini berakhir agar kemaksiatan orang-orang ini terhenti,” doaku penuh harap pada Sang Pemilik hidup. Aku merasa lelah, benar-benar lelah.
Dibawah asap mulai memenuhi setiap ruang diudara. Semua sesajen yang dibawa diletakkan tepat dikaki pohon. Ada nasi, ayam, telur, kue-kue jajanan pasar, dan ada juga ayam hidup berwarna hitam yang terkulai lemah terikat tali. Dukun-dukun mulai merapalkan mantera-mantera.
Seorang pria dengan tampang terpelajar duduk tepat dibelakang sang dukun sembari menunduk. Salah seorang dukun itu mengeluarkan pisau dan membaca-bacai pisau tersebut sebelum akhirnya menggorok leher ayam malang itu serta mencipratkan darahnya kepohon. Dukun yang lainnya masih terus mengucap mantera-mantera dengan khusyu’.
Waktu terus berlari, dari hari ke hari orang-orang itu semakin menggila saja, jika sebelumnya mereka hanya memotong seekor ayam malang untuk di korbankan padaku, kini mereka mulai membawa ternak yang jauh lebih besar seperti sapi, kerbau dan kambing. Dalam waktu sekejap tubuhku penuh dengan cairan merah kental yang berasal dari hewan-hewan malang itu. Yang jauh lebih menyakitkan hatiku, diantara mereka tampak beberapa orang berdasi dan ahli ibadah, yang justru seharusnya mengingatkan orang-orang itu untuk tidak melakukan aniaya padaku.
“Ya Allah, apa yang terjadi pada dunia ini, pada orang-orang ini, mengapa pikiran mereka seakan tertutup sesuatu yang sulit untuk dimengerti?,”
“Pemuda itu masih saja menonton pertunjukan ini dari kejauhan. Mengapa ia tidak mendekat dan mengusir orang-orang ini? Mengapa ia hanya diam?,”
Merasa sudah cukup dengan ‘upacaranya’ orang-orang ‘pintar’ itu membubarkan diri dan meninggalkan pohon besar yang bersimbah darah serta berbau anyir. Pemuda yang biasanya mengamati dari kejauhan kini mulai mendekat, sebuah alat tergenggam ditangannya. Pemuda yang selalu bersembunyi dibalik pepohonan lain kini telah berdiri tegak di hadapan pohon besar yang akarnya menjuntai-juntai ketanah.
“Daripada terus-terusan menimbulkan kemusrikan lebih baik pohon ini ditebang,” gumam pemuda itu sambil memandangi sesajen yang mengelilingi pohon itu. Dengan mengucap basmalah, dihidupkannya alat ditangannya dan dalam waktu singkat suara raungan memekakkan telinga memecah keheningan. Dalam waktu singkat pohon itu jatuh berdebam ditanah dan segera dipotong-potong menjadi beberapa bagian.
“Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, Engkau telah mengirim seseorang untuk ku dan terima kasih juga untuk mu wahai manusia baik hati karena telah membebaskanku dari dunia ini,” ucapku sebelum pergi meninggalkan dunia.
Suara langkah kaki orang-orang terdengar mendekat, mulut mereka mengeluarkan umpatan-umpatan yang menggambarkan kegelisahan hati mereka bila pohon itu dibenar-benar tumbang seperti dugaan mereka. Mungkin mereka mendengar raungan dari mesin yang digunakan pemuda itu.
Massa datang dalam jumlah yang banyak, termasuk orang-orang yang baru saja meninggalkan tempat itu, tanpa banyak tanya mereka langsung menghakimi pemuda baik hati itu. Ia di pukuli secara membabi buta karena telah ‘membunuh’ harapan orang-orang itu.
Mereka sangat marah hingga tanpa sadar mereka telah membunuhnya. Setelah pemuda itu tidak bernyawa mereka meninggalkannya begitu saja, aku pun tidak mengetahui siapa yang mengurus jenazahnya.
Kegilaan manusia pada benda-benda yang menurut mereka bertuah semakin menjadi-jadi dan membuat mereka melupakan Sang Pencipta benda-benda itu. Aku tidak tahu siapa lagi yang akan menjadi korban-korban orang bodoh itu, dan tidak mau tahu. Aku hanya berdoa semoga mereka pun bisa segera tertolong.
Dihadapan wanita tadi tampak sebuah tampah berisi makanan-makanan dari mulai nasi, ayam goreng, tempe tahu, kue-kue, hingga telur rebus. Tak lupa kopi hitam dan rokok lisong juga terselip diantaranya. Merasa cukup dengan ‘permohonannya’ wanita itu pergi.
Itulah keseharianku yang selalu didatangi orang-orang. Bawaan mereka hampir semuanya sama, membawa makanan yang tidak bisa aku jamah. Aku letih dengan kehidupanku, yang semakin tua bukannya semakin berguna tapi malah dipergunakan untuk hal yang tidak-tidak. Ingin rasanya aku berlari dan meninggalkan tempat ini, tapi hal itu tidak mungkin, tubuhku tertanam begitu jauh didalam bumi.
***
Gerombolan orang terlihat mendekat penuh kehidmatan tak lupa beragam makanan mereka bawa dalam beberapa tempat. Asap kemenyan dan dupa menyebar di udara menambah kesan angker daerah itu.
Melihat kedatangan mereka, aku hanya bisa menyambut dengan kesedihan dan sakit tak terperi, aku tahu apa yang akan mereka lakukan, tahu dengan pasti dan jelas. Namun, aku tidak bisa berlari menjauhi mereka, aku tak berdaya.
Terkadang aku benci, mengapa aku harus dilahirkan dalam bentuk seperti ini? Mengapa aku tidak dilahirkan sebagai mahluk yang bisa menolak dan berkata TIDAK pada orang-orang itu? Dan bisa melarikan diri dari keadaan ini? Tapi sesaat kemudian nuraniku berbisik bahwa aku tidak boleh menyalahkan-Nya.
Satu persatu mereka meletakkan bawaan dan mulai berdoa dengan dipimpin seseorang yang terlihat tua dan renta diantara mereka untuk mengharap sesuatu, ntah apa, bisa keselamatan, rejeki, jodoh atau apalah, aku tidak tahu dan tidak mau tahu.
“Ya Allah, bukakanlah hati dan pikiran mereka agar mereka dapat melihat keagungan dan kebenaran-Mu,” doaku lirih.
“Tapi siapa pemuda yang berdiri jauh disana itu? Setiap kali orang-orang ini datang, dia selalu ada, namun ia berdiri terpaku dikejauhan. Dia hanya memandangiku dan orang-orang ini dengan tatapan……. Ntahlah, mungkin kasihan. Tapi apa gunanya rasa kasihan itu jika ia hanya berdiam diri,”
Aku heran mengapa mahluk pandai dan sempurna seperti manusia tidak pernah menggunakan otaknya bahwa aku bukanlah seperti yang mereka pikirkan selama ini. Aku hanyalah mahluk-Nya yang lemah sama seperti mereka yang tidak punya hak apa pun untuk memberikan ‘sesuatu’ dalam hidup ini.
***
Mereka datang lagi dengan membawa lebih banyak pengikut dan beberapa orang dukun yang mereka anggap hebat. “Aku jenuh….. jenuh dengan semua hal ini, aku ingin hidup sebagai mahluk-Mu yang biasa saja tanpa ada embel-embel HEBAT, agar mereka tidak meminta sesuatu padaku yang bukan siapa-siapa ini,”
“Ya Allah, maafkanlah aku, tapi aku benar-benar tidak kuat lagi dengan hidupku saat ini. Jika aku boleh meminta, aku ingin kehidupanku ini berakhir agar kemaksiatan orang-orang ini terhenti,” doaku penuh harap pada Sang Pemilik hidup. Aku merasa lelah, benar-benar lelah.
Dibawah asap mulai memenuhi setiap ruang diudara. Semua sesajen yang dibawa diletakkan tepat dikaki pohon. Ada nasi, ayam, telur, kue-kue jajanan pasar, dan ada juga ayam hidup berwarna hitam yang terkulai lemah terikat tali. Dukun-dukun mulai merapalkan mantera-mantera.
Seorang pria dengan tampang terpelajar duduk tepat dibelakang sang dukun sembari menunduk. Salah seorang dukun itu mengeluarkan pisau dan membaca-bacai pisau tersebut sebelum akhirnya menggorok leher ayam malang itu serta mencipratkan darahnya kepohon. Dukun yang lainnya masih terus mengucap mantera-mantera dengan khusyu’.
Waktu terus berlari, dari hari ke hari orang-orang itu semakin menggila saja, jika sebelumnya mereka hanya memotong seekor ayam malang untuk di korbankan padaku, kini mereka mulai membawa ternak yang jauh lebih besar seperti sapi, kerbau dan kambing. Dalam waktu sekejap tubuhku penuh dengan cairan merah kental yang berasal dari hewan-hewan malang itu. Yang jauh lebih menyakitkan hatiku, diantara mereka tampak beberapa orang berdasi dan ahli ibadah, yang justru seharusnya mengingatkan orang-orang itu untuk tidak melakukan aniaya padaku.
“Ya Allah, apa yang terjadi pada dunia ini, pada orang-orang ini, mengapa pikiran mereka seakan tertutup sesuatu yang sulit untuk dimengerti?,”
“Pemuda itu masih saja menonton pertunjukan ini dari kejauhan. Mengapa ia tidak mendekat dan mengusir orang-orang ini? Mengapa ia hanya diam?,”
Merasa sudah cukup dengan ‘upacaranya’ orang-orang ‘pintar’ itu membubarkan diri dan meninggalkan pohon besar yang bersimbah darah serta berbau anyir. Pemuda yang biasanya mengamati dari kejauhan kini mulai mendekat, sebuah alat tergenggam ditangannya. Pemuda yang selalu bersembunyi dibalik pepohonan lain kini telah berdiri tegak di hadapan pohon besar yang akarnya menjuntai-juntai ketanah.
“Daripada terus-terusan menimbulkan kemusrikan lebih baik pohon ini ditebang,” gumam pemuda itu sambil memandangi sesajen yang mengelilingi pohon itu. Dengan mengucap basmalah, dihidupkannya alat ditangannya dan dalam waktu singkat suara raungan memekakkan telinga memecah keheningan. Dalam waktu singkat pohon itu jatuh berdebam ditanah dan segera dipotong-potong menjadi beberapa bagian.
“Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, Engkau telah mengirim seseorang untuk ku dan terima kasih juga untuk mu wahai manusia baik hati karena telah membebaskanku dari dunia ini,” ucapku sebelum pergi meninggalkan dunia.
Suara langkah kaki orang-orang terdengar mendekat, mulut mereka mengeluarkan umpatan-umpatan yang menggambarkan kegelisahan hati mereka bila pohon itu dibenar-benar tumbang seperti dugaan mereka. Mungkin mereka mendengar raungan dari mesin yang digunakan pemuda itu.
Massa datang dalam jumlah yang banyak, termasuk orang-orang yang baru saja meninggalkan tempat itu, tanpa banyak tanya mereka langsung menghakimi pemuda baik hati itu. Ia di pukuli secara membabi buta karena telah ‘membunuh’ harapan orang-orang itu.
Mereka sangat marah hingga tanpa sadar mereka telah membunuhnya. Setelah pemuda itu tidak bernyawa mereka meninggalkannya begitu saja, aku pun tidak mengetahui siapa yang mengurus jenazahnya.
Kegilaan manusia pada benda-benda yang menurut mereka bertuah semakin menjadi-jadi dan membuat mereka melupakan Sang Pencipta benda-benda itu. Aku tidak tahu siapa lagi yang akan menjadi korban-korban orang bodoh itu, dan tidak mau tahu. Aku hanya berdoa semoga mereka pun bisa segera tertolong.
Ulie Ndut
0 komentar:
Posting Komentar