Post View:

Cerpen Islami Prasangka

Awan putih tercecer dilangit, membentuk gerombol gerombol kecil yang tak bernama. Beberapa diantaranya memang terlihat seperti siluet dan bentuk yang bisa terbaca, namun selebihnya terberai dalam gugusan-gugusan kecil. Langit biru tampak tak keberatan dijadikan tempat bergantung, bergantungkah??? Tampaknya seperti itu jika dilihat dari bawah. Namun siang ini terasa menusuk, terik tak ramah pada penghuni bumi. Beberapa orang yang terpapar langsung dibawahnya, tampak tak mampu menghentikan keringat yang mengalir bagaikan bah. Debu-debu jalanan menyeruak, menyergap setiap pengguna jalan, memaksa mereka untuk menutup hidung atau menyipitkan mata. Aku menguap sambil mencari-cari udara lewat ruas-ruas jemari yang ku kibaskan, namun yang kudapat adalah udara hangat yang tentu saja tak mampu mengusir rasa gerah yang menyergapku. Ah sialan…bosku terlalu pelit untuk memasang sebuah kipas angin kecil untuk anak buahnya, toko kecil ini jadi terasa kian pengap dan kumuh. Seringkali aku mengumpat pada nasib yang tak berbelas padaku dengan menjerembabkanku disebuah toko kecil yang dipenuhi bau cat, semen, plitur dan sejenisnya, yang sesekali waktu membuat rasa mual memenuhi ulu hatiku. Lihatlah toko ini, barang-barang jualan berjejalan tak karuan, saking tak muatnya bahkan ada yang dijejalkan begitu saja, padahal jenis barangnya berbeda, ah…biarlah….aku tak mampu lagi mengurusnya sendirian, yah…sendirian, karena hanya aku satu-satunya pegawai ditoko ini. Penjaga toko dengan profesi serabutan lainnya. Bosku jarang sekali ke toko, dia hanya datang sesekali, untuk melihat pembukuan ataupun sekedar menanyakan stok barang yang ada, setelah itu raib entah kemana, paling-paling juga kerumah istri simpananannya, itupun kalau bisa disebut istri. Dan karena ulahnya itu aku sering kecipratan getahnya, untuk pandai-pandai berbohong jika istri sahnya menanyaiku. Praktis semua kendali toko aku yang memegang, bosku terima beres saja. Namun gaji yang kuterima tak sepadan, sudah dua tahun ini tak ada tanda-tanda atau gejala akan naik, jika kutanyakan….ada saja alasannya, yang ekonomi negara belum stabillah, yang menyalahan pemerintah yang dipenuhi orang-orang oportunis, sampai perbandingan harga cabai, kol dan BBM yang turun naiknya tidak bisa diprediksi, seperti naik turunnya kolor saja, sehingga jika ia menaikkan gajiku sedikit saja bisa mempercepat kolapsnya perusahaan, selalu itu alibinya. Dan jika aku tak bisa mengerti keadaan itu, apalagi sampai minta berhenti bekerja, mau tak mau, dengan berat hati dia akan mencari penggantiku, yang sangat mudah ditemukan karena jumlah pengangguran dan lahan pekerjaan yang tak seimbang, itu katanya. Hmm….ancaman yang terselubung bukan??????

Hanya ada tiga ruko yang berdiri dilahan ini, termasuk toko tempatku bekerja, tokoku tepat ditengah. Sebelah kiriku adalah toko onderdil dan accessories motor, pemiliknya adalah tauke dari Surabaya. Dan disebelah kananku adalah toko sembako milik haji hasan. Kedua orang tua itu lebih dulu menempati lahan ini, aku baru enam bulan disini, sebelumnya tokoku ada dijalan Majapahit. Tapi karena kena gusur untuk lahan hijau, jadi disinilah aku berada sekarang, dengan pekerjaan yang sama, suasana tak jauh beda, bos yang sama pula, nasib?? Sudah kuceritakan diatas.

Kulirik jam bundar usang yang tergantung mengenaskan didinding toko, jarum menunjukkan pukul satu siang, lohor sudah lewat dari tadi. Pembeli sepi hari ini, aku perhatikan begitu pula pengunjung di toko kanan kiriku. Ditempat tauke hanya ada dua motor yang sedang dipreteli untuk diganti velgnya, padahal hari-hari biasanya tak kurang sepuluh bahkan lebih motor yang keluar masuk. Sang tauke hilir mudik sambil memperhatikan montirnya bekerja. Haji Hasan kulihat sedari tadi terkantuk-kantuk menopang dagunya diatas etalase kaca jualannya. Huh….jenuh semakin mencengkramku.

Tiba-tiba dari arah tikungan gang dekat jalan raya, muncul dua orang pengemis, ibu beranak saling bergandengan, si anak kutaksir mungkin usianya sekitar 5 atau 6 tahun. Tampang penampilannya ya selayaknya pengemis pada umumnya, kumal dan lusuh. Siapa bilang modal pengemis hanya membuang rasa malu dan mengulurkan tangan saja, penampilanpun harus menunjang profesi. Yah pengemis sekarang ini bukan lagi keterpaksaan karena tidak keberpihakan nasib, namun sudah menjadi profesi yang menjanjikan dan…basah…. Dua ibu beranak itu berdiri didepan toko Haji Hasan sambil memasang tampang menyedihkan sambil mengulurkan tangan, dan….seperti biasa haji hasan hanya melambaikan tangan menandakan penolakan, wajah datar tanpa ekspresi maupun senyuman. Pengemis itupun berlalu tanpa perlawanan, seperti sudah mahfum dengan perlakuan yang sering diterimanya dari haji hasan. Aku heran, padahal kulihat dua pengemis itu sudah sering jadi langganan mengemis di tempat ini, masak dia tak mengerti juga akan kelakuan haji Hasan, sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir tak pernah terlihat Haji hasan menyedekahkan satu atau dua keping recehannya pada setiap pengemis yang datang. Beberapa pengemis yang datang sudah hafal akan perlakuan yang diterimanya jika mereka mengemis di toko haji hasan, makanya mereka sering tak mampir tapi langsung ke tokoku atau ke toko tauke sebelahku. Sering secara tak sengaja kudengar mereka kasak kusuk menggunjingkan Haji hasan dan kekikirannya, dan tak jarang pula aku mendengar mereka membanding-bandingkannya dengan kedermawanan si tauke. Bahkan penduduk sekitarpun yang kukenal tak jarang menggunjingkan perbedaan yang kontras ini. Aku tidak mengatakan bahwa orang cina tak “lumrah” untuk bersedekah, tidak….akupun tidak mengatakan bahwa seorang haji “wajib” bersedekah…..hanya saja dinegeri tercinta yang kupijak ini, dimana penilaian kebaikan pribadi seseorang kebanyakan dinilai dari “status dan harta” yang menyertainya. Tapi tentu saja tidak semua orang berpikiran begitu. Menurut sebagian….ingat sebagian…..seorang haji itu haruslah bersikap selayaknya seorang haji, yang harus bagus hubungan horizontal dan vertikalnya. Jangankan kepada pengemis, kepada orang-orang yang berkeliling membawa kotak amal, baik itu untuk pembangunan mesjid atau panti asuhan, seingatku….selama aku menempati ruko ini, tak pernah sekalipun kulihat haji hasan meringankan tangannya. Sebetulnya letak utamanya adalah karena title haji yang ia sandangnya. Dimana seorang haji haruslah mampu memberi contoh yang baik tentang “membagi sedikit harta” nya kepada para fakir miskin. Kalau saja haji hasan bukanlah seorang haji, seorang biasa sepertiku, aku yakin tak kan ada orang yang menilainya, memperhatikan setiap geriknya, maupun menggunjingkannya.

Namun sebaliknya, lihatlah si tauke, dia orang cina yang begitu dermawan, tak pernah seorangpun yang datang meminta belas kasihan kepadanya pulang dengan tangan hampa, barang seribu atau dua ribupun pasti didapatnya. Makanya tak heran jika si tauke menjadi idola para pengemis ataupun peminta sedekah. Tidak hanya itu, saban hari jumat, selepas orang-orang pulang dari mesjid, puluhan pengemis sudah mengantri didepan bengkel tauke, karena tiap hari jumat tauke akan membagi-bagikan sembako. Yang kudengar sih, ada 30-40 bingkisan sembako yang dia sediakan tiap jumatnya. Satu bingkisan sembako berisi beras, minyak goreng, mie instant, kopi, gula dan susu kaleng. Yang menjadi pertanyaanku adalah, kenapa mesti milih hari jumat yang notabene adalah hari yang dianggap hari terbaik diantara hari-hari lainnya oleh umat muslim, padahal setahuku tauke adalah non-muslim. Jika kutanya, tauke hanya mengibaskan tangannya sambil tersenyum, tak ada jawaban. Dan yang lebih membuatku bertanya-tanya adalah, bagaimana perasaan haji hasan melihat itu semua, tidakkah terketuk hatinya, atau merasa tersindir oleh kedermawanan si tauke. Karena asal kalian tahu saja, semua sembako yang dibagikan si tauke selalu membelinya dari toko haji hasan, aku sering menggeleng-gelengkan kepalaku melihat fenomena kontras ini. Kalau aku sendiri mah jangan ditanya, terus terang sedekahnya kembang kempis, naik turun, kadang ngasi, keseringan nggak…hi…yah, disesuaikan dengan kantong seorang penjaga tokolah. Tapi setidaknya aku lebih baik dari haji hasan yang tak pernah sekalipun kulihat bersedekah, batinku dalam hati, sambil terbersit sedikit rasa pongah.

Waktu bergulir begitu cepat, tahu-tahu sudah mau lebaran lagi, Ramadhan sudah didepan mata, kurang tiga hari lagi. Hmm…aku harus pandai-pandai mengelola keuangan nih, agar lebaran nanti bisa pulang kampung. Keadaan tak banyak berubah, toko yang kujaga masih begitu-begitu saja, meski tak bisa dibilang sepi. Bengkel tauke seperti biasa ramai pelanggan. Toko sembako haji hasan tak kurang orang hilir mudik keluar masuk.

Ketika memasuki pertengahan puasa, aku dikejutkan berita duka. Penghuni ruko sebelah kananku tutup usia, yaitu haji hasan, kudengar karena serangan jantung. Maka jumat pagi, bergegas aku kerumahnya untuk melayat, yang kira-kira berjarak 500 m dari tokonya. Kulihat tauke sudah berada disana lebih dulu, wajah-wajah sedih dan berduka tampak ramai terlihat dirumah haji hasan, selayaknya aura kehilangan karena ditinggal oleh orang yang dikasihi pada umumnya. Setelah turut menyolati dan mengantarkan haji hasan ke peraduan terakhirnya, aku bergegas kembali pulang ketoko. Aku mengernyitkan dahi ketika kulihat toko sudah terbuka, oh rupanya bosku sedang mampir. Toko memang dibuatkan kunci ganda, yang asli dipegang bosku, dan duplikatnya aku yang pegang. Aku sudah bekerja bertahun-tahun dengannya, sehingga aku diberi kepercayaan penuh.

“ramai tadi yang datang him?” tanya bosku ketika baru saja aku menjejakkan kaki.
“lumayan pak….semoga arwahnya diterima ditempat yang layak”
“amin…”. hening beberapa saat
“tapi kudengar dia orangnya sangat pelit ya him?” tanya bosku sambil menghembuskan asap rokok dari hidungnya.
“yang saya lihat sih begitu pak, tapi ga usah diomongin deh pak, baru juga dikubur..” bosku sedikit terkekeh sambil mengangguk-ngangguk. Dia menarik nafas panjang sebelum kemudian menghempaskan kembali kepulan asap rokoknya yang kali ini bukan hanya dari mulutnya, tapi hidungnya juga. Namun pertanyaan bosku tadi, membangkitkan imajinasi nakalku, membangunkan kebengalan otak kotorku yang dengan beraninya tiba-tiba menciptakan dialog drama dalam awang.

“hai hasan, selama didunia, kau pergunakan untuk apa saja hartamu?” tanya malaikat penjaga kubur dengan mata menyala-nyala
Haji hasan tergagap, “un…un…untuk hidupku dan keluargaku saja Tuan” keringat bercucuran dari wajahnya, karena hawa panas dari uap neraka terbayang dimatanya.
“untuk itu saja?”
“iy…iya”
“tak ada yang lain?”
“ti…tidak…”
“tak kau sisihkan sedikitpun untuk saudaramu yang kekurangan?”
Haji hasan menggeleng gemetar, lalu malaikat penjaga kubur mengeluarkan cambuk apinya yang menyala-nyala…..
Hiii….aku bergidik, naudzubillah….aku mengusap wajahku dan langsung membuyarkan hayalan ngawurku itu.
Pukul setengah dua belas bosku pamit meninggalkan toko, mau jumatan katanya. Aku tersenyum dengan sedikit meledek “tumben bos…”. dengan santai ia menjawab, takut bentar lagi tiba gilirannya menyusul haji hasan. Ah dasar si bos….
Pulang jumatan aku duduk-duduk didepan toko, sedang tak ada pembeli. Sebelah kananku tentu saja ditutup karena sedang berduka. Sebelah kiriku milik tauke sedang ramai pengunjung, baik itu pembeli maupun pengemis yang antri untuk mendapatkan sembako. Namun tak sampai lima menit para pengemis itu mengantri, tauke membubarkannya, katanya tak ada pembagian sembako hari ini. Itu sedikit tidaknya pasti ada hubungannya dengan kematian haji hasan, menurut perkiraanku, tauke belum sempat mempersiapkan semuanya, karena si pemilik toko langganannya membeli sembako tahu-tahu subuh tadi meninggal. Karena setahuku biasanya bungkusan-bungkusan sembako itu sudah dipersiapkan sebelumnya oleh haji hasan, dan tauke tinggal terima beres, lalu mengambilnya menjelang pembagian.

Tiga bulan setelah kematian haji hasan, setidaknya ada tiga perubahan yang kuperhatikan terjadi. Pertama, toko haji hasan tutup dikarenakan tidak ada yang meneruskan. Anak-anak haji hasan berkecimpung dengan usahanya masing-masing, dan itupun diluar kota semua. Kini toko haji hasan diambil alih oleh orang lain yang membuka usaha loundry. Kedua, perubahan drastis bosku sendiri, dia yang biasanya tak ambil pusing dengan keadaan toko, lambat laun mulai sedikit peduli, setidaknya dua kali dalam seminggu dia datang, bahkan menemaniku bekerja. Yang lebih mengejutkan lagi, dia menjadi….lebih religius….aku tak percaya sepenuhnya jika semua itu dikarenakan oleh kematian haji hasan, meski tak kupungkiri semuanya bermula sejak kematiannya.

“jangan mengernyit seperti itu him….aku nih udah taubat, minuman kutinggalkan, istri simpanan kulepaskan, meski untuk itu aku harus menguras dompetku dalam-dalam untuk pesangonnya. Sekarang isi kepalaku ku fokuskan ke keluarga dan pekerjaan him…” katanya suatu hari. Yah…syukurlah kalau begitu….
Dan yang ketiga, tak kulihat lagi antrian pengemis untuk minta sedekah maupun yang antri sembako di toko tauke. Itupun dibarengi dengan perubahan sikap tauke sendiri, sekarang tak kulihat lagi ia mengeluarkan recehan untuk para pengemis, tak pernah lagi kulihat ia menyelipkan lembaran rupiah kedalam kotak-kotak amal peminta sedekah, tak pernah lagi kulihat ia menyusun tumpukan-tumpukan sembako untuk dibagikan, ini aneh….sungguh aneh. Yang kudapati sekarang, justru sosok haji hasan kedua, lambaian tangan tanda penolakan dan ekspresi datar bahkan terkesan tak senang jika ada pengemis datang. Mau tidak mau, ini menimbulkan pertanyaan besar dihatiku, ada apakah gerangan dengan si tauke, mengapa ia berubah secara drastis seperti ini. Jika kemudian aku mempunyai sedikit keberanian untuk menanyakannya, itu bukan dikarenakan aku nyinyir dan selalu mencoba menilai orang lain, tapi lebih dikarenakan rasa penasaran yang tak lagi mampu kubendung.
Aku bertanya pada tauke di suatu siang, ketika tokonya sedang sepi pelanggan. Tentang mengapa ia tak lagi memberi sedekah pada para pengemis.

“apa yang mau disedekahkan him…la wong si pemberi dana sedekah sudah meninggal…” dahiku berkerut, tak jua memahami kata-katanya.
“yang kusedekahkan selama ini uangnya haji hasan him…dia menitipkannya padaku untuk dibagikan jika ada pengemis atau peminta sedekah datang. Begitupun dengan sembako-sembako itu…itu juga dari dia him, aku hanya diminta bantuan untuk membagikannya. Dan selama dia hidup, aku diminta merahasiakannya”
Speechless….aku tak mampu berkata apa-apa. Ya Allah, maafkan aku yang selama ini menggunjingkannya, dan berprasangka tidak baik pada haji hasan, tiba-tiba aku merasakan seperti ada tamparan keras diwajahku….aku malu, sungguh malu…..

Indah W

0 komentar:

Posting Komentar

 

http://cerita-cerita-di.blogspot.com Copyright © 2012-2013 | Powered by Blogger